Perdebatan tentang agama masih saja hadir hingga hari ini. Ada yang percaya, ada yang tidak. Ada yang memeluk lebih dari satu agama, ada yang hanya satu saja, ada yang berpindah-pindah dan ada yang memilih tidak beragama. Di mana ada agama, di situ pasti ada Tuhan.
Sesuatu yang memiliki otoritas tertinggi bagi seru sekalian alam, yang wajib disembah oleh umatnya. Zaman dulu, munculnya agama berawal dari proses perenungan diri seorang manusia yang dianggap sebagai utusan Tuhan di muka bumi, untuk menyebarkan kebaikan kepada manusia lainnya.
Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, tidak sedikit dari umat manusia perlahan-lahan , meninggalkan agama yang diwarisinya sejak kecil dan memilih menjadi ateis. Mereka, seperti yang pernah disampaikan Hawking, percaya bahwa “God may exist, but science can explain the universe without a need for a creator.”
Sedangkan sebagian lain, kelompok rasional, turut ingin ‘menguji’ eksistensi ketuhanan. Dengan dalih ilmu filsafat, mereka lancang bertanya, “Tuhan, agamamu apa?”
Namun kita tinggalkan dulu debat perihal agama di era pos-modern ini dan mari kita coba tela’ah sejenak tentang bagaimana awal mula perkembangan penyebaran agama ataupun kepercayaan arkais (kuno) yang dianut oleh manusia-manusia pada zaman dahulu. Lahirnya kepercayaan-kepercayaan kuno, bisa kita lihat di beberapa negara yang memiliki peradaban tertua di dunia.
Kepercayaan Arkais Manusia
Peradaban Mesopotamia kuno di Mesir, terletak di sebelah utara benua Afrika yang terkenal dengan iklim tropisnya. Masyarakat di zaman ini sangat terbantu dengan adanya aliran sungai raksasa yang mengalir dari Selatan ke Utara. Mereka menamainya, Sungai Nil.
Dan dari sungai itulah masyarakat mengenal sistem politik kelompok untuk mengatur pembagian air. Mereka pun memiliki kepercayaan arkais dengan memuja dewa-dewa. Adapun dewa tertinggi yang mereka sembah yakni, Dewa Amon-Ra (Bulan dan Matahari). (Nurlidiawati, 2015).
Dari Afrika, kita menuju ke Asia, sebelah utara Persia (Iran). Lahirlah seorang anak lelaki bernama Zarahutra, atau Zarathustra di Kota Azerbaijan, sekitar tahun 660 SM. Dialah orang yang membawa ajaran Zoroaster (Majusi).
Agama itupun berkembang mulai abad ke-6 SM hingga abad ke-7 SM. Menukil pendapat Prof. Dr. Ali Abdul Wahid Wafi bahwa, penganut Zoroaster memiliki kepercayaan terhadap ruh dan materi.
Mereka menyebutnya, Dzat Ahura Mazda yang mengejawantah di dalam cahaya matahari dan api. Salah satu penganut dari kepercayaan ini adalah mendiang vokalis grup band legendaris asal Inggris yang terkenal dengan nama Queen yakni, Freddie Merkuri.
Freddie adalah orang Parsi dari Gujarat, India yang hijrah ke Inggris dan menetap di sana. Singkat cerita, ia sukses menjadi punggawa band Queen dengan hitsnya seperti Bohemian Rhapsody, We are The Champion, Bycicle Race dan lainnya.
Di Jepang juga tak mau kalah. Di negara ini, terdapat sebuah kepercayaan arkais bernama Shinto. Shintoisme merupakan satu dari tiga agama yang berkembang di Jepang selain agama Budha dan Kong Hu Cu (Confucius).
Agama yang namanya diambil dari bahasa Cina yang bermakna “jalan para dewa, pemujaan para dewa, pengajaran para dewa, atau agama para dewa” tersebut, adalah agama resmi orang Jepang sejak zaman restorasi Meiji sampai pada akhir perang dunia ke II. (Michael, 2006).
Di Indonesia sendiri, agama atau kepercayaan arkais oleh masyarakat, dilakukan dengan pelbagai nama. Misalnya saja kita pernah mendengar paham Kejawen di Jawa, ada juga kultus nenek moyang bernama Marapu di Sumba dan Sumbawa serta upacara Tiwah di Kalimantan Tengah.
Sedangkan di Kepulauan Kei, orang-orang zaman dulu memiliki kepercayaan yang disebut Totemisme, atau kepercayaan terhadap hewan dan benda-benda. Mereka menyebut Tuhan dalam dua nama yakni duad karatat dan duad kabav.
Duad Karatat dan Duad Kabav
Orang Evav menisbatkan kata duad sebagai bentuk pertama jamak inklusif yang berarti, ‘Tuhan kami’ atau ‘Tuhan kita’. Sementara itu, kata karatat berarti ‘di atas’, ‘ tempat tinggi’, ‘di langit’ ‘. Sedangkan kabav merujuk pada arti ‘di bawah’, ‘di bumi’.
Istilah karatat-kabav tersebut sama dengan istilah lain yang mencerminkan falsafah hidup yang berpasang-pasangan seperti, yan’ur-mang’ohoi, koi-maduan, roa-nangan, baranran-vatvat, ya’an-warin, orang kai-tuan tan, ohoi ratut-ohoi rivun, Kei Besar-Kei Kecil, nelyoan- kavunin dan lain sebagainya. (Ignasius, 2019).
Hal tersebut, meminjam istilah F.A.E van Wouden merupakan, socio-cosmic dualism. Menurutnya, dualisme kosmik dan sosial seperti ini merupakan sebuah struktur holistik yang mengandung prinsip-prinsip organisasi dari integrasi relasi sosial, politik dan kosmologi. (Van Wouden, 1968).
Jika kita mendongak, melihat ke langit, di sana ada matahari dan bulan menyinari bumi baik siang maupun malam. Itulah yang disebut sebagai duad karatat atau duad ler-vuan. Sedangkan di bumi, ada kekuatan yang dipercaya mampu menjaga dan melindungi kita dari marabahaya.
Kekuatan itu berasal dari ruh para leluhur yang bersemayam di pohon-pohon, batu, di dalam hutan, di laut atau di tubuh hewan-hewan langka. Merekalah yang dikenal sebagai duad kabav itu.
Mengapa leluhur? Sebab, leluhur dipandang sebagai jiwa yang abadi. Mereka ada dalam ketiadaannya. Seperti yang dijelaskan oleh Emile Durkheim tentang ide sosial kekekalan jiwa. Ketika seorang tokoh meninggal, ruhnya pergi meninggalkan jasad.
a berkelana mencari jiwa-jiwa baru di dalam kelompok, suku, klan. Merasuki salah satu anggota kelompok, untuk mengontrol segala rutinitas para anggotanya setiap saat. Dengan kata lain, individu tersebut bisa saja mati, namun spiritnya tetap abadi.
Ruh dari para leluhur itu bersemayam di dunia yang berbeda dari dunia kita. Mereka ada di dimensi kavunin, yakni dunia yang tak terlihat atau tersembunyi. Dimensi yang kita tempati ini, dinamakan nelyoan atau dunia yang terlihat.
Mereka yang menghuni dunia tersembunyi, sebelumnya sudah menempati dunia yang terlihat seperti kita. Hanya terpisah oleh sebuah dinding kematian saja. Namun, tidak semua orang mati menyandang gelar leluhur atau nit.
Ada syarat-syarat khusus yang tidak disebutkan kepada seseorang, sehingga ia bisa disebut leluhur. Orang yang belum lama meninggal, tidak bisa disebut sebagai leluhur. Leluhur adalah sosok suci yang membawa nilai-nilai keilahian, seperti para nabi.
Merekalah para pendiri rumah, marga (rahan, fam). Nafas mereka berembus dari paru-paru anak dan cucu yang masih tetap patuh menyembah mereka, memberi sesajian, meletakkan sebuah piring berisi sirih dan pinang di di tempat-tempat keramat, untuk memohon keselamatan.
Seperti kisah-kisah mahsyur dari tanah Jawa. Ken Dedes, Prabu Siliwangi, Mahapatih Gajahmada hingga Syeikh Siti Djenar. Tak ada yang tahu persis di mana tempat mereka dimakamkan. Ada yang meriwayatkan bahwa, saat menjalani meditasi atau bertapa, mereka tiba-tiba menghilang begitu saja, jiwa dan raga. Dalam kepercayaan Hindu-Buddha di Nusantara, konsep itu dikenal dengan istilah moksa.
Para leluhur itu, ruh itu, mereka senantiasa dianggap penting bagi kehidupan masyarakat. Cecile Barraud menyebut bahwa, leluhur terpenting selalu berasal dari sisi Rumah ibu, yang direpresentasikan oleh saudara ibu. Dalam konteks perkawinan, Rumah ibu disebut sebagai mang’ohoi, dan pada saat kematian Rumah ini disebut sebagai nit utin (akar dari dia yang meninggal). (Barraud, 1990).
Orang Evav di zaman dulu juga mempersonifikasikan leluhur sebagai sebuah rumah (rahan). Mereka (leluhur) lah yang membangun rumah bagi anak cucu hingga saat ini. Mereka tempat bernaung, tempat berteduh dan tempat berlindung dari kegagalan-kegagalan.
Mereka berdiam di dunia yang tak terlihat, menjelma dalam domain ilahiah. Mereka menyaksikan kelahiran cucu-cucu mereka setiap waktu dan turut mengatur anggota kelompok rahan yang masih hidup di dunia nelyoan ini.
Jauh sebelum masuknya agama-agama besar seperti Katholik, Protestan dan Islam di Kepulauan Kei, orang Evav sudah bisa membuktikan adanya peradaban sendiri. Agama serta kebudayaan yang dianut, mampu mengatur tatanan kehidupan sosial kemasyarakatan dengan sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya. Menutup tulisan ini, saya ingin mengutip sebuah kalimat dari Lemuel K. Washburn, “People who rely most on God, rely least on themselves.”
Sumber:
- Nurlidiawati. 2015. SEJARAH AGAMA-AGAMA (Studi Historis Tentang Agama Kuno Masa Lampau). Universitas Islam Negeri Alauddin. Makassar.
- Michael Keene. 2006. Agama-Agama Dunia: Hinduisme, Yudaisme, Buddhisme, Kristianitas, Islam,Sikhisme, Konfusianisme, Taoisme, Zoroastrianime, Shintoisme, Kepaercayaan Baha’i. Yogyakarta, Penerbit Kansius,
- Refo, Ignasius. 2019. Kepercayaan Arkais Masyarakat Kei di Maluku Tenggara. STPAK ST. YOHANES PENGINJIL, AMBON.
- van Wouden, F.A.E. 1968. Types of social structure in eastern Indonesia, Leiden: The Hague- Martinus Nijhoff,
- Cécile Barraud, «De la résistance des mots Propriété, possession, autorité dans des sociétés de l‟Indo-pacifique», dalam A. Iteanu (sous la dir. de), La cohérence des sociétés. Mélanges en hommage à Daniel de Coppet, Paris, Editions de la Maison des Sciences de l‟Homme.