Ada banyak publik yang sebenarnya tidak terlalu ngeh dengan perjuangan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) melawan peraturan daerah berbasis agama (Perda Agama). Mereka hanya berhenti di narasi besar, tidak ke hal yang lebih detail. Tak ayal jika yang lahir adalah polemik yang tidak sehat, perdebatan keluar dari subtansi persoalan.
Tentu saja, karena ketidakpahaman itu, banyak pihak, terutama dari kubu oposisi atau pembenci PSI, terus menggoreng isu ini. Hasilnya, PSI lalu disebut anti-Islam, anti-Syariah. Bahkan kabar lain diedarkan, PSI sama dengan PKI yang anti-agama.
Jadi, kelihatannya memang perlu ada penjelasan terus-menerus mengenai apa yang PSI perjuangkan. Kami memang menolak perda berbasis agama, baik Perda Injil maupun Perda Syariah, tetapi bukan berarti bahwa PSI anti-agama, anti-Islam.
Kalau PSI mengkritik sebuah daerah yang wajibkan setiap PNS kenakan jilbab, atau wajibkan setiap PNS bisa mengaji, atau melarang perempuan berada di luar rumah tanpa didampingi suami atau sanak saudara, itu tentu tidak berarti bahwa PSI anti-Islam.
Dalam kasus jilbab, misalnya, PSI sekadar ingin agar mereka yang tidak menganggap berjilbab adalah kewajiban (baik muslim maupun non-muslim) dapat berpakaian sopan sebagai PNS tanpa harus berjilbab. Yang ditolak PSI adalah adanya peraturan-peraturan yang mendiskriminasi warga dengan menggunakan dalih agama. Begitu pula dengan perda-perda lain. Lebih dari itu, lihat saja track record PSI selama ini.
Ketika ada penyerangan masjid/musala di Tolikara, Papua, PSI adalah satu-satunya partai politik yang secara terbuka mengecam. PSI juga secara terang mendukung lahirnya UU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan, terutama karena UU ini memberi pengakuan politik resmi kepada pendidikan non-formal seperti pesantren.
Pertanyaannya, mana mungkin sebuah partai anti-Islam melakukan itu semua?
Perlu dipertegas memang bahwa kecuali Aceh, sebenarnya tidak ada Perda Syariah. Yang ada adalah Perda bernuansa Syariah atau bernuansa agama. Ini yang diterapkan di banyak daerah. Kalau tidak salah, teridentifikasi sekitar 67 perda berbasis agama (satu yang Kristen).
Nah, dari puluhan perda ini, banyak juga yang sebagian muatannya tidak bermasalah. Sebagai contoh, perda yang mengatur soal penjualan minuman beralkohol, perjudian, tarian erotis, narkoba, pelacuran, pornografi, dan lain sebagainya.
PSI tentu tidak menolak aturan semacam itu. Dan itupun aturan yang sebenarnya merujuk pada payung UU yang lebih besar tanpa ada muatan yang diskriminatif. Yang ditolak PSI adalah aturan-aturan yang mendiskriminasi warga, perda agama yang diskriminatif.
Di antara yang lazim kita temui, yakni kewajiban pandai baca tulis Alquran bagi murid SD, SMP, SMA, PNS, atau calon pengantin. Bahkan di Dompu, Nusa Tenggara Barat, kabarnya ada kewajiban baca Alquran bagi seluruh PNS dan tamu yang menemui bupati.
Terdapat pula kewajiban berjilbab bagi murid sekolah, mahasiswi, PNS, dan warga umum. Yang bermasalah adalah karena kewajiban itu, dalam praktiknya, tidak hanya diberlakukan bagi kaum muslim. Banyak contoh telah memperlihatkan bagaimana kewajiban tersebut juga berlaku bagi yang non-Islam.
Selanjutnya, kewajiban khatam Alquran (artinya tuntas membaca Alquran) bagi murid SD, SMP, SMA; larangan kegiatan hiburan dan membuka rumah makan pada bulan Ramadhan; kewajiban PNS membayar zakat 2,5% (padahal sudah membayar pajak penghasilan); hukum cambuk (ini di Bulukumba); larangan bagi perempuan berada di tempat umum yang sikap atau perilakunya mencurigakan sehingga menimbulkan anggapan bahwa ia pelacur (ini di Tangerang).
Larangan bagi perempuan dan pria yang bukan suami-istri berada berdua di tempat yang mencurigakan; larangan bagi perempuan berada di luar rumah pada malam hari tanpa muhrim; serta pelarangan/mempersulit pembangunan rumah ibadah atau kegiatan peribadatan.
Karenanya, argumen PSI adalah biarkan hal-hal semacam ini menjadi domain masing-masing agama, tanpa perlu diperdakan. Misalnya soal jilbab. Ya, bagi mereka yang merasa wajib, silakan. Tapi bagi mereka yang tidak merasa perlu berjilbab, apalagi yang non-Islam, tidak boleh dipaksa, apalagi di sekolah negeri atau instansi pemerintah.
Begitu juga dengan soal kewajiban bisa mengaji atau khatam Alquran. Biarkanlah itu menjadi wilayah pribadi yang tidak perlu diatur pemerintah. Semua itu adalah keyakinan yang wilayahnya berada di masing-masing hati pemeluknya.