Dalam era yang begitu transaksional seperti ini, sulit rasanya membayangkan seseorang menolak harta demi menjaga kehormatan. Kasus korupsi menjadi cerminan nyata keserakahan seseorang mengejar harta. Pelaku korupsi masih bisa tersenyum dengan rompi oranye dan borgol di kedua tangan mereka. Ini seolah menunjukkan bahwa mereka tak malu-malu menggadaikan kehormatannya demi kepuasan duniawi. 

Melihat kenyataan demikian di depan mata, mungkin kisah pertengkaran Akhilles dan Agamemnon soal kehormatan akan terdengar aneh. Tapi kisah perseteruan mereka sangat penting untuk diketahui agar kita memahami bagaimana konsep kehormatan yang lebih mahal dibanding harta. 

Dalam buku kesembilan The Iliad, Homerus membuka cerita dengan menunjukkan bagaimana frustrasinya Raja Agamemnon melihat pasukan Akhaia yang dipimpinnya berada di ambang kekalahan. Merasa tak mendapat restu dari Dewa Zeus, Agamemnon mengajak pasukannya untuk meninggalkan peperangan dan pulang ke kampung halaman mereka. 

Bagi pejuang Akhaia seperti Diomedes yang menyadari betul bagaimana kehormatan diraih dengan berlandaskan heroisme, apa yang dilakukan oleh Agamemnon merupakan penghinaan. Diomedes menyilakan Agamemnon untuk pulang. Tapi ia menegaskan bahwa dirinya dan pasukan Akhaia lain akan berperang sampai titik darah penghabisan. Mereka sudah banyak berkorban dalam peperangan ini, mengapa harus pulang saat ini? 

Nestor, tokoh tua bijak yang dihormati Akhaia, selalu hadir di saat yang tepat. Ia menengahi perdebatan antara Diomedes dan Agamemnon. Nestor meminta Diomedes diam dan menghargai raja tertinggi Akhaia itu. Tapi ia juga mengingatkan Agamemnon bahwa persoalan yang kini mereka hadapi merupakan buah dari sikap sewenang-wenang Agamemnon yang merebut perempuan rampasan perang milik Akhilles. 

“Apa yang kau katakan betul, Pak Tua. Saya dibutakan oleh kemarahan!” kata Agamemnon mengakui kesalahannya. Mungkin jika yang menyatakan itu bukan seseorang yang dihormati seperti Nestor, Agamemnon tak akan menjawab demikian. Dan bukan hanya mengakui kesalahan, Agamemnon rela melakukan apa saja untuk membawa Akhilles kembali ke medan peperangan Troya. 

Agamemnon mengirim Phoenix, Ajax, dan Odisseus sebagai utusan untuk membujuk Akhilles. Ia menjanjikan berbagai macam hadiah untuk Akhilles, mulai dari emas-emasan, tujuh perempuan dari Lesbos -- sebuah pulau yang diisi oleh perempuan-perempuan cantik, bahkan ia akan menyerahkan salah seorang putrinya kepada Akhilles.

Apa pun hadiah akan ia berikan asalkan Akhilles kembali. Tapi satu hal yang Agamemnon inginkan dari Akhilles. Ia meminta Akhilles mengakui dirinya sebagai raja dan lelaki yang lebih tinggi. Agamemnon tetap ingin Akhilles menundukkan diri di hadapannya. 

Berangkatlah ketiga orang utusan Agamemnon itu dengan ditemani dua orang penjaga Odius dan Eurybates. Sesampainya di sana, Akhilles menjamu tamunya itu dengan berbagai macam hidangan.

Sambil menyantap makan malam, Odissius membuka percakapan tanpa basa-basi. Ia menyampaikan pesan Agamemnon. Pasukan Akhaia tak kuasa lagi menghadapi pasukan Troya. Mereka membutuhkan Akhilles, pejuang terhebat yang dimiliki Akhaia, untuk bergabung dan menyelamatkan mereka dari kekalahan. 

Namun apa boleh buat, usaha mereka tak membuahkan hasil. Akhilles menilai Agamemnon adalah sosok yang munafik, yang kata-kata dan tindakannya sering kali berbeda.

“Mengapa Akhaia berperang melawan Troya? Mengapa Agamemnon dan adiknya Menelaus mengumpulkan pasukan dan membawa kita ke perang Troya? Mengapa — kalau bukan karena Helen, istri Menelaus yang direbut oleh Paris? Apakah mereka satu-satunya lelaki di dunia ini yang mencintai istrinya? Lelaki mana pun yang memiliki perasaan pasti mencintai dan peduli dengan istrinya seperti aku mencintai Briseis, perempuan rampasan perang yang mereka rebut dariku.

Aku tahu aku mendapatkan perempuan itu seperti memenangkan sebuah piala, tapi aku mencintainya dengan sepenuh hati. Kini Agamemnon telah mengambilnya dan merobek kehormatanku. Ia tak akan bisa membuatku kembali!” tegas Akhilles menolak permintaan ketiga utusan Agamemnon itu untuk kembali berperang. (Baca: Belajar dari Kisah Agamemnon dan Akhilles)

Akhilles menolak mentah-mentah seluruh hadiah yang diberikan Agamemnon. “Aku membenci hadiah Agamenon. Aku tetap akan menolak hadiah-hadiahnya meski ia memberi 10 kali atau 20 kali lebih banyak dari yang ia berikan saat ini. Bahkan jika ia memberikan seisi dunia pun, aku tetap akan menolaknya. Aku juga tak akan menikahi putri Agamemnon meskipun ia secantik Dewi Cinta Aphrodite,” ujarnya. 

Hingga akhir pertemuan, Akhilles bersikukuh tak akan berjuang bersama pasukan Akhaia lagi untuk melawan Troya. Phoenix, Ajax, dan Odissius mulai putus asa. Mereka kembali dengan tangan kosong.

Ketika pesan Akhilles disampaikan, para pejuang Akhaia tak mampu mengucap satu kata pun. Mereka merasa syok dan mungkin juga takut. Tanpa Akhilles, bisakah mereka menang melawan Troya yang dipimpin Hector atau inilah akhir dari kisah mereka? Gugur demi membela kehormatan adik Raja Agamemnon? 

Baca Juga: Kontradiksi Zeus

Hanya Diomedes yang berani menyuarakan kekesalannya terhadap Akhilles. “Ah andai saja kamu tak memohon dan memberikan hadiah itu kepada Akhilles! Dia adalah lelaki yang angkuh. Apa yang kamu lakukan justru akan membuatnya makin menyombongkan dirinya,” ujarnya kepada Agamemnon.

Diomedes kemudian menantang Agamemnon memimpin langsung pasukan Akhaia dalam peperangan kali ini. 

Kisah dalam mitologi Yunani di atas sekali lagi menegaskan soal pentingnya menjaga kehormatan. Agamemnon bersedia memberikan segalanya untuk Akhilles, tapi ia tak bersedia memberikan kehormatannya. Ia tetap meminta Akhilles mengakui klaimnya sebagai lelaki terbaik yang dimiliki Akhaia.

Sama pula dengan Akhilles, ia tak butuh secuil pun hadiah dari Agamemnon. Bukan itu yang ia inginkan. Baginya, Agamemnon sudah merobek kehormatannya dan harta tak akan mampu mengembalikan kehormatan tersebut.

Menariknya, meski Akhilles menyatakan ia mencintai Briseis, sebenarnya ia hanya menjadikan Briseis sebagai simbolisasi kehormatan.

Akhilles mungkin memang tak mencintai siapa pun. Ia tak mencintai pasukan Akhaia, ia tak mencintai harta, dan ia tak mencintai Briseis. Sikap Akhilles lebih menunjukkan bahwa ia sebenarnya hanya mencintai diri dan kehormatannya. Ini dibenarkan oleh Diomedes sebagaimana kutipan di atas, bahwa Akhilles adalah lelaki yang angkuh dan sangat menjaga kehormatannya.

Jika kasus korupsi adalah contoh nyata kehormatan yang ditukar oleh harta, maka kisah Akhilles justru menunjukkan bagaimana seseorang mati-matian menjaga kehormatannya.

Namun, meski saya mencoba membandingkan kisah Akhilles dengan pelaku korupsi yang begitu tergiur oleh harta, ini tak serta-merta membuat kisah Akhilles yang memilih menjaga kehormatan menjadi lebih baik. Persoalannya, keduanya sama-sama mengorbankan kepentingan orang banyak demi diri sendiri. 

Justru ini yang pada akhirnya menimbulkan pertanyaan besar. Apakah kisah Akhilles yang menolak harta demi pengakuan atas kehormatannya dapat membuat kita berpikir ulang bahwa sebenarnya kehormatan tak melulu baik dan mulia, bahwa atas nama kehormatan seseorang rela melihat sukunya berguguran dalam medan perang? Mungkinkah kita terlalu simplistik dalam memahami konsep kehormatan selama ini? 

Apa pun jawabannya, setidaknya kisah ini mengajak kita berpikir lebih kritis dan lebih komprehensif dalam memaknai konsep kehormatan.