Musik merupakan nyawa bagi hampir semua genre film. Baik komedi, drama, laga, dokumenter, apalagi horror. Film-film akan terasa garing tanpa ada musik yang mengiringi jalannya sebuah adegan. Jumpscare film horor juga tidak akan begitu mengagetkan tanpa adanya musik yang mengagetkan pula. Musik sangat berpengaruh dalam nikmat-tidaknya suatu film untuk ditonton.

Dalam film horor, tidak semua musik yang disajikan bernuansa mencekam, namun diaransemen sedemikian rupa sehingga menjadi sedikit lebih sesuai dengan suasana yang ditampilkan. Banyak musik-musik yang versi aslinya merupakan lagu-lagu bertema menyenangkan, baik dari segi lirik maupun nada, tapi dengan suasana mencekam, musik tersebut jadi ikut mencekam. 

Saya melihat fenomena ini sebagai pemutarbalikan fakta terhadap suatu genre musik. Inilah yang akan saya bahas dalam tulisan ini.

Tembang ciptaan Sunan Kalijaga, Lingsir Wengi, merupakan salah satu korban pemutarbalikan fakta. Pada tahun 2006, tembang ini dipakai pada film Kuntilanak garapan sutradara Rizal Mantovani dan digambarkan sebagai lagu untuk memanggil kuntilanak. 

Padahal faktanya tembang Lingsir Wengi diciptakan sebagai penolak bala sekaligus doa. Bahkan jika diterjemahkan, syairnya sarat akan kalimat-kalimat cinta. Namun semenjak dipakai pada film horor, tembang tersebut dipercaya sebagai sebuah lagu pemanggil makhluk halus dan bahkan dilarang dinyanyikan pada saat-saat tertentu.

Pada tahun 2018, lagu milik grup musik jazz The Spouse yang berjudul Kelam Malam muncul pada film Pengabdi Setan garapan sutradara Joko Anwar. Lagu tersebut digambarkan sebagai lagu milik tokoh Ibu dalam film yang digambarkan sebagai tokoh yang mengerikan. 

Bahkan setelah munculnya lagu tersebut dalam film Pengabdi Setan, IDN Times menyebut Kelam Malam sebagai “Lingsir Wengi masa kini”. Padahal sebenarnya lagu tersebut merupakan lagu jazz yang enak didengar dan tidak sedemikian mengerikan.

Tidak hanya terjadi di Indonesia, hal serupa juga terjadi di luar negeri, bahkan di negara modern seperti Amerika Serikat. Pemutarbalikan fakta genre terjadi pada penyanyi solo yang hidup satu masa dengan Bob Dylan, bernyanyi dengan suara falsetto dan terkenal selalu tampil dengan ukulele, Tiny Tim. 

Tiny Tim mengcover salah satu lagu lawas berjudul Tiptoe Trough The Tulips. Lagu ini kembali muncul setelah bertahun-tahun pudar dari perhatian. Sayangnya lagu ini muncul kembali di film horor di mana ketika kita melihat visualisasinya, maka kita akan otomatis takut dengan lagu tersebut. Film tersebut adalah garapan sutradara James Wan yang rilis tahun 2010, Insidious.

Kebanyakan teman saya tidak tahu-menahu siapa Tiny Tim dan kebanyakan teman-teman saya yang telah menonton Insidious bergidik ngeri saat mendengar kembali suara Tiny Tim. Bahkan pernah suatu saat saya sedang duduk santai di kelas sebelum jam kuliah dimulai dan memutar video penampilan Tiny Tim yang menyanyikan Tiptoe Trough The Tulips di Youtube. 

Teman-teman saya memaksa saya untuk menghentikan video yang saya putar karena mereka ketakutan. Padahal dalam video, terdengar suara penonton yang tertawa karena tingkah Tim yang menurut saya cukup jenaka. Hal yang juga terjadi pada tembang Lingsir Wengi di mana maksud asli dari sebuah lagu hilang bahkan berubah sedemikian rupa setelah muncul di film-film horor.

Sebenarnya jika kita lihat tanpa mengingat-ingat unsur horor yang terbawa dari film Insidious, lagu Tiptoe Trough The Tulips sendiri menggambarkan suasana yang gembira dengan lirik percintaan yang menyenangkan. Lagu yang diciptakan pada tahun 50-an oleh Al Dubin dan Joe Burke ini bahkan punya banyak versi yang juga enak didengar.

Demikianlah lagu-lagu yang sebenarnya menyenangkan menjadi korban pemutarbalikan fakta. Menjadi korban atas ketakutan kita atas mitos-mitos yang dihadirkan dalam film-film horor. Kita sebagai penikmat seharusnya lebih menghormati pencipta dari lagu-lagu tersebut dengan mengesampingkan ketakutan terhadap suasana yang melekat dari film-film horor tersebut. 

Kita perlu melihat jiwa dari lagu-lagu tersebut, menikmati lirik-liriknya yang indah, dan membuang semua ketakutan setelah keluar dari Teater di bioskop. Tentunya kita juga tidak boleh lupa bahwa kita juga perlu mengapresiasi film-film horor yang kita tonton, namun jangan sampai penglihatan kita tercemar oleh ketakutan.

Hal-hal demikian sebenarnya banyak terjadi pada unsur-unsur lain di film horor. Kebanyakan dari kita mungkin agak ngeri ketika melihat cetakan foto hitam putih. Ngeri melihat gaun putih mewah yang sering digambarkan sebagai pakaian favorit hantu-hantu Londo. Atau mungkin bahkan kita takut pada segala hal yang berbau jadul. 

Segala hal yang sebenarnya indah, menyenangkan, artistik, terputarbalikkan menjadi murung, menyeramkan, dan mencekam. Tidak ada yang salah dalam masalah ini. Para Film Maker yang hebat itu tidak keliru, begitu juga dengan pencipta lagu. Yang keliru adalah kita yang inderanya buram karena tertutup ketakutan dan tidak bisa menikmati karya-karya yang sebenarnya menyenangkan.

Baca Juga: Musik itu Asyik