Kemarin seorang rekan kerja, yang mengetahui bahwa saya kemungkinan besar akan memilih Ahok dalam pilkada DKI 2017 nanti, berusaha mempengaruhi saya agar berubah pikiran, dengan membeberkan informasi-informasi yang dianggapnya dapat menjatuhkan kredibilitas Ahok, antara lain soal kasus RS. Sumber Waras, penggusuran warga, dan soal reklamasi.
Dengan semangatnya ia menjabarkan data-data yang didapatnya dari berbagai media dan menunjukkan betapa Ahok memang tak layak dipilih menjadi Gubernur DKI karena bermasalah. Saya sendiri, yang memang awam soal hukum, tak bisa banyak berdebat soal tiga hal tersebut (RSSW, penggusuran, reklamasi) kecuali dengan informasi garis besar yang sering terdengar di berita-berita, tapi tidak dengan informasi mendetail, karena saya memang tidak mendalami hal itu.
Saya pun menjelaskan bahwa saya memilih Ahok karena manfaat yang dirasakan: Sungai yang lebih jernih, intensitas banjir yang berkurang, penambahan armada trans Jakarta, Kartu Jakarta Pintar, penempatan warga korban penggusuran di berbagai rusun, dibukanya banyak RPTRA (Ruang Publik Terbuka Ramah Anak).
Yang belum sempat saya katakan pada rekan saya karena keterbatasan waktu mengobrol kami, tapi juga menjadi alasan saya: reformasi birokrasi seperti perbaikan pelayanan publik di kelurahan dan kecamatan, aksi cepat dan berkesinambungan PPSU alias pasukan oranye, dan polemik-polemik beliau melawan DPRD soal anggaran (seperti masalah UPS dan masalah kontribusi pengembang 15% vs 5%).
Akhirnya saya bertanya pada rekan saya: mengapa dia yang ber-KTP Jawa Barat ini mencari begitu banyak informasi kontra Ahok, dan begitu semangatnya meyakinkan orang-orang ber-KTP Jakarta bahwa Ahok tidak layak dipilih? Akhirnya keluar jawaban jujur dari mulutnya bahwa ini bukan masalah Ahok itu korup atau tidak, bukan masalah Ahok itu kompeten atau tidak, ini adalah masalah AGAMA. Ya... rekan kerja saya ini begitu semangat meyakinkan orang-orang agar tidak memilih Ahok, karena Ahok adalah non-muslim.
Saya menghela nafas sambil berkata dalam hati buat apa panjang-panjang berdebat soal segala data tadi, jika titik utama persoalannya bukan di situ. Rekan saya bahkan berkata bahwa lebih baik memilih Muslim lulusan SMP daripada non-Muslim lulusan Oxford.
Kemudian domain pembicaraan pun bergeser ke dalil kitab suci: bahwa haram hukumnya bagi seorang Muslim memilih pemimpin kafir. Saya katakan padanya, jika itu prinsipnya (menafsirkan kitab suci secara literal) ya silahkan saja, saya punya prinsip sendiri.
Perlu diketahui penafsiran terhadap ayat kepemimpinan tersebut tidak tunggal, seperti contohnya penafsiran oleh Nadirsyah Hosen bahwa kata "awliya" dalam ayat QS Al-Ma'idah ayat 51 (ayat yang dikatakan melarang memilih pemimpin kafir) tidak bermakna pemimpin, tapi semacam sekutu atau aliansi. Wallahualam
Tak lama kemudian salah satu manajer memanggil rekan saya dan saya sendiri harus melakukan checklist persiapan pengecoran, maka obrolan antara dua pekerja konstruksi mengenai tema yang tidak berkaitan dengan profesi mereka ini pun usai.
Selagi melangkah menuju lokasi yang akan dicor, saya merenung, alangkah sayangnya jika dalam memilih pemimpin, segala kompetensi, integritas, dan rekam jejak terpinggirkan begitu saja oleh identitas agama. Kenapa kita tidak bisa seperti warga London dan Rotterdam yang tidak mempermasalahkan sama sekali identitas keagamaan Sadiq Khan dan Ahmed Aboutaleb, sehingga mereka terpilih menjadi walikota dari kalangan minoritas?
Kita selalu saja meributkan hal-hal semacam ini.. ada Muslim yang mengucap selamat natal kita ribut, mantan ibu negara buka puasa di gereja kita ribut, ada yang merayakan valentine kita ribut, ada warung makan buka di siang hari saat puasa kita ribut, ketika menteri agama mengatakan bahwa yang tak berpuasa juga harus dihormati haknya kita ribut.... kalau diteruskan daftar hal-hal yang bikin masyarakat kita ribut mungkin bisa jadi buku setebal ratusan halaman.
Dan apa sih yang bikin kita ribut? Tak lain dan tak bukan Tak lain dan tak bukan ya cara menafsirkan agama menjadi ajaran yang kaku, literal dan intoleran. Dan bentuk penafsiran seperti ini selalu berusaha memonopoli kebenaran serta berusaha membungkam penafsiran-penafsiran lainnya yang dianggap tak sepaham. Inilah jenis penafsiran agama yang menjadi sumber masalah, baik di dunia politik maupun di urusan-urusan lainnya.
Dan kembali kepada soal agama sebagai kriteria utama. Tak cuma soal memilih pemimpin, ada contoh lain seperti gubernur Jabar yang menjanjikan akan memberikan beasiswa masuk ke Perguruan Tinggi Negeri (PTN) kepada seluruh pelajar Muslim yang lulus PTN, jika mereka bisa menghafal Quran, minimal 15 juz. Kemudian di Aceh, bagi pendaftar anggota baru kepolisian, lebih diprioritaskan yang hafal Quran 2 juz.
Dalam dua contoh ini, kriteria yang diprioritaskan bukan kompetensi tapi lebih dilihat dari kemampuan menghafal ayat-ayat suci. Benarkah mereka yang menghafal otomatis akan mengamalkan apa yang dihafal? Dan adakah korelasi yang diamati antara menghafal kitab suci dengan prestasi maupun integritas ketika sang penghafal masuk institusi yang dituju nantinya? Seharusnya ini perlu didalami lebih lanjut sebelum dijadikan kebijakan penentu kriteria.