Joko Pinurbo dalam potongan sajaknya menyebutkan "Jogja terdiri dari rindu, pulang, dan angkringan.". Namun, faktanya Yogyakarta terdiri dari sederet permasalahan sosial yang menumpuk dan menjamur. 

Yogyakarta yang sering diromantisir dalam berbagai karya seni seperti sajak yang dituliskan Joko Pinurbo hingga lagu yang dinyanyikan Aditya Sofyan adalah wujud dari memandang Yogyakarta dengan sebelah mata.

Hal ini dapat disaksikan secara langsung jika kita mengunjungi pusat-pusat kehidupan di Yogyakarta, khususnya lokasi-lokasi yang menjadi tempat pariwisata seperti Malioboro, Alun-Alun Kidul, dan sebagainya.

Hal pertama yang dapat kita lihat ketika datang ke tempat-tempat tersebut adalah kesenjangan sosial. Tanpa mendiskreditkan Yogyakarta dari sudut pandang estetika, romantisme, dan juga budaya, rasanya kita tidak bisa menutup mata bahwa Yogyakarta tidak secantik yang sering digambarkan seniman-seniman.

Misalnya, Maliboro yang menjadi pusat wisata di jantung kota Yogyakarta di mana kawasan ini menjadi lalu lalang turis dari lintas daerah bahkan negara. Tak sulit untuk menemui banyak rombongan orang asing dari negara lain yang berwisata ke Malioboro.

Dalam kacamata ekonomi mikro, maka ramainya Malioboro dapat meningkatkan perekonomian bagi pelaku ekonomi di sana. Namun, banyak hal-hal kecil luput dari mata kita ketika kita mengunjungi Malioboro. Ketika kita di sana, kita dapat di sudut-sudut toko dan jalanan, duduk pengemis dan pemulung yang tak jarang sudah sangat berumur. Mereka terduduk lesu dan menunduk sembari menahan lapar dan mengharapkan belas kasihan dari para pengunjung.

Hal yang sangat kontras jika kita bandingkan dengan gemerlapnya cahaya lampu kota ataupun ramainya lalu lalang pengunjung di Malioboro. Tidak ada satupun pengunjung Malioboro yang memandang para pengemis dan pemulung ini sebagaimana mereka melihat deretan toko-toko batik ataupun warung-warung makanan.

Selain itu, persaingan antara para pelaku ekonomi pun menyisakan kesenjangan yang semakin lebar. Kita dapat melihat sebuah toko megah dengan banyak pegawai yang menjajakan barang-barang khas Jogja seperti kain batik ataupun mainan tradisional. 

Namun, tak jauh dari toko megah tersebut, kita juga dapat melihat seorang bapak-bapak berusia senja seorang pedagang mainan tradisional yang duduk di kursi sambil menjajakan dagangannya sembari berharap ada pengunjung yang menengoknya.

Selain pedagang, penjual jasa transportasi juga menyisakan kesenjangan yang nyata. Terdapat ragam transportasi yang dapat kita pilih jika kita mengunjungi Malioboro, baik transportasi modern ataupun konvensional. Transportasi konvensional seperti delman, bentor (Becak Motor), ataupun becak sepeda, masih umum ditemui di sini.

Namun, kondisi serupa dapat kita lihat sebagaimana kita melihat kesenjangan antara pedagang di Malioboro. Terdapat delman yang dihias secantik mungkin sehingga semakin menarik pengunjung untuk menaikinya. 

Namun, di sisi lain juga terdapat delman sederhana yang ditarik oleh kuda yang nampak sudah tua dan supir delman yang juga sangat sederhana dibanding supir delman yang lain. Hal serupa juga dapat kita temui di bentor ataupun becak sepeda.

Beralih sedikit dari hiruk pikuk Malioboro. Apakah kita mengetahui fakta bahwa permasalahan kesenjangan di Yogyakarta juga terdapat pada upah pekerja?

Mungkin sudah akrab di telinga kita bahwa banyak orang yang mengatakan bahwa hidup di Jogja itu murah. Ya betul, tapi murahnya hidup di Jogja juga berbanding lurus dengan upah minimum kota (UMK)di sini. Berdasarkan kebijakan dari Gubernur D.I.Y, Sri Sultan Hamengku Buwono X, UMK tahun 2022 di Kota Yogyakarta ada di angka Rp2.153.970.

Angka yang sangat kecil bila dibandingkan dengan kota-kota besar lain seperti Jakarta yang ada di angka Rp4.452.724 atau Bandung yang ada di angka Rp3.374.860.

Hal ini yang sering dikeluhkan oleh pekerja di Yogyakarta. Maka rasanya, idiom hidup yang ideal adalah "UMR Jakarta, suasana Bandung, dan biaya hidup Jogja" sangatlah relevan sekaligus miris.

Angka UMR yang rendah bila dibandingkan kota-kota besar lainnya akan sangat bertolak belakang jika kita melihat aktivitas perekonomian di pusat-pusat pariwisata di mana perputaran uang di sana jelas sangatlah besar. Pekerjaan sektor formal di Yogyakarta nampaknya tidak seindah gambaran sajak Joko Pinurbo tentang Kota Jogja.

Hal-hal inilah yang sering luput dari pandangan kita tentang Kota Jogja. Romantisir Jogja yang disampaikan lewat sajak, lagu, hingga cerita-cerita yang beredar tidaklah seindah realita. Sederet permasalahan sosial yang nyata masih terdapat di sini adalah realita yang tidak pernah dituliskan dengan kalimat-kalimat mendayu-dayu.

Belum lagi permasalahan lain seperti klitih yang melibatkan remaja-remaja di Jogja yang semakin meresahkan membuat Kota Jogja tidak aman dan nyaman ketika malam hari. Padahal, mungkin yang sering diceritakan orang-orang adalah nikmatnya mengitari ringroad Jogja di malam hari bersama keluarga, teman, ataupun pasangan. Dahulu pengalaman tersebut memang nikmat sebelum ancaman klitih menjadi teror nyata dalam kehidupan sosial di Yogyakarta. 

Rasanya hal-hal inilah yang sesekali perlu kita sadari bahwa Jogja di sesempurna yang digambarkan orang-orang. Menutup mata terhadap sederet permasalahan kesenjangan sosial di Jogja bukanlah pilihan yang bijak. 

Mari melihat Jogja dari sudut pandang lain yang tidak pernah diceritakan sajak-sajak karangan penyair ataupun lagu-lagu karangan musisi yang menceritakan keindahan Jogja seolah tanpa cela.