Beberapa waktu lalu kita mendengar bahwa Andre Taulany, seorang komedian di beberapa stasiun televisi mendapat teguran keras dari masyarakat Indonesia akibat lelucon yang ia buat ketika tampil di salah satu acara tv swasta. Ia pun kemudian dituduh menistakan agama dan dituntut untuk segera meminta maaf akibat perkataannya tersebut.
Andre akhirnya minta maaf dan datang langsung ke Majelis Ulama Indonesia untuk meminta pengampunan. Dari kasus ini, MUI mengatakan bahwa jangan jadikan agama sebagai bahan candaan.
Agama Sebagai Alat Kekuasaan dan Otoritarianisme
Jika kita perhatikan, ternyata kasus-kasus yang mirip seperti Andre (bahkan lebih parah) sangat banyak terjadi di Indonesia. Mulai dari candaan yang dilemparkan oleh 2 orang youtuber Indonesia, Coki Pardede dan Tretan Muslim yang menuai konflik di kalangan islam konservatif hingga lawakan dari Joshua Suherman dan Ge Pamungkas yang dinilai melecehkan mayoritas Islam di Indonesia. Namun, bukan lawakan nista yang ingin saya bahas disini. Pendahuluan ini ada sebagai konteks agar kita dapat memahami bagaimana sensitifnya pembahasan terbuka tentang politik identitas di negeri ini.
Agama merupakan salah satu alat kekuasaan. Jika ditilik secara historis, agama lahir dan berkembang disaat masa-masa feodal dan kebutuhan akan sesuatu yang mutlak. Maka tak heran, dalam sejarahnya, agama selalu dekat dengan penguasa dan penguasa mengklaim diri sebagai perwakilan Tuhan dalam fungsi mengatur rakyatnya.
Dalam sejarah Eropa pada awal masa Renaissance, Galileo Galilei dibunuh karena menemukan bahwa bumi bukan merupakan pusat alam semesta, melainkan matahari. Ia memberikan penjelasan rinci terhadap penelitiannya itu didepan raja. Namun, raja yang didominasi oleh kekuatan gereja katolik menganggap akan ada ancaman terhadap agama katolik, sehingga hipotesa Galileo tidak bisa diterima dan akhirnya dibunuh oleh otoritas kerajaan.
Dalam perkembangan masyarakat feodal-industrialis, Marx juga pernah mengungkapkan “Die Religion ist der Seufzer der bedrängten Kreatur, das Gemüth einer herzlosen Welt, wie sie der Geist geistloser Zustände ist. Sie ist das Opium des Volks.” Artinya
"Agama adalah desah napas keluhan dari makhluk yang tertekan, hati dari dunia yang tak punya hati, dan jiwa dari kondisi yang tak berjiwa. Ia adalah opium bagi masyarakat.". Dalam kutipan kalimatnya ini, kita sering mendengarnya dengan kalimat “Agama adalah candu”.
Dari tulisannya, Marx sebenarnya sedang membuat argumen struktural fungsionalisme dari agama, dan secara partikelir tentang agama yang terorganisasi. Marx percaya bahwa agama memiliki fungsi tertentu dalam masyarakat yang mirip dengan fungsi opium terhadap orang sakit atau cedera.
Ia mengurangi rasa sakit dan memberi ilusi yang menyenangkan kepada si sakit. Di sisi lain, agama, seperti opium, juga mengurangi energi dan keinginan mereka untuk melawan realitas yang opresif, tak punya hati, dan tak punya jiwa yang telah dipaksakan kapitalisme kepada mereka.
Lenin, pernah mengatakan “Agama adalah opium bagi masyarakat: ini tulisan Marx, inilah batu loncatan dari keseluruhan ideologi Marxisme mengenai agama. Seluruh agama dan gereja-gereja modern, semua jenis organisasi agama selalu dianggap organ dari reaksi borjuis oleh Marxisme. Ia digunakan untuk melindungi eksploitasi dan kelumpuhan kelas pekerja”
Pilpres, Ijtima’ Ulama dan Delegitimasi Lembaga Negara
Sampai saat ini pun, hitung cepat atau quick count, baik SMRC, LSI, Indikator, Charta Politika, Cyrus Network, hingga Litbang Kompas, menunjukkan Jokowi-Maruf unggul dari Prabowo-Sandiaga. Di lain pihak, Prabowo mengklaim kemenangan dengan merujuk hasil hitung nyata atau real count yang dilakukan tim internalnya.
Suatu hal yang membuat saya tidak habis pikir adalah klaim kemenangan dengan deklarasi sebagai presiden dan wakil presiden terpilih oleh calon nomor urut 02, meski hasil “quick count” belum selesai. Lucunya lagi, ia berupaya membangun opini publik bahwa lembaga negara sedang melakukan kecurangan secara terstruktur dan masif. Sehingga imbasnya adalah, menurunnya kepercayaan publik terhadap lembaga independen (baca: KPU) yang dibangun oleh negara.
Politik identitas memang tidak bisa dipisahkan dari pengaturan sebuah negara. Namun dalam konteks kasus ini, lembaga-lembaga negara yang menaungi kebijakan mengenai agama tentunya tidak bisa menghindar ketika ditanyakan bagaimana kaitannya Ijtima’ Ulama dan hubungannya dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Sejarah dari gerakan ini memang akan lebih jelas ketika kita uraikan mulai dari gerakan 212. Ketika itu, Ahok dikriminalkan dengan pasal penistaan agama. Rekomendasi atas hukuman ini merupakan rekomendasi yang diberikan oleh MUI dan dijalankan secara “lapangan” oleh GNPF-MUI.
Setelah Ma’ruf Amin menjadi wakil dari calon presiden petahana, maka GNPF-MUI berubah namanya menjadi GNPF Ulama[1]. GNPF Ulama sebenarnya berisi orang-orang yang sama dengan sebelumnya, namun tanpa Ma’ruf Amin. Ijtima’ Ulama III adalah hasil dari GNPF Ulama[2] yang didalamnya banyak tergabung tim pemenangan kubu Prabowo-Sandi. Lucunya, MUI membantah adanya keterkaitan antara MUI dengan GNPF Ulama[3] mengenai Ijtima’ Ulama III ini.
Dalam konteks Pilpres 2019, sejauh ini Prabowo masih cukup diuntungkan dari relasi yang ada. Hal ini karena kelompok di belakang Ijtima Ulama III bisa jadi masih menjadi political force baginya.
Terlebih, politisasi agama ini merupakan hal yang oleh beberapa pihak cukup ditakuti oleh Jokowi sebagai rival politiknya. Greg Fealy dari Australian National University (ANU) pernah menyebutkan bagaimana Jokowi terlihat selalu merasa rentan pada masalah agama, di mana selama ini ia dicitrakan sebagai figur yang tidak cukup Islami dan terlalu ramah terhadap kepentingan minoritas non-muslim[4].
Sehingga, tidak salah jika menyebut bahwa kepercayaan masyarakat yang meningkat religiusitasnya ini sejalan dengan kebutuhan akan hukum atau fatwa berbasis kesepakatan ulama, juga dalam politik[5].
Maka dari itu, kekhawatiran terbesar saya adalah Pancasila yang akan digiring ke-kanan, oleh para konservatif Islam seperti upaya yang sedang dibangun oleh kubu Prabowo melalui usaha delegitimasi lembaga-lembaga negara yang sifatnya independen ini.
Referensi:
[1] Detik, https://news.detik.com/berita/d-4316416/maruf-anggap-gnpf-mui-bubar-gnpf-u-pastikan-reuni-212-jalan-terus
[2] Tirto, https://tirto.id/gnpf-u-gelar-ijtima-ulama-iii-pada-1-mei-bahas-kecurangan-pemilu-dnkA
[3] Tempo, https://nasional.tempo.co/read/1201650/mui-nyatakan-tak-terkait-dengan-ijtima-ulama-iii
[4] East Asia Forum, https://www.eastasiaforum.org/2019/01/03/old-rivals-spar-before-indonesias-presidential-rematch/
[5] PinterPolitik, https://pinterpolitik.com/prahara-prabowo-dan-ijtima-ulama/
- Marx, K., & O'Malley, J. J. (1970). Critique of Hegel's 'Philosophy of right'.