Percik I

Ijinkan saya mengajak ingatan kita kembali ke masa lalu, pada sebuah peristiwa yang membuat kita kemudian akrab dengan istilah yang sebenarnya asing bagi masyarakat kita: terorisme. Malam itu, tanggal 12 Oktober 2002 tiga bom berdaya ledak tinggi meluluhlantakkan tiga tempat di Bali. Sari Club, Paddy’s Club dan Kantor Konsulat Amerika. Bali terguncang, Indonesia terguncang, pun juga dunia Internasional.

Indonesia dan terorisme agaknya lebih mirip dua orang yang tak saling kenal terjebak dalam lift yang macet. Kikuk, rikuh dan serba tak natural. Di dunia Internasional, Indonesia selalu dicitrakan media-media sebagai negara muslim-demokrasi terbesar yang menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi.

Bom bali jilid 1 menghapus citra itu. Sejak saat itu,  Indonesia dan terorisme ibarat dua kawan akrab yang kapan saja bisa diterima. Bahkan, kita semua tahu, bom bali pun ada sekuelnya.

Ketika aparat gencar memburu pelaku Bom Bali I, publik punya imajinasi tentang sosok pelaku. Rekaan-rekaan imajinatif itu mungkin berwujud sosok tinggi-besar, bermuka seram, sorot mata tajam, pendiam tapi cerdas atau imaji-imaji lainnya.

Nyatanya kita dibuat kecewa karena ketika aparat menangkap tiga orang pelaku utama teror tersebut, tidak ada satu pun dari mereka yang bahkan mendekati citraan sebagai seorang penjahat kelas kakap. Bahkan, cukup sulit memahami bagaimana sosok-sosok  kalem sederhana itu bisa merencanakan dan mengeksekusi aksi bom bali I.

Amrozi, Mukhlas dan Imam Samudera eksekutor lapangan bom bali yang segera populer dengan nama “Trio Bom Bali” nyatanya bertampang mirip orang kebanyakan. Amrozi dan Mukhlas, kakak beradik itu, punya model wajah dan perawakan yang boleh dikata pasaran.

 Di pasar, di jalan, di tempat-tempat umum, kita akan sering menjumpai model-model manusia jenis itu. Berbadan sedang, berekonomi sedang, berpengetahuan sedang. Praktis tidak ada yang menonjol dari kedua orang itu.

Imam Samudera agak lebih “istimewa”. Ia nampak lebih bersih, ganteng untuk ukuran orang Indonesia dan konon jago IT. Tapi tetap saja, tak ada dari dirinya (wajah, gesture, gaya bicara) yang mengesankan dia sebagai pelaku kejahatan luar biasa. Trio Bom Bali ternyata tak seperti sosok-sosok penjahat dalam film-film Hollywood.

Kita tarik mundur ke belakang, ke satu masa yang tak kalah suram, lebih suram malah. Rabu 11 September 2001 serangkaian teror menyasar Amerika Serikat, sebuah negara dengan titel super power. Empat pesawat komersil dibajak. Dua ditabrakkan ke menara kembar WTC, satu ke gedung pusat militer AS, Pentagon dan satu lagi jatuh di Shanksville, Pensylvania setelah gagal mencapai sasaran teror, yakni Washington. Amerika terguncang, Barat terguncang, pun juga dunia internasional.

Sebuah dokumen berbahasa Arab ditemukan dan menuntun pada nama Muhammad Atta dan kawan-kawan sebagai pelaku serangan teror tersebut. Kala itu publik bertanya-tanya, siapakah Atta? Mungkinkah ia seorang penjahat bereputasi internasional? Semacam anggota jaringan mafia global? Mantan agen KGB, mungkin? Tidak! Muhammad Atta adalah sarjana teknik biasa dan hampir tak ditemukan catatan kriminalitas atas namanya.

Apakah Atta, dan pelaku-pelaku lain adalah muslim yang taat? Manusia-manusia suci yang menjadikan teror sebagai jalan meraih surga seperti yang mereka deklarasikan? Tidak! Ia diketahui menenggak vodka sebelum naik pesawat itu. Ziad Jarrahi, si pembajak pesawat yang jatuh di Pensylvania dikenal suka pergi ke klub malam di Hamburg dan Las Vegas. Semua dari kita tentu tahu, klub malam tidak menyediakan pengajian tentang jihad.

Kita tarik mundur lagi ingatan kita di zaman ketika kaum Yahudi Eropa mengalami genosida oleh Nazi Jerman di bawah kendali Hitler. Jika jumlah korban adalah penanda besarnya tragedi, maka tragedi ini barangkali yang terbesar sepanjang sejarah manusia. Pengadilan atas pembantaian 6000 umat Yahudi pun digelar.

Otto Adolf Eichman -jenderal Nazi- diajukan ke mahkamah Israel setelah penangkapan yang janggal di Argentina. Ia dijatuhi hukuman mati dan digantung di Israel. Sama seperti Atta dan Trio Bom Bali, Eichman sosok paling penting di balik kamp konsentrasi itu adalah seorang yang tak punya potongan sebagai penjahat kelas wahid.

Ketika disidang, dengan stelan jas, kacamata tebal dan rambut tipisnya, ia lebih mirip seorang profesor sejarah di sebuah universitas di Eropa. Tak ada gurat jahat dalam raut mukanya.

Percik II

Adalah Hannah Arendt, filosof perempuan asal Jerman, murid dan kawan dekat Martin Heidegger, yang mengenalkan teori banality of evil. Dalam Eichmann in Jerussalem: A Report on the Banality of Evil, Arendt berargumen bahwa ada sebuah kondisi di mana kejahatan tidak lagi dianggap sebagai kejahatan, alih-alih hal yang biasa-wajar.

Eichmann, menurutnya bukanlah sosok jahat-bengis seperti dianggapkan kaum Yahudi dan publik internasional pada umumnya. Keterlibatan aktifnya dalam genosida etnis Yahudi, lebih merupakan akibat dari ketiadaaan imajinasi, ketidakberpikiran yang menyebabkan ia tidak bisa mengkalkulasikan akibat dari perbuatannya.  

 Arendt bahkan menganggap Eichman sebagai sosok prajurit yang patuh pada perintah atasan dan warganegara yang taat hukum. Apa yang dia lakukukan -dengan menjadi penanggung jawab kamp konsentrasi- dipandang Arendt tidak lebih dari sebuah pengejawantahan dari sikap patuh, taat, sendika pada dawuh.

Percik III

Banalitas telah menjadi semacam penyakit modern yang menyebabkan kehidupan nyaris menjadi nir-makna. Ketidakberpikiran manusia telah melahirkan pola pikir yang lahiriah-duniawiah, seolah-olah kehidupan hanyalah soal kuasa-dikuasai, kalah-menang, dan hal-hal yang sifatnya oposisi biner.

Kehidupan yang begitu kaya, kompleks dan unik diringkas ke dalam penafsiran-penafsiran yang mekanis, dangkal dan mudah ditebak. Ini pula yang terjadi belakangan ini pada agama-agama besar di dunia. Agama yang tadinya sarat dengan nilai spiritual, sakral dan permenungan makna kini hadir dalam bentuknya yang dangkal.

Modernitas berikut turunan-turunannya telah memoles wajah agama menjadi tampak artifisial, nyaris abai pada hal-hal yang hakiki dan esensial. Maka menjadi wajar manakala agama sering diajak dalam berpolitik, berdagang, dan aktivitas-aktivitas yang terkategori ‘banal’ lainnya.

Pada bentuknya yang lain, kebangkitan agama mengejawantah dalam fenomena radikalisme. Meski harus diakui bahwa spiritualisme kritis juga tengah bangkit, namun yang mendapat porsi besar di panggung sosial-politik global adalah fundamentalisme-radikalisme.

Malachi Martin, ahli studi agama dalam bukunya Encounter menyebut bahwa di era kontemporer, agama memasuki daerah yang kering makna, baik dalam fungsinya sebagai “personal concern” maupun “communal community”. Musababnya adalah kecenderungan agama untuk memberi perhatian lebih pada hal-hal yang artifisial.

Martin mengeluhkan agama-agama kian jauh beranjak dari misi awal yakni meneguhkan nilai-nilai kemanusiaan dan justru terjebak dalam ritual, liturgi dan hal-hal birokratis yang tanpa disadari telah membebani agama itu sendiri. Kritik itu terutama ia layangkan pada Gereja Katolik Roma, namun tetap relevan untuk melihat kondisi dalam agama lain.

Dalam konteks Islam di tanah air, wacana Islamisasi yang bergulir pascareformasi dan mendapat saluran melalui otonomi daerah adalah contoh bagaimana agama ditafsirkan secara banal. Islamisasi dimaknai dengan formalisasi hukum Islam ke dalam peraturan-peraturan daerah.

Fatalnya perda-perda yang kemudian secara berlebihan dinamai perda syariah itu pun berisi aturan-aturan keseharian seperti kewajiban memakai jilbab dan sejenisnya. Masalah-masalah besar, seperti korupsi, kemiskinan, pendidikan seolah-olah dianggap bukan bagian dari urusan agama. Perda Syariah adalah bentuk banalitas yang paling menggelikan dari Islam.

Percik IV 

Arrendt menyebut setidaknya tiga faktor yang menyebabkan terjadinya banalitas kekerasan, yakni tumpulnya hati nurani, kegagalan berpikir kritis dan kedangkalan dalam menilai sesuatu. Jika dirujukkan dalam fenomena terorisme, apa yang diungkapkan Arrendt itu nampak relevan sekali.

Terorisme tidak mengenal nurani. Ketika Mukhlas ditanya apakah ia menyesal meledakkan bom yang kemudian melukai tidak hanya warga asing namun juga orang Indonesia yang tidak ada sangkut pautnya dengan misi suci itu, ia hanya menjawab bahwa itu adalah resiko. Jawaban itu mengingatkan kita pada seorang tokoh antagonis di film Collateral Damage.

Demikian pula ketika seorang pejabat Nazi dicecar tentang berapa jumlah orang Yahudi di kamp-kamp konsentrasi dengan datar ia menjawab “berapa jumlahnya itu tidak penting karena itu hanya statistik”. Agaknya, hanya ketumpulan hati nurani yang memungkinkan seseorang untuk sampai pada sikap yang demikian itu.

Tidak populernya model berpikir kritis dalam agama-agama juga menyumbang andil besar atas fenomena kekerasan agama. Di dalam Islam diktum tentang “tertutupnya pintu ijtihad” yang diperparah dengan dihabisinya metode berpikir filsafati oleh al Ghazali melalui karyanya Tahafut al Falasifah telah menjadikan dunia Islam berada dalam kejumudan panjang.

Kritisisme seolah menjadi anak haram yang harus disingkirkan. Jangankan kritis, berpikir pun acapkali dipandang sebagai sesuatu yang tabu. Agama bukan untuk dipikirkan, melainkan diimani dan dijalani. Begitu kredo yang sering didoktrinkan oleh otoritas agama pada umatnya.

Absennya pola pikir kritis dalam beragama memunculkan sikap binary opposition dalam melihat segala sesuatu. Seolah-olah dunia ini hanya terdiri atas dua definisi, salah-benar, halal-haram, lalu mengalpakan bahwa selalu ada narasi-narasi kecil di balik narasi biner itu.

Beragama, berarti memasuki sebuah lorong gelap nan panjang. Ujung dari lorong itu dinisbatkan sebagai satu kondisi terang-benderang, sebuah imaji tentang surga. Namun dalam proses meraihnya itu, manusia membutuhkan sejumlah piranti dan bekal. Otak untuk berpikir, akal untuk merenung, hati untuk merasai dan ilmu untuk memahami. Tanpa itu semua, atau alpa salah satunya, beragama hanya akan menjadi rutinitas yang banal, nir-makna.  

#LombaEsaiKonflik