Mustahil seorang manusia tak memiliki hasrat. Bahkan pada hasrat itu sendiri, manusia kadang rela membuang harkat “manusia” atau malah menggadaikannya. Tidak jarang, hal tersebut selalu muncul dan menempel pada setiap perjalanan peradaban manusia. Hasrat kekuasaan, kekayaan, seksual, saling menguasai, dan sebagainya. Segala macam hasrat yang tumpah ruah di pelosok dunia ini dan mengukir sejarah-sejarah yang, lebih banyak, kelam alih-alih membawa pada tempat lain yang jauh lebih baik, kedamaian. Maka, ingatkan saya jika ada seorang manusia pun yang mencapai kedamaian dengan menggandeng sebuah hasrat.

Namun, tidak juga mustahil seseorang berhasil meredam habis hasrat itu sampai pada titik terendah, bahkan tak berbekas, bahkan sebelum ia menyebrang ke dunia selanjutnya yang kekal. Perjalanan peredaman hasrat itu tentu memakan waktu yang tidak sebentar, dengan pernyataan sebelumnya, bahwa mustahil manusia tak memiliki hasrat, pada awalnya. Lantas, apa kiranya yang dapat membuat seorang manusia melepas tuntas jiwanya dari jeratan hasrat? Kiranya, jawaban itu dapat ditemukan di novel Alm. Deny Herdy berjudul Zebrod ini. Buku ini memiliki narator sekaligus karakter utama dalam cerita, juga Rakeyan sebagai narator kedua, dan Nilam Cahya, pusat dari cerita ini pada akhirnya.

Adalah Nilam Cahya, seorang wanita cantik dan miskin yang bermimpi memiliki kehidupan yang menyenangkan dan menentramkan. Ia memiliki mimpi layaknya manusia lain; hidup tentram, aman dan bahagia. Tanpa perlu ia bersusah payah bekerja demi menyambung hidup. Ia cantik, memiliki badan yang aduhai dan, karena kecantikan dan keaduhaiannya, ia selalu dikagumi bahkan dikejar-kejar oleh laki-laki lain di kampungnya. Namun, tentu para “kumbang” itu bukan merupakan pelabuhan terakhir bunga tersebut. Nilam Cahya paham, bahwa kelebihannya ini tidak boleh disia-siakan sama sekali, apalagi sari-sari bunga yang dimilikinya dihisap oleh “kumbang” miskin yang tak mampu membuat segala keinginannya terkabul.

Maka dari itu, ia mempunyai rencana untuk menangkap “kumbang” yang lebih besar. “Kumbang” yang mampu memberikan segala apa yang diinginkannya. Dan, Nilam Cahya tentu tahu betul siapa “Kumbang” itu. Maka, sebelum kegiatan nyanggrah (kunjungan) menak daerahnya ke desa tempat tinggalnya terjadi, ia sudah memiliki rencana matang akan bagaimana menangkap “kumbang raja” itu. Singkat cerita, pada sebuah peristiwa yang mampu menarik pandang mata semua orang, tak terkecuali si menak, terjeratlah “kumbang raja” itu oleh buaian indah tubuh Nilam Cahya. Dan, tak lama setelah itu, diangkutlah Nilam menuju istana tempat si menak tinggal, bersama beberapa istrinya yang lain. Kelak, istri-istrinya ini yang juga punya andil redamnya hasrat besar yang selama ini diidamkan Nilam Cahya.

Sampai pada pertengahan mimpinya yang nyaris terkabul itu, ia dihadapkan pada kondisi yang justru di luar segala ekspektasinya; tinggal di sebuah kamar sempit, bukan di rumah utama megah yang selama ini diidam-idamkannya serta jatah uang yang bahkan menurutnya tidak seberapa. Belum lagi, ia harus melayani nafsu si menak, hal jijik yang ia selalu tahan demi impiannya agar tercapai. Ia juga dimusuhi oleh ketiga istri si menak. Juga, hal yang akhirnya ia ketahui belakangan, ketiga istri menak ini memiliki keahlian masing-masing, salah duanya adalah mengatur keuangan keluarga yang dilakukan oleh istri pertama, Euis—yang selanjutnya diketahui adalah ibu dari Rakeyan, si narator kedua. Dan Nining, istri kedua si menak yang memiliki kemampuan berpolitik—diceritakan selama ini posisi si menak merupakan buah dari pintarnya Nining dalam bernegosiasi. Dan Emoh, adalah tangan kanan si Nining dalam berdiplomasi. Istri si menak yang menemani Nilam hanya Esih, seorang wanita yang tak terlalu banyak cakap dan lebih sering menggunakan telinganya ketimbang mulutnya.

Sampai pada suatu ketika, Nilam Cahya dihadapkan pada suatu tugas rahasia yang biasanya dilakukan Esih; membawa daging segar untuk makanan sesosok yang berada di penjara bawah tanah, Rakeyan dan Zebrod. Sampai tibalah ia membawa makanan mingguan pada sesosok yang berada di sana. Saat ia sampai dan mendekatkan nampan berisi daging itu, terkejutlah ia meliha sesosok setengah harimau setengah manusia, yang memperkenalkan dirinya sebagai Zebrod, pada menit pertama dan Rakeyan pada menit kedua. Ya, tubuh itu dihuni oleh dua jiwa yang saling terjebak satu sama lain. Dan dari cerita mereka berdua, Nilam Cahya mengetahui rahasia kelam yang tersimpan dalam dari keluarga menak ini.

Si menak pada awalnya hanyalah pria miskin yang memiliki mimpi menjadi kaya raya tanpa melangkahkan kaki; tak mau capek, tak mau lelah. Lalu, ia persunting seorang gadis juragan kaya raya, si Euis. Ia pikir dengan begitu, ia tak pelu lelah menjalani hidup. Namun dugaannya salah, ayah mertuanya tersulut emosi meilhat menantunya hanya ongkang-ongkang kaki tanpa pernah berpeluh. Puncaknya, diusirlah mereka berdua, Euis dan si Menak itu dari rumah mertuanya dan tinggal di sebuah gubuk di tengah hutan. Memang dasar laki-laki pemalas, bahkan di saat makanan kritispun, ia malah menyuruh istrinya itu meminta beras pada ayahnya. Bukan beras yang tiba, justru tangis istrinya dan makian mertuanya yang menghadap si menak. Si menak sakit hati, dan berjanji akan melakukan apapun untuk menjadi kaya raya. Kedengarannya postif, sampai pada akhirnya pilihan yang ia ambil justru akan selalu merepotkannya, pesugihan di curug Sawer, tempat di mana konon Prabu Siliwangi menaklukan iblis-iblis harimau.

Singkatnya, ia mendapatkan apa yang selalu diinginkannya; kekayaan. Namun bukan tanpa imbalan; ia harus menyetorkan tumbal yang memiliki syarat seseorang harus mengecap makanan atau minuman hasil dari uang pesugihan ini, terlebih orang-orang terdekat. Sampai akhirnya Nilam Cahya tahu, selama ini si menak memiliki istri yang jumlahnya banyak dan kesemuanya dijadikan tumbal oleh si menak juga para istrinya yang lebih tua. Dan, ia menjadi salah satu yang akan ditumbalkan jika tidak dapat memenuhi kriteria yang diminta si menak dan ketiga istrinya. Benar saja, beberapa hari kemudian, Esih, sahabat Nilam Cahya, meninggal. Nilam Cahya tahu betul penyebabnya, dan setelah ini adalah gilirannya.

Nilam Cahya pada akhirnya melakukan segala hal yang menurutnya akan mampu membuatnya bertahan di dalam keluarga ini, mengurusi keuangan keluarga seperti istri pertama, dan belajar berpolitik pada istri kedua, serta menjadi juru masak rumah si menak. Namun, karena ia hanya seorang gadis yang bermodal tubuh dan rupa, ketiganya gagal ia lakukan. Pertama, ia benar-benar tak bisa. Kedua, Ningsih punya hasrat padanya yang membuat Nilam Cahya bergidik, dan ketiga, masakan buatannya merupakan masakan terburuk satu abad terakhir. Singkatnya, ia gagal. Dan konsekuensinya, ia akan ditumbalkan.

Sampai pada akhirnya, Nilam Cahya mengubur dalam-dalam semua hasrat yang dahulu ia elu-elukan saat pertama kali menjadi istri seorang menak; Kaya, hidup mewah, ongkang-ongkan kaki, dan bahagia. Namun, sekarang ia tak punya pilihan lain selain mati. Ia lantas berpikir, jika pun aku akan mati kelak, maka kematianku tak boleh sia-sia. Lalu, ingatlah ia pada perkataan Zebrod akan kemungkinan ia dan Rakeyan bebas dari kutukan yang dideritanya. Maka, ia serahkan nyawanya untuk membantu Zebrod dan Rakeyan lepas dari kutukan yang mereka derita. Karena Hasrat kebebasan sudah di depan mata, senanglah Rakeyan dan Zebrod. Mereka berdua telah membayangkan kebebasan yang akan mereka dapatkan, kembali.

Setelah beragam persiapan telah dilakukan, ritual pengorbanan jiwa pun selesai. Namun, ketika Nilam Cahya ambruk, tidak ada reaksi apapun yang terjadi pada Zebrod dan Rakeyan. Keduanya tetap pada bentuk biasanya, terjebak pada satu tubuh setengah harimau dan setengah manusia. Kebebasan yang mereka pikir sudah di depan mata, tiba-tiba lenyap. Hasrat kebebasan itu akhirnya musnah. Namun, dengan purnanya seorang Nilam Cahya, yang menghadapi kematian dengan makna pengorbanan, jauh dari hasrat kedirian.

Eksplorasi Hasrat Manusia

Nilam Cahya adalah representasi dari manusia biasa  yang tidak hidup di tengah privilese, harus bekerja keras dan memimpikan sebuah kesuksesan, sebuah pencapaian. Biasanya, hal ini acapkali diukur dengan jumlah harta atau jumlah tahta. Hasrat, keinginan untuk mendapatkan keduanya merupakan bahan bakar penting yang akan memacu semangatnya mencapai hal itu. Maka, ia manfaatkan segala kelebihannya; tubuh molek dan wajah cantik untuk mendapatkan segala yang dihasratinya.

Namun, ada satu hal yang ia tak pesiapkan, dan umumnya juga tak dipersiapkan para manusia biasa yang sedang mengejar yang mereka hasrati; kegagalan. Nilam Cahya adalah sesosok yang hidupnya tak melulu semulus rencananya. Segala yang ia hasrati; kekayaan, kedudukan, dan ketentraman, ternyata tak ia temukan pada si menak yang kaya raya itu. Justru pada akhirnya, yang ia dapatkan adalah keadaan getir; ia akan ditumbalkan pada pesugihan si menak. Pesugihan yang mengorbankan pula Rakeyan, anak kandung si menak.

Awalnya, Nilam begitu bersemangat dalam berusaha mengambil hati istri-istri si menak dan menak itu sendiri, namun berakhir dengan duka dan nestapa; semua usahanya sia-sia. Sampai setelah kematian Esih, ia akhirnya menemukan tujuan akhir hidupnya yang selalu dikunjungi kesedihan dan kesengsaraan. Ya, ia mengorbankan dirinya demi kebebasan Zebrod dan Rakeyan, yang juga memiliki hasrat untuk bebas dari kutukan yang mengekang mereka. Namun, proses itu tidak sesuai rencana. Jiwa Nilam Cahya tercerabut, namun kutukan mereka tak kunjung surut. Prosesi itu berakhir dengan gagal.

Tapi, gagalkah? Dalan sudut pandang si narator, mungkin iya. Namun tidak bagi Nilam Cahya. Ia, pada akhirnya terbebas dari jerat hasrat yang selama ini mengungkungnya. Deny Herdy dengan amat baik mengolah pengembangan karakter Nilam Cahya yang pada awalnya terbang tinggi karena hasrat dan mimpinya, namun dipaksa jatuh ke tanah oleh keadaan; hasrat miliknya selamanya tak akan terpenuhi. Deny menggambarkan bagaimana proses pemberian makna pada hidup, yang pada hal ini terjadi pada Nilam Cahya, ketika mengetahui hidupnya akan berakhir.

Alih-alih memaknai penyerahan dirinya pada Rakeyan dan Zebrod sebagai bentuk putus asa, pembaca akan diarahkan melihat sisi lain daripada penyerahan diri Nilam Cahya; sebuah cara untuk memberikan makna pada akhir sebuah hidup kepada manusia lain membutuhkannya. Sebuah cara mengakhiri hidup dengan memberikan yang lain harapan akan kehidupan, sebuah kebebasan. Dan pengorbanan jiwa Nilam Cahya sendiri justru, pada akhirnya, adalah bentuk kebebasan yang ia pilih atas hidupnya. Hidup seorang manusia biasa yang tak punya kuasa atas hidupnya, namun tak serta-merta menyerahkan kebebasan memilih akan bagaimana akhir hidupnya kelak.

Judul                   : Zebrod

Penulis               : Deny Herdy

Penerbit             : UNSA PRESS

Cetak                  : Februari, 2021

Tebal                  : vi + 153 halaman

ISBN                    : 978-623-95984-1-9