Bila agama lahir atau hasil ikhtiar dari suatu bangsa berperadaban maju dan matang, maka ia membantu perkembangan, perluasan dan pematangan jiwa. Seperti pepohonan yang matang, pada waktunya ia akan menghadirkan keharuman bunga, dan kelimpahan buah bagi segenap makhluk yang berada di sekitarnya. Agama tak boleh berfungsi sebaliknya, yaitu membonsai dan mengkerdilkan jiwa para penganutnya.
Jiwa yang meluas dan matang merupakan hasil dari proses pertumbuhan dan peningkatan kesadaran. Agama, dalam hal ini, berfungsi seperti pupuk. Ya, pupuk organik, dan sila memberi merek padanya, tak soal. Yang penting fungsinya menyuburkan. Sedangkan, doa dan ibadah laksana air untuk menyegarkan dan membantu proses pertumbuhan.
Proses pertumbuan kesadaran jiwa barangkali bisa dianalogkan dengan menaiki gedung bertingkat. Berada di lantai pertama, segala berada di bawa sana masih jelas terlihat perbedaannya. Kita terus naik, dan ketika berada di lantai tertinggi, perbedaan terlihat makin samar, meski, barangkail, kita masih bisa mengidentifikasi benda-benda yang berada di lantai dasar.
Keadaan tentu berbeda kala kita menaiki pesawat. Saat pesawat baru lepas landas kita masih melihat dan membedakan aneka benda di bawahnya denga cukup jelas. Kemudian semuanya cuma tampak seperti titik-titik yang kehilangan identitasnya ketika pesawat terbang makin tinggi. Dan, setelah pesawat berada di ketinggian terbang maksimum segalanya sirna.
Segala perbedaan lenyap. Semuanya melebur. Yang tersisa hanya langit. Di bawah langit. Di atas langit. Di kiri langit. Di kanan langit. Ke mana pun kita menoleh, yang terlihat hanyalah langit. Langit maha luas tak berujung. Awan gemawan terkadang menyela pandangan kita, namun tetap saja kita tidak bisa menafikan kemahaluasan langit biru yang mengelilingi kita.
Jiwa yang meluas dan terus berupaya menggapai kesadaran adalah jiwa yang berproses menuju kematangan. Bunga-bunga merekah, sebentar lagi buah-buahnya hadir.Inilah cinta kasih. Hadirnya bukan karena menghafal kata-kata yang tertulis di kitab-kitab suci umat manusia. Kitab suci hanya menulis dan memberi petunjuk tentang cinta kasih, kedamaian dan kebahagiaan, tetapi semua itu harus diupayakan sendiri
Tumbuh dan mekarnya cinta kasih hadir lewat proses, lewat ikhtiar, lewat jihad, lewat pengalaman pribadi.Ia berjuang mengatasi hewan pikiran liar, hama kebencian dan dengki, alang-langa keserakahan. Kedekatan dengan kitab suci dan ketekunan menjalankan ibadah semestinya bagian dari upaya ini, bukan sebaliknya membuat kita menjadi manusia yang di dalamnya bersarang segala hama dan penyakit tersebut.
Cinta yang mekar, membuahkan kebahagiaan dan kedamaian. Itulah yang bisa dibagikan kepada sesama makhluk di sekelilingnya. Karena, kita hanya bisa member dari apa yang dipunyainya. Pemberian menjadi sangat alamiah, kepada siapa saja, tanpa perlu pamer. Kita merangkul siapa saja. Kita, jadinya, laksana bunga-bunga yang menebarkan keharuman kepada siapa saja.
Jiwa yang meluas dan matang bermekaran cinta kasih, kedamaian dan harmoni. Ia menjadi Islam, pasrah pada kehendak Ilahi, berdamai dengan segala perbedaan karena menyadari perbedaan adalah KehendakNya. Ia tak pernah menghakimi siapapun. Ia menjadi Katolik, cintanya merangkul semesta raya, dan menyadari bahwa Keselamatan atau Kerajaan Allah adalah tujuan satu-satunya meski melewati banyak jalan.
Ia adalah Hindu atau Sindhu, sungai kehidupan agung yang memberkahi segala makhluk sembari terus mengalir menyatu dengan Samudera Raya di mana semuanya melebur. Dia adalah Buddha yang menyadari bahwa segala sesuatu tengah ber-evolusi menuju kebuddhaan, menuju Keheningan Agung..
Ia telah menemukan dan bertatap muka dengan langit jiwanya yang maha luas lagi merangkul semua. Ia melihat Jiwa Agung bersemayam dalam diri setiap warga kehidupan di semesta ini. Ia menyadari umat manusia itu satu adanya, meskipun berbeda suku bangsa.
Jiwanya utuh, dan dalam keutuhannya ia tak lagi menyoal pribumi atau bukan pribumi. Tak lagi menghakimi orang lain kafir-sesat dan mengklaim kelompok sendiri yang suci dan satu-satunya yang selamat
So, janganlah beragama demi pahala, demi janji surga. Kita bukan anak kecil lagi--yang dibujuk orang tua agar mau minum obat dengan iming-iming pergi ke mall untuk bermain dengan boneka-boneka cantik dan aneka permainan di sana.
Kita sudah dewasa, minumlah obat karena obat menyembuhkan sakit yang diderita. Beragamalah demi meluaskan jiwa. Meningkatkan kesadaran jiwa. Mematangkan jiwa. Cinta, kedamaian dan harmoni lahir dari keadaan jiwa yang sudah berada fase evolusi ini.
Jangan beragama demi agama an sich, yang membuat kita tetap statis berada pada lantai kesadaran dunia. Jika begini, kita akan menjadikan agama sebagai materi belaka, bukan wahana spiritual. Sebagai materi, kita akan memperlakukannya untuk melayani keserakahan dan keinginan kita yang tak berkseudahan. Termasuk menjadikan agama sebagai alat politik untuk memenuhi ambisi kita untuk berkuasa.