Apa hubungan terorisme, yang tengah menghantui negeri ini, dengan filsafat Islam? Mungkin hubungan langsungnya memang tidak ada. Namun, ketika seorang sahabat saya, yang berlatar belakang sarjana psikologi bertanya beberapa hari lalu, kemudian meminta pendapat saya bagaimana kalau terorisme dihubungkan dengan filsafat dalam tradisi Islam, tentu saya mengalami kesulitan untuk menghubungkan terorisme dan filsafat Islam, setidaknya karena dua alasan.

Pertama, saya tidak percaya ada agama yang mengajarkan terorisme, apalagi dalam hal ini agama Islam yang sebagaimana misi diutusnya kenabian Rasulullah Muhammad adalah untuk menyempurnakan akhlak, sehingga Islam dapat menjadi rahmat bagi semesta alam. Kedua, saya juga tak paham dengan filsafat Islam, karena saya tak lebih hanya seorang penikmat amatiran yang membaca buku-buku filsafat Islam secara serampangan dan sembrono.

Namun, teman saya tetap bergeming, keukeuh meminta pendapat saya. Lalu, untuk menguatkan permintaannya tersebut, teman saya mengutip kata-kata Pramoedya dalam tetralogi, "Kita harus punya pendapat dalam setiap hal dan peristiwa. Jangan takut salah atas pendapat kita." Demikian katanya.

Saya mulai terpengaruh, teman saya tahu betul saya seorang penikmat amatiran karya-karya Pramoedya. Kemudian saya pun ikut-ikutan mengutip Pram, bahwa kita harus berlaku adil sejak dalam pikiran.

Bagaimana saya dapat bersikap dan berpendapat adil atas terorisme atas nama Islam jika saya tak berusaha melihat dari sudut pandang dan jalan pikir pelakunya? Saya setuju dengan Dr. Karlina Supeli dalam ceramahnya beberapa waktu lalu di Salihara. Beliau mengatakan, para pelaku terorisme memiliki logikanya sendiri. Sehingga, bagi mereka sendiri, tindakannya tersebut sangat logis. Barangkali inilah yang disebut motif ideologis. Saya tak tahu pasti.

Bagaimanapun, kata saya ke teman saya, apa yang dilakukan oleh terorisme yang tega melakukan pengeboman atas nama agama dan keyakinan, dia memiliki pijakan pemikiran bahwa hal itu dibenarkan oleh ideologinya. Nah, seandainya sang teroris tersebut belajar sedikit saja tentang filsafat Islam, dia setidaknya akan berpikir ulang sebelum melakukan aksi terornya atas nama keyakinannya.

Pertama, dia akan lebih terbuka dan menghargai perbedaan. Karena realitas hidup di dunia, menurut para filsuf muslim, adalah realitas yang jamak atau beragam. Kedua, dalam filsafat Islam, misalnya dalam pemikiran Al-Farabi, dinyatakan bahwa surga sebaiknya diraih dengan memperjuangkan masyarakat. 

Konsep kota utama dalam pemikiran Al-Farabi adalah manifestasi bagaimana mewujudkan “surga bersama” dalam kaitannya hidup bersama dengan orang lain. Jadi, motivasi surga tidak digerakkan sebagai hasrat egoistik individual, tapi justru digerakkan oleh motif altruistik dengan kerelaan berkorban untuk orang lain, sesama makhluk Tuhan, meskipun beda keyakinan.

Lalu, kawan saya berkata, "Maksudmu, jika kita sedikit belajar filsafat Islam, maka kita akan lebih nyaman dan legowo dalam melihat aneka perbedaan?" Dan saya membenarkan kata teman saya. Lalu giliran saya bertanya ke teman yang menyandang gelar sarjana psikologi, "Bagaimana kalau dilihat dari ilmunya?" 

Kata dia, merupakan keniscayaan yang inheren dalam diri setiap orang bahwa setiap orang merindukan makna dalam hidupnya. Makna yang diabaikan oleh Sigmund Freud, di mana dianggap orang yang mencari makna adalah orang gila.

Tapi, pencarian makna didukung oleh Victor E Frankl bahwa manusia hanya bisa hidup tenang jika mendapatkan makna dalam hidupnya. Pencarian makna merupakan manifestasi dari hasrat terdalam manusia. Dan agama pun hadir, salah satunya juga, untuk menjawab kebutuhan manusia akan makna.

Saya masih berusaha mencerna ujaran teman saya, lalu dia menambahkan, kita tidak habis pikir bagaimana bisa seseorang tega membunuh orang lain, bahkan anak dan pasangannya sendiri demi sebuah ideologi tertutup yang diyakininya. Mungkin itu adalah sebuah cinta buta yang gila.

Tiba-tiba saya teringat Martin Heidegger, filsuf raksasa Eropa itu. Andai dia hidup di sini, mungkin karya-karyanya sudah dibakar dan pribadinya dicaci maki di setiap mimbar.

Heidegger menghasilkan pemikiran cemerlang. Namun, dia intelektual pendukung Nazi, di mana Nazi membunuh banyak orang. Dan Heidegger juga mencampakkan cinta tulus Hannah Arendt. 

Untung dia hidup di masyarakat yang dewasa secara pemikiran, dan masyarakatnya sudah mentas dari masa pubertas intelektual, di mana kritik terhadap pemikiran harus dipisahkan terhadap kehidupan pribadi. Jika ingat kisah Heidegger, saya sering bingung sendiri, betapa mudahnya manusia terjatuh pada motif ingin melenyapkan orang lain yang berbeda.

Semakin dalam saya terhanyut akan pikiran saya sendiri, tak sadar saya mengabaikan teman saya. Secara pribadi, saya memandang filsafat, terutama filsafat Islam, berupaya menyembuhkan manusia dari dalam. Memperteguh pikiran tanpa harus merendahkan orang lain. Karena filsafat yang saya tahu bukan alat untuk menyerang, merendahkan atau mendebat pendapat orang lain. Lalu merasa puas dan bahagia jika pendapat kita bisa menang dalam debat. Tidak! Tidak seperti itu.

Filsafat, bagi saya, adalah peta jalan untuk memahami diri sendiri. Untuk apa menang dalam debat, namun semakin terasing dalam mengenali diri sendiri? Dan bagi saya, filsafat juga bekal untuk meniti tangga-tangga batin (saya ingin menyebut tangga-tangga langit, namun saya tak pantas menyebutnya).

Kalaupun ingin mengkritik sebuah pemikiran, mestilah yang dikritik sebatas pemikirannya saja, jangan sampai ke persoalan ranah kehidupan pribadi. Kecuali bagi orang yang merasa suci tanpa aib, sehingga merasa pantas mengomentari aib dari kehidupan pribadi orang lain.

Lalu saya berandai-andai dalam lamunan. Andai saja para teroris tersebut meluangkan waktu untuk belajar filsafat Islam, mungkin mereka akan berpikir ulang tentang ideologinya yang tertutup.

Lamunan saya membuyar, diterbangkan angin, ketika teman saya menepuk-nepuk bahu saya. "Kok kamu malah melamun?" Saya tersenyum dan dia pun tersenyum. Akhirnya diskusi filsafat dan psikologi bertemu dalam sebuah senyuman.