Tawuran, sebuah kata yang memiliki makna tendensif dihati kita ketika kita mendengar ucapan tersebut, karena memang pada hakikatnya aktivitas tawuran bermula dari dorongan hasrat untuk melukai lawan dalam hal yang dilandasi konflik, perbedaan pemikiran dan pergolakan kepentingan.
Sebelum membahas lebih jauh tentang tawuran itu sendiri, terlebih dahulu saya hendak menjelaskan tentang perkelahian yang juga erat kaitannya dengan konsepsi teoritis makna tawuran itu sendiri.
Teringat dulu dibangku-bangku sekolah dulu saya sempat beberapa kali ikut berkelahi ketika sehabis berdiskusi dikelas utamanya ketika terjadi perdebatan antar kami sesama pelajar, yang saya ingat adalah saya merasa bahwa asumsi ucapan saya adalah yang paling benar! Itu yang ada dibenak saya, maka saya harus mematikan argumentasi lawan untuk mengklaim kesempurnaan dan pengakuan kebenaran saya tersebut, pada akhirnya perkelahian pun bisa terjadi dan tidak terelakkan.
Dan ketika kami berkelahi yang ada adalah cekcok antara mulut ke mulut terjadi, dimana sering kali berujung pada kata-kata yang tidak mengenakkan untuk didengar, maklumlah kali itu kami tengah berproses untuk mengolah kata dan emosi untuk menjadi manusia yang dewasa karena kami masih remaja, sehingga sering kali berujung adu jotos antara kami, meski pada akhirnya kami cukup mudah untuk didamaikan oleh pihak guru (perlu dicatat bahwa kami tidak didamaikan dengan amplop berisi uang, melainkan proses pendekatan persuasif dan pemberian nasihat oleh guru).
Berbeda dengan berkelahi yang saya maksudkan tersebut di atas, tawuran sendiri dimaknai sebagai sebuah bentuk perkelahian antara satu kelompok dengan kelompok lain sehingga kadar bahayanya juga cukup tinggi karena berisiko terhadap jumlah yang lebih banyak, meski tidak bisa dinafikkan bahwa sedikit banyaknya korban bukan tolak ukur utama melainkan keutamaan untuk menyelesaikan akar permasalahan adalah yang utama.
Saya mengutip pendapat dari seorang sosiolog W.D. Mansur (2013) bahwa tawuran itu sebenarnya terjadi bukan atas dasar dorongan dari faktor pribadi melainkan karena faktor lingkungan, sedangkan sosiolog lain bernama Wirumoto (2015) berpendapat bahwa tindakan tawuran adalah sebagai salah satu cara untuk menghilangkan stress selama ujian.
Kedua asumsi teoritis dari ahli tersebut adalah sebuah pengkajian atas dasar fenomena tawuran yang seringkali terjadi utamanya yang melanda ruang lingkup sosial kalangan pelajar, dapat dikuatkan dengan data-data penyebab terjadinya peristiwa tawuran tersebut sehingga asumsi-asumsi teoritis pun menjadi penguat asas kejadian yang sebetulnya tidak mengenakkan dan teramat berbahaya tersebut dapat terjadi.
Selanjutnya, kita merujuk pada data dan fakta yang ditulis dalam artikel yang dimuat pada postingan katadata.co.id (2022) menyebutkan bahwa sepanjang tahun 2021 ada 188 desa/kelurahan di seluruh Indonesia yang menjadi arena perkelahian massal antar pelajar atau mahasiswa. Hal ini tentu menjadi catatan menyedihkan untuk sebuah generasi, mengingat mereka adalah kaum terdidik yang justru diharapkan kedepannya menjadi pemimpin bangsa dan Negara di Republik tercinta ini.
Disisi lain, lepas dari pembahasan mengenai teori, data dan fakta yang terjadi yang saya sebutkan di atas, dapat saya katakan bahwa masalah tawuran ini adalah sebuah permasalahan yang memang sangat perlu untuk diselesaikan sampai keakar-akarnya. Dari sudut pandang moralitas, hal ini memang sangat jauh dari asas nilai etika yang sesungguhnya baik dari ajaran nilai-nilai keagamaan maupun adat istiadat.
Sebagai seorang muslim, saya merujuk pada pengkajian tentang ajaran kitab Al-Qur’an mengenai sebuah berspektif tawuran itu sendiri yang identik dengan peristiwa saling menyakiti fisik dan mental sesama manusia, dan bahkan saling membunuh dalam kadar tawuran dilevel yang terparah. Ini adalah sebuah ironi yang digambarkan di dalam Al-Qur’an.
Dalam kitab Al-Qur’an Surah Al-Baqarah ayat 30 tentang ciri manusia yang gemar merusak dan menumpahkan darah antar sesama, hal tersebut adalah bentuk penyampaian oleh malaikat tentang ciri manusia itu sendiri yang memang suka merusak dan saling berkelahi atau saling membunuh antar sesama, dan jika merujuk pada data yang ada memang telah banyak data tentang sejarah peperangan dan perkelahian dari periode kehidupan umat manusia hingga hari ini.
Adapun arti dari Al-Qur’an Surah Al-Baqarah ayat 30 tersebut adalah ; “Mereka (malaikat) berkata, apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah disana, sedangkan Kami (Malaikat) bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?”.
Ayat ini menekankan dalam konteks sebelum penciptaan dan pengutusan nabi Adam A.S untuk diberi amanat oleh Allah untuk turun kebumi dan menjadi khalifah atau pemimpin. Demikianlah, hakikat kegemaran tawuran oleh manusia yang miris tersebut telah dijelaskan dari sudut pandang agama.
Terakhir, bahwa mengenai aksi tawuran oleh sekelompok orang utamanya mereka yang dikenal terdidik atau terpelajar memang sewajarnya mendapat kecaman oleh banyak pihak, karena kita ketahui bahwa pelajar adalah mereka yang dikenal telah mengkaji dan menerapkan nilai-nilai moralitas berisi pertimbangan antara baik dan buruk serta benar dan salah dalam proses kehidupannya.
Namun, meski demikian tetaplah tugas kita sebagai manusia yang menilai fenomena mengerikan tersebut yang terus terjadi bukanlah sebuah titik finalisasi bagi kita ketika mengedepankan celaan atau makian terhadap oknum orang terpelajar yang justru bertindak memalukan. Tugas kita bukanlah sekedar mencela, ada tugas lain yang perlu ditunaikan untuk mencegah hal itu terus terjadi.
Tindakan mengecam dan mencela bukanlah satu-satunya hal yang dapat mengekang dorongan hasrat perkelahian pribadi atau kelompok, meski diakui bahwa tindakan mencela adalah salah satu tindakan yang dianggap sebagai bentuk hukuman sosial yang menimbulkan kesadaran bagi para pelaku, ini berlaku secara alamiah dan bersifat massif utamanya bagi masyarakat di negeri kita yang terlampau responsif dalam menyikapi peristiwa atau fenomena.
Tindakan yang lebih tepat adalah melakukan tindakan preventif berupa pengkajian terhadap akar permasalahan yang sering kali menimbulkan peristiwa tersebut terjadi, dan mencari titik-titik celah yang dapat dijadikan sebagai jalan masuk sebuah solusi dari sisi pendidikan dan moral kemanusiaan.
Selain itu, semua pihak bertanggungjawab dan perlu membentuk kepedulian bersama untuk masalah tersebut sebagai warga Negara yang berideologi Pancasila juga sebagai manusia yang memiliki fitrah kecintaan terhadap kedamaian, keharmonisan dan kebahagiaan.
Sumber Referensi
Al-Qur’an
databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/03/28/tawuran-pelajar-paling-banyak-terjadi-di-jawa-barat
Listari, L. FUNGSI SOSIALISASI KELUARGA DAN MASYARAKAT DALAM UPAYA MENCEGAH TAWURAN ANTARPELAJAR. Jurnal Pendidikan Sosiologi dan Humaniora, 13(2), 660-665.
RIKA PURNAMA SARI, RIKA PURNAMA SARI. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kenakanlan pada remaja putus sekolah di kenagarian Baringin kecamatan Palembayan Kabupaten Agam Tahun 2015. 2015. PhD Thesis. STIKes PERINTIS PADANG.