Duka kembali datang, anak-anak kembali menjadi korban. Pria dewasa selalu menjadi penyebab utama anak-anak merasakan masa sulit dalam hidupnya. Masa depan anak-anak kian terancam secara fisik maupun mental. Sungguh hal itu tak bisa dianggap sepele. 

Dugaan pelecehan seksual terhadap anak-anak kembali terjadi di negeri syariat oleh oknum pimpinan institusi berbasis agama. Ini bukan kali pertama terjadi di Aceh yang bercita-cita ingin menjadi negeri rahmatan lil 'alamin.

Benar bahwa itu hanya oknum. Namun mengapa elit politik di Aceh terlambat mengatur sanksi tegas perbuatan tersebut? Qanun yang dibuat masih umum belum menyentuh ranah anak-anak yang menjadi korban pria dewasa.

Hukuman bagi pelaku kajahatan seksual terhadap anak merujuk Qanun lebih ringan dibandingkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Bila UU hukuman maksimal 15 tahun penjara, maka Qanun Aceh Nomor 6 tahun 2014 tentang Hukum Jinayat hanya memberi hukuman maksimal 90 bulan atau 7,5 tahun. 

Hukuman yang terlalu ringan jika dibandingkan efek yang dirasakan anak-anak, membuktikan ketidakseriusan kita memberantas kejahatan seksual terhadap anak-anak. Perlu dilakukan upaya yang lebih keras agar anak-anak selamat dari predator seksual, termasuk hukuman yang lebih berat dari pelaku kejahatan seksual terhadap orang dewasa.

Apa yang terjadi di Aceh hanya contoh kasus dari sekian ratus kasus kejahatan seksual terhadap anak yang terjadi di Indonesia.

Kejahatan seksual terhadap anak di institusi pendidikan selama ini kurang mendapat perhatian. Itu terbukti dari masih maraknya kasus tersebut bahkan melibatkan guru. Selain terencana, biasanya kejahatan seksual di institusi pendidikan berlangsung lama, berbulan-bulan bahkan tahunan. 

Fakta lamanya kasus-kasus tersebut baru terungkap sekaligus membuktikan adanya kelalaian dari kita semua. Komunikasi maupun interaksi antara anak dan orang tua harus lebih sering dilakukan, selain komunikasi dengan pihak sekolah.

Masyarakat juga jangan absen dalam upaya pencegahan maupun pengungkapan kasus kejahatan di institusi pendidikan. Kontrol dari orang tua, pihak sekolah dan masyarakat diharapkan mampu meminimalisir korban kejahatan seksual.

Selama ini anak sepenuhnya diserahkan kepada sekolah. Akibatnya ketika ada oknum guru maupun pengurus sekolah berniat melakukan kejahatan seksual, oknum tersebut melihat kesempatan terbuka lebar. Pasalnya tidak ada pengawasan dari pihak manapun.

Faktor eksternal guna mencegah kejahatan seksual pada anak penting, namun faktor internal tak kalah penting. Critical thinking yang dianugerahkan pada anak-anak kerap dibunuh oleh orang tuanya sendiri. Ketika si anak banyak mempertanyakan hal-hal yang detail, para orang tua terkadang enggan menjawab. Padahal mereka butuh jawaban agar daya kritisnya tidak terbunuh.

Akibatnya, jangankan ketika di SD atau SMP bahkan diperguruan tinggi daya krtitis tak ada lagi. Tanpa disadari para orang tua ternyata ikut andil dalam memudahkan pelaku kejahatan seksual melancarkan aksinya.

Selain berpikir kritis, anak-anak hendaknya dibekali pengetahuan tentang perilaku menyimpang. Tujuannya agar mereka tidak begitu saja menuruti nafsu bejat para pelaku kejahatan seksual. 

Institusi pendidikan kiranya perlu melakukan seleksi ketat para pengajar maupun tenaga administrasi di sekolahnya. Barangkali penting juga bagi instansi yang membawahi institusi pendidikan untuk mengikutsertakan psikolog sebagai upaya mendeteksi sejak dini para predator.

Nantinya para psikolog mendatangi sekolah-sekolah maupun institusi pendidikan selevel untuk melakukan wawancara dengan Kepala Sekolah maupun para guru serta staf sekolah lainnya. Selama ini pengawas sekolah hanya mengamati tekhnis sekolah maupun kegiatan sekolah. Tidak pernah psikologis pengajar diselidiki.

Melalui proses menyelidiki psikologis pengajar dan staf sekolah diharapkan dapat diketahui apakah ada perilaku seksual menyimpang atau tidak. Upaya itu hendaknya dilakukan berkala.

Hal yang sama sebaiknya dilakukan pula kepada calon pengajar institusi pendidikan yang akan dibuka. Apalagi kasus kejahatan seksual  juga terjadi di sekolah anak-anak berkebutuhan khusus. Artinya jangankan berpikir kritis, untuk mengungkapkan sesuatu saja mereka kesulitan.

Kehadiran para psikolog untuk mengetahui orientasi seksual para pengurus sekolah menurut saya penting. Melalui data wawancara nantinya pihak yang membawahi institusi pendidikan dapat mengambil kebijakan yang dibutuhkan.

Memang dibutuhkan biaya yang tak sedikit. Akan tetapi demi masa depan anak-anak dan bangsa ini, biaya itu tak sebanding. Kita tak boleh kalah dengan predator seksual yang merusak masa depan anak-anak kita. 

Tak cukup sebatas retorika semata maupun hukuman yang berat bagi predator. Upaya pencegahan harus kita lakukan. Institusi pendidikan harus bersih dari predator. 

Saya kira dengan seringnya kejahatan seksual yang melibatkan banyak pelaku dan korban, bahkan berulang kali terjadi meski berbeda tempat, 'perang' total harus dilakukan. Extra-ordinary crime harus dilawan dengan Extra-ordinary effort.

Apakah anda rela anak-anak anda mengalami depresi bahkan bunuh diri karena kekerasan seksual? Apakah anda rela mereka nantinya menjadi pribadi yang apatis, memiliki perilaku menyimpang dan efek negatif lainnya disebabkan ulah predator seksual?.

Jika jawaban anda tidak, maka pedulilah pada mereka. Pedulilah pada regulasi yang memungkinkan terbebasnya institusi pendidikan kita dari predator seksual. Desak pemerintah melakukan audit psikologis para pengajar dan staf sekolah anak-anak kita.