Politisi Bambang Soesatyo (Bamsoet) memang terasa sangat naif. Di tengah gesitnya militansi perjuangan loyalisnya, semangat yang menyemai embrio perang dengan sendirinya pula ia menjadi redup. Akibat Bamsoet justru mundur dari pencalonan sebagai Ketua Umum Partai Golkar.

Tak tebersit dalam pikiran, alasannya pun absurd, jika dipikir-pikir. Apakah Bamsoet memang sedari awal bersiasat pura-pura maju?

Rasa-rasanya apabila kepayahan sikap Bamsoet terus diceritakan sepanjang republik ini ada. Saya khawatir kelekatan nama Bamsoet bisa saja lenyap tak berbekas. Itulah kerugiannya, risiko melipir dari gelanggang sebelum pertarungan usai. Kita tahu logika yang demikian bukan menyederhanakan.

Munas yang bahan bakarnya uang untuk jual-beli dukungan pada DPD I dan DPD II, Bamsoet merasa tak cukup cost politik lantaran bohirnya tidak menyanggupi? Yang pasti, buku pegangan politik hingga perjuangan berdarah-darah Bamsoet dengan gerbongnya terkesan hanya sahih apabila mengangkat senjata terhadap bangsa kurcaci.

Imajinasi dan komitmen perjuangan Bamsoet teramat imitatif tidak limititaf seperti aungan singa yang sering ia gelorakan selama ini. Bahkan melalui pesan pepatah-pepitihnya yang menggebu-menggebu, Bamsoet sangat tidak berbakat menjadi seorang novelis. Tapi Bamsoet patutlah menuai berbondong kritik agar ia tidak sepelekan peristiwa bersejarah ini.

Tetapi yang jelas, mundurnya Bamsoet. Menurut saya, maka Musyawarah Nasional dapat dikatakan selesai lebih awal sebelum bekerja. Bereslah semua jurus dunia persilatan politik Munas.

Lepas dari kepayahan sikap kontroversial mundurnya Bamsoet dari bursa pencalonan ketua umum. Dikembangkan pemahaman, bahwa ketimbang Bambang Seosatyo betapa dekatnya perkoncoan Airlangga Hartarto dengan istana.

Termasuk menyangkut Bamsoet mundur bukti nyata kehebatan istana mencangkok pohon Munas Golkar agar tidak ditumbuhi parasit yang memanjangkan napas Munas. Misalnya dengan masifnya isu istana merestui rezim Airlangga sehingga sangatlah menggoda bagi para kader partai Golkar untuk selesai Munas lebih cepat.

Dengan semua ini, tentu saja kita langsung menjumpai, bahwa istana telah berhasil melengkapi tombak, samurai sejenisnya menjadi Trisula (sanskerta), untuk mengamankan atau menyangga kekuasaan yang rentan mengalami bahaya.

Trisula atau serampang adalah tombak bermata tiga yang secara harfiah berarti tiga tombak yang digunakan oleh bala penguasa supaya terhindarkan sebentang periode kekuasaannya yang memang kalut.

Bamsoet mundur dari arena Munas atau kemenangan Airlangga bukanlah kebetulan. Istana menyimpan setumpuk cerita ihwal semua itu. Yang jelas, kebutuhan politik istana saat ini adalah menjadikan Golkar sebagai tulang punggung. 

Setelah Partai Demokrasi Perjuangan Indonesia (PDIP), Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindara), kini lengkap sudah Trisula istana setelah di “tangannya” Partai Golongan Karya (Golkar). Dan intinya satu hal di sini adalah hasrat istana mengejar citra dirinya yang paling gagah.

Airlangga telah berhasil menertibkan sedikit “gelembung” Bamsoet. Hal ini patutlah diakui pula oleh siapa pun, disertai sorak tepuk tangan, terutama oleh istana. Airlangga menang melalui komunike elite (aklamasi) yang sempurna.

Lupakan kesan aklamasi yang memunculkan kartelisasi politik, meniadakan kompetitor. Yakni seolah-olah mereka (kompetitor) takut bersaing akibat sumber daya politiknya tak memadai. Tak usah disebut bahwa aklamasi menjauhkan kontestasi dari ornamen-ornamen demokrasi.

Selebihnya hal lain yang harus diingat, paling utama ialah jangan melupakan andil orang-orang sakti ini. Mereka yang berhasil memerdekakan kembali Airlangga. Telah dengan sempurna menyelesaikan pertengkaran ‘panas’ politik di Munas. 

Yakni Airlangga memberikan kehormatan dengan mengkliping nama senior Golkar seperti Luhut Binsar Pandjaitan yang memberi jalan Airlangga untuk kembali menakhodai partai beringin lima tahun mendatang.

Termasuk kepada (mantan) ketua umum Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong 1960, Fahd Elfouz A Rafiq yang dengan sukarela memilih jalan rekonsiliasi, meleburkan kembali MKGR 1960 ke MKGR. Fahd yang “suka atau tidak suka” harus di akui think-tank yang sedari awal militan mendukung Bamsoet dengan penuh tanggung jawab mengalihkan dukungan kepada Airlangga Hartarto.

Luluhnya Fahd juga mesti diakui, termasuk meringankan beban istana. Sebab jika keadaan yang mengesankan panasnya antarkubu yang lama mengeras dan tak kunjung usai. Sangat nyambung dengan ungkapan Jokowi bahwa “jika golkar panas, maka negara ikut panas”.

Artinya, berdamailah secara simbolik dengan siapa pun yang dianggap berlawanan politik. Kembali berkuasa, Airlangga dan rezimnya tidak boleh dimulai dengan dendam, sebab segala sesuatu yang menyangkut ‘gerakan perlawanan’ dalam kontestasi sangat sahih dan wajar.