Bermula dari kejengahan terhadap beberapa praktek ajaran agama Hindu yang dirasa terlalu berlebihan, terutama yang dilakukan oleh para Brahmin, munculah berbagai penolakan dari masyarakat di masa itu, sekitar paruh kedua sebelum Masehi.
Beberapa hal yang menjadi pangkal penolakan adalah otoritas dan klaim berlebihan atas Weda beserta gerombolan Brahmana yang kerap mengaku memiliki kebenaran sejati yang tak akan bisa diketahui oleh manusia lain di manapun mereka berada.
Para penolak klaim-klaim di atas, Sramana, bahkan menyebut seluruh sistem Brahmanikal yang diterapkan para Brahmana tak lebih dari akal-akalan kelas teri dan penipuan yang ditujukan untuk memperkaya diri sendiri. Di masa itu, para Brahmana kerap meminta masyarakat melakukan ritual-ritual rumit untuk menguras harta. Para Brahmana juga dianggap terlalu sering memberikan nasehat yang tak berguna.
Sidharta Gautama termasuk dalam arus penolak klaim-klaim para Brahmana, meski secara tegas ia nyatakan posisinya yang tidak anti terhadap Weda. Hanya saja ia berkeyakinan bahwa Weda yang ada saat itu bukan lagi Weda yang asli. Para Brahmin telah mengubah isi dan substansinya seenak udel-nya. Weda yang asli diyakininya ada pada para Resi.
Di antara banyak perubahan yang dilakukan oleh para Brahmin di dalam Weda, satu hal yang begitu mengganggu pikiran Sidharta adalah soal pengorbanan binatang. Ia percaya, tak mungkin Weda berbicara tentang pengorbanan binatang. Karenanya ia menolak untuk tunduk terhadap Weda. Meski begitu, Sidharta mengakui kebenaran –dan kemudian mengadopsi—beberapa ajaran dari tradisi Hindu, salah satunya adalah soal reinkarnasi.
Sidharta percaya bahwa semua makhluk hidup berada dalam siklus yang membuatnya terus terlahir kembali usai kematian. Melalui perenungannya, ia menemukan pengajaran penting tentang tata cara agar terepas dari siklus reinkarnasi. Pengajaran tersebut kemudian menjadi salah satu ajaran dasar dalam agama Buddha dan dikenal dengan sebutan Empat Kebenaran Mulia (Cattari Ariya Saccani).
Menurut Buddha, pemahaman terhadap Empat Kebenaran Mulia menjadi kunci untuk lepas dari lingkar reinkarnasi. Keempat kebenaran tersebut adalah Kebenaran tentang Dukha (duka, penderitaan, ketidakpuasan –semuanya disebabkan oleh kemelekatan terhadap duniawi--), kebenaran tentang asal Dukha (taṇhā; nafsu yang tak ada habisnya), kebenaran tentang terhentinya Dukha (menyingkirkan taṇhā) dan kebenaran tentang cara menghentikan Dukha.
Untuk menghentikan Dukha, Buddha mengajarkan 8 kebenaran, yakni; pengertian benar, pikiran benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, daya upaya benar, perhatian benar dan konsentrasi benar.
Soal kemelekatan terhadap hal-hal yang bersifat duniawi, agama Buddha bahkan mengajarkan untuk belajar melepaskan. “When you love something too much, loose it,” kata saya di kelas.
Saya belajar soal melepaskan ini dari Bikhu Khantidaro Mahatera dari Vihara Dhammadipa Arama di Malang, Jawa Timur. Dalam salah satu obrolan kami di kota Apel itu, Bikhu yang memiliki nama lahir Djamal Bakir ini menjelaskan bahwa kebiasaan para Bikhu dan Bikhuni untuk tak berambut (gundul) adalah simbol bahwa mereka tak boleh memiliki kemelekatan terhadap hal-hal duniawi, atau hal-hal yang dianggap dapat memunculkan kesombongan dan lupa diri.
Rambut dipandangnya sebagai simbol mahkota atau kehormatan setiap manusia, karenanya pemangkasan terhadap rambut dianggap sebagai simbol pelepasan terhadap hal-hal yang duniawi. Proses pelepsan tersebut juga menyimpan pengajaran betapa kita semua hanyalah bagian kecil dari alam raya; tak ada yang pantas untuk disombongkan. Dan bahwa kita semua akan meninggalkan kehidupan ini tanpa membawa apa-apa, kecuali amal baik.
“Mas, Tuhannya orang Buddha itu siapa, sih?” tanya mahasiswa saya tiba-tiba.
“Sebagaimana agama-agama lainnya yang lahir di India, umat Buddha memiliki pemahaman yang berbeda soal Tuhan, dan mereka tak terlalu tertarik untuk membicarakan Tuhan mereka.”
Buddha sendiri saat ditanya soal Tuhan menjawab, “Ketahuilah para bhikkhu bahwa ada sesuatu Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak. Duhai para Bhikkhu, apabila tidak ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Diciptakan, Yang Mutlak, maka tidak akan mungkin kita dapat bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu. Tetapi para bhikkhu, karena ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak, maka ada kemungkinan untuk bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu.” (Sutta Pitaka, Udana VIII: 3).
“Jadi, umat Buddha punya Tuhan, nggak mas?”
“Punya, hanya saja mereka percaya bahwa Tuhan tidak dapat digambarkan dalam bentuk apapun.”
Sebagai agama yang berlandaskan pada Filosofi, seperti laiknya agama yang lahir di India, Buddha memiliki banyak sekali perbedaan dalam pendekatan dan pemahaman. Samanera Yogo dari Temanggung, Jawa Tengah dalam sebuah diskusi menyebut perbedaan tersebut tak hanya soal ketuhanan, tetapi merembet ke banyak soal lain, seperti konsep alam semesta, akhirat, penciptaan dunia dan manusia, surga, dan seterusnya.
Bagi umat Buddha, tujuan utama manusia hidup di dunia bukanlah tiket masuk surga di akhirat kelak. Terlalu lama dan jauh untuk menunggu surga sebagaimana dijanjikan oleh agama-agama lain, terutama dari akar Abrahamik. Mereka percaya surga bisa diciptakan, dan manusia tak perlu menunggu kematian.
Surga akan tercipta saat manusia dapat menjadi benderang untuk sesamanya, menjadi penolong dan penghiburan untuk sekitarnya. Tujuan akhir umat Buddha adalah kebuddhaan (anuttara samyak sambodhi), yakni pencerahan sejati. Untuk mencapai itu, umat Buddha percaya tak akan ada sesiapun yang bisa menolong. Mereka harus berusaha sendiri. Buddha hanyalah penunjuk jalan, pengajar kebenaran, bukan penjamin kerajaan Tuhan.
“Tapi mas, Buddha itu agama atau bukan? Soalnya mereka tak jelas siapa Tuhannya,” tanya mahasiswa saya lagi.
“Bukan kuasa kita untuk menentukan suatu kepercayaan sebagai agama atau bukan. Sama seperti nasibmu; tak jelas siapa pacarnya, tapi bukan berarti kamu otomatis jomblo, kan?”
“Nah, iya. Betul itu. Saya memang bukan jomblo, mas. Meski ga jelas pacarnya siapa”
“Lalu?”
“Saya nggak laku, mas.”
“Halah mboh, karepmu!”
Di akhir sesi, saya beri tugas kepada para mahasiswa untuk membuat Response Paper dengan tema “Buddhism and the current issues”.