Akhir 1980-an, saya yang saat itu masih duduk di bangku SMP bertanya kepada Bapak, “Mengapa orang bisa sangat tidak toleran?”

Jawaban beliau cukup mengejutkan. “Karena mereka  tidak pernah belajar tentang angkasa luar.”

Bapak menghabiskan belasan tahun belajar ilmu hadatuon, pengetahuan tradisional Batak tentang pengobatan, perbintangan, adat, silsilah dan marga, termasuk mistik dan supranatural, sehingga ditahbiskan menjadi datu tahun 1955.

Akhir 1960-an, dia mulai pula berguru ilmu tarekat, sampai belasan tahun juga, termasuk kepada Syekh Djalaluddin, pendiri Persatuan Pembela Tarekat Islam (PPTI). Di luar itu, beliau sangat tertarik dengan angkasa luar. Kisah dan teori astronomi selalu memukaunya. 

Dengan stok pengetahuan selumayan itu, selain “sekadar” sebagai orang tua, beliau memang menjadi, meminjam istilah kiwari, “guru spiritual” pertama dan utama saya.

“Apa hubungan toleransi dengan angkasa luar, Pak?”

“Orang fanatik dan intoleran umumnya merasa dirinya adalah pusat dunia, dunianya adalah pusat semesta. Menganggap pengetahuan yang dimilikinya sudah bisa menjelaskan segalanya. Padahal kesimpulan-kesimpulan yang dipegangnya hanya berdasar pada bagaimana segala sesuatu dilihat mata telanjangnya, dan celakanya, dia sama sekali tak mau melihat kemungkinan-kemungkinan di luar kesimpulannya itu. Padahal, seperti kebalikan meteor, begitu keluar atmosfer segenap pengetahuan dan kesimpulannya hangus terbakar, menjadi dongeng yang menggelikan.”

Seperti biasa, saya mengangguk-angguk, padahal tidak sepenuhnya mengerti.

Meski saat itu tidak selalu bisa mengerti, saya selalu menikmati perbincangan dengan beliau. Momen seperti itu menjadi oleh-oleh paling indah dari masa lalu.

Kini, puluhan tahun kemudian, saya mulai paham. Paham mengapa sejak dulu para pemegang otoritas agama begitu memusuhi ilmuwan-ilmuwan seperti Copernicus, bahkan menghukum berat Giordano Bruno dan Galileo Galilei. Paham mengapa hingga saat ini, hingga detik ini, Saudara-saudara!, masih ada orang-orang “saleh dan salaf” yang menolak fakta bahwa bumi itu bulat dan bergerak, bahwa matahari itu sebenarnya sebuah bintang yang “diam”.

Astronomi meluluhlantakkan deskripsi kitab-kitab suci tentang semesta. Lantas bagaimana mungkin, kitab suci yang berisi pengetahuan yang turun langsung dari Tuhan, Sang Mahatahu dan Maha Pencipta itu, keliru menjelaskan semesta?

“Kitab suci tidak pernah dimaksudkan sebagai buku astronomi,” kata Bapak dalam sebuah percakapan kami yang lain. “Kitab suci lebih merupakan kumpulan kisah, syair, dan puisi, yang kita yakini datang dari Tuhan, tempat kita bercermin, mengambil teladan, nilai-nilai dasar, dan fondasi bagi sikap dan tindakan kita.”

Saya belum bisa menerima “pembelaan” Bapak ini. “Tetapi mengapa Al-Qur’an dan kitab-kitab sebelumnya keliru, bahkan untuk sekadar menjelaskan hal-hal mendasar, seperti bentuk dan pergerakan bumi, Pak?”

“Bukan keliru. Ada kaidah pokok dalam penyampaian pengetahuan, ‘Berbicaralah kepada manusia sesuai kadar keilmuannya, sesuai zamannya’. Ada juga kaidah lain, ‘Boleh menyembunyikan ilmu demi kemaslahatan’. Bayangkan saja, Nabi baru bercerita tentang perjalanan Mekkah-Jerusalem yang ditempuh dalam satu malam, sudah banyak yang tak percaya. Padahal sekarang, jarak itu bisa ditempuh dalam hitungan jam,” kata Bapak.

*****

Belajar, atau setidaknya mencari-cari tahu tentang astronomi memang membuat kita merasa begitu kecil, bahkan meniada. Bagaimana tidak, bumi ini ternyata cuma butiran kecil di tata surya dengan matahari sebagai pusatnya. Tata surya itu cuma satu dari miliaran tata surya lain di galaksi Bimasakti, dan diperkirakan ada 170 miliar galaksi di alam semesta yang masih terus memuai. Dan siapa tahu, semesta ini pun ternyata “cuma” sebuah butiran pula, di antara milaran butiran semesta lain yang mengisi ruang keabadian?

Di hadapan semesta saja pun kita bukan cuma merasa kecil, tapi bahkan meniada. Konon pula di hadapan Pencipta dan Pemeliharanya, Dia yang lebih besar dari apa pun? Perasaan meniada ini, sungguh tidak memberi ruang bagi kesombongan serta segala macam perasaan sok penting lainnya, termasuk intolerasi tadi. Dan asyiknya, kita tidak saja akan menjadi lebih toleran terhadap mereka yang berbeda—sesama makhluk yang meniada itu—tetapi juga akan lebih toleran, lebih bisa menerima segala macam rasa sakit dan penderitaan, termasuk pedihnya patah hati karena cinta tak berbalas. Eaaa!

Jika diri kita saja belum bisa disebut ada, bagaimana pula segala macam remeh-temeh rasa di dalamnya?

Itu barangkali yang membuat orang seperti Al-Hallaj, (terlihat) tidak merasakan sakit ketika dihukum mati dengan sadis. “Tiadalah diri ini, tiada pula segenap rasa sakit yang ada di dalamnya. Hanya Dia yang Ada. Membunuhku adalah membunuh Dia, dan kalian tidak akan pernah bisa karena aku adalah (bagian dari) Keabadian...”

*****

Lantas apakah astronomi akan melenyapkan intoleransi? Di sini masalahnya. Orang intoleran, biasanya tak akan mau belajar apalagi menerima fakta astronomi, yang dengan berapi-api mereka sebut sebagai, “Kebohongan terbesar dalam sejarah.”

Kita cuma bisa berharap, suatu saat mereka akhirnya mendapat hidayah atau dijemput alien. Saya sendiri lebih suka alternatif kedua.