Saat ini ada begitu banyak kaum intelektual mumpuni di seluruh dunia. Tetapi dari sekian banyak, ada satu nama yang sangat menyita perhatian publik belakangan ini: Yuval Noah Harari.

Ia adalah seorang sejarawan jebolan Iniversitas Oxford berwarga negara Israel. Kini ia menjabat sebagai profesor sejarah di Universitas Hebrew.

Namanya mulai menyeruak ke tengah publik sejak bukunya berjudul Sapiens: Riwayat Singkat Umat Manusia menyabet gelar Best Seller Internasional pada 2014. 

Tak hanya buku Sapiens, hingga 2018, Harari telah membuat dua buku lainnya yang juga tak kalah menarik dan tentu juga kontroversial: Homo Deus: Masa Depan Umat Manusia (2015) dan 21 Adab untuk Abad ke-21 (2018).

Walau terpisah, ketiga buku itu dibuat dalam satu format sekuel yang mana subjek bahasannya saling berkelanjutan. Dalam Sapiens, ia coba membongkar sejarah manusia di masa lampau. Pada Homo Deus, kita diajak melihat bagaimana kemungkinan-kemungkinan kehidupan di masa depan. Dan dalam 21 Adab untuk Abad ke-21, Harari mengajak kita menganalisis situasi dunia masa kini.

Tentu saja timbul pertanyaan, apa yang membuat Harari begitu menarik?

Ada sejumlah alasan mendasar. Pertama, sebagai seorang intelektual, Harari masih tergolong profesor muda. Usianya kini menginjak 43 tahun. Dalam usia itu, untuk ukuran profesor, tentu luar biasa mampu menelurkan karya dengan subjek cenderung besar dan tidak sederhana.

Kedua, kemasan dan penyampaian Harari tentang subjek yang luas seperti perkembangan sejarah manusia dan peradaban sungguh mengesankan. 

Bagi saya pribadi, interaksi pertama dengan buku Sapiens cukup memorable. Dari sekian buku bertema sejarah yang pernah saya baca, baru kali ini saya baca buku bertema sejarah tanpa rasa bosan! Melewati halaman demi halaman, saya terasa dibawa hanyut dan makin penasaran.

Dalam hal pembahasan materi, “Ia langsung menukik pada esensi atau prima causa di balik pergerakan sejarah, merangkainya secara kreatif dalam bangunan cerita yang dibuatnya sendiri.” Begitu opini Rizal Mallarangeng dalam artikelnya Homo Deus, Sinar Terang yang Muram.

Selain itu, buku-buku Harari muncul dalam momentum yang tepat. Ia hadir melengkapi kebutuhan zaman. 

Di era seperti sekarang, di mana perhatian manusia terbagi-bagi dan padat kesibukan, siapa lagi yang ingin membaca buku sejarah tebal dan berjilid-jilid? Apalagi bagi para anak muda kekinian yang progresif dan tak suka bertele-tele.

Terakhir, tentu teknik dagang buku-buku Harari juga cukup menarik dicermati. Kalau dipikir-pikir, kenapa ya Harari sampai harus membuat bukunya dalam tiga sekuel? Ya, jelas: biar ada penghasilan buat cari makan dan nominal rekeningnya bertambah buat jalanin hidup. 

Secara sengaja, ia mengemas tema kesejarahan dengan teknik bisnis kekinian. Tanpa tersadar, kita terhipnotis dan mau-mau saja beli semua bukunya.

Terlepas dari alasan-alasan mendasar di atas, berbagai gagasan yang disodorkan Harari patut ditelisik lebih jauh dan tentu dikritisi. Khususnya, dalam Homo Deus (2015) dan 21 Adab untuk Abad ke-21 (2018), saya pribadi melihat ada tema pokok yang luput dari amatan Harari dalam kedua buku itu.

Variasi Kebahagiaan

Dalam Homo Deus (2015), ada begitu banyak tema menarik buat dibongkar. Namun, kalau boleh saya ringkas: Harari hendak menyeret kita ke dalam diskusi soal kemungkinan-kemungkinan kehidupan peradaban manusia di masa depan.

Di balik penjelasan-penjelasannya yang terkesan menghanyutkan, sebetulnya logika dasar Homo Deus cukup sederhana: Jika dengan sains dan teknologi manusia bisa merengkuh apa saja, maka, ada kemungkinan di masa depan, sains dan teknologi membikin manusia setara dengan Tuhan.

Selain setara dengan Tuhan, sains dan teknologi bisa mengantar manusia pada kebahagiaan abadi yang paripurna. Itulah agenda pokok masa depan manusia. Tema kebahagiaan cukup krusial sebagai fondasi dasar buku Homo Deus.

Namun, sebetulnya apa itu kebahagiaan? Untuk menjawabnya, saya melihat Harari cukup kesulitan. Definisi dari kebahagiaan begitu elusif. Tetapi, Harari berusaha melangkah lebih jauh. Ia menelusuri gagasan kebahagiaan hingga jauh ke belakang. Terpilihlah filsuf Yunani kuno: Epicurus.

Menurut Epicurus, kebahagiaan amat bergantung pada sensasi-sensasi menyenangkan. Dan kebahagiaan adalah soal pencarian personal. 

Harari memoles gagasan itu: kini, dengan sains, sensasi-sensasi bisa diartikan sebagai biokimiawi. Artinya, kebahagiaan—juga penderitaan—itu bergantung oleh biokimiawi yang ada dalam jaringan otak. Dan, Harari menganggap manusia tak bisa mengontrol biokimiawi itu. Sebab biokimiawi terjadi secara acak dalam celah-celah sinapsis saraf otak manusia.

Tentu saja konsekuensi dari logika itu adalah: manusia jadi tampak tak berdaya. Manusia tak bisa memilih kebahagiaan. Semuanya bergantung pada biokimiawi otak. Bukan kehendak manusia yang mengendalikan biokimiawi, tetapi biokimiawi mengendalikan manusia. 

Karena kebahagiaan disebabkan oleh biokimiawi otak, maka satu-satunya cara agar merengkuh kebahagiaan abadi adalah dengan “mengedit” cetakan dasar biokimiawi otak manusia. Menurut Harari, itu hanya bisa dilakukan oleh: rekayasa genetika dan bioteknologi.

Namun, benarkah manusia tak bisa “memilih” kebahagiaan? Benarkah manusia tak bisa “menghendaki” kebahagiaan? Apakah manusia tak bisa “mengendalikan” sensasi-sensasi dari biokimiawi?

Bayangkan skenario berikut. Saya sedang kesal dan marah. Jika dilihat dari sudut pandang sains, maka marah sama halnya dengan kebahagiaan, yakni: sensasi akibat biokimiawi. Bentuk ekspresinya saja yang berbeda. Dan karena itu pula saya jadi tidak akan bisa mengendalikan amarah saya. 

Tetapi faktanya, saya dan kita semua punya kemampuan untuk mengendalikan, atau setidaknya, menahan amarah. Walau dengan derajat yang berbeda-beda. Artinya, manusia tak sepenuhnya dikendalikan oleh biokimiawi otak. Manusia bisa “memilih” sensasi-sensasi biokimiawi itu. Dalam arti, manusia juga bisa “menghendaki” kebahagiaan. 

Tentu saja kita bisa mempertimbangkan kebahagiaan versi lain. Jika Harari berlandas pada Epicurus, maka saya ingin menyandingkan Aristoteles sebagai antitesis. Patut dicermati, Harari mengikuti gagasan Epicurus: bahwa kebahagiaan itu setara dengan kesenangan. Aristoteles justru sebaliknya, kebahagiaan berbeda dengan kesenangan. 

Bagi Aristoteles, kesenangan itu derajatnya lebih rendah dari kebahagiaan. Kesenangan hanya sesaat dan sensasi-sensasi semu. Barangsiapa mengejar kesenangan, maka ia tidak akan pernah merasa puas. Dan, manusia yang hanya mengejar kesenangan tak jauh beda dengan binatang. Sementara, kebahagiaan justru sebaliknya.

Dalam Nichomachean Ethics, Aristoteles menjelaskan bahwa kebahagiaan hanya bisa diperoleh dengan memiliki sebuah tujuan hidup. Kebahagiaan akan diperoleh jika kita menjalani kehidupan yang menunjangnya. Hidup itulah yang perlu diupayakan dan bukan kebahagiaan itu sendiri. 

Hidup seperti apa yang membuat kita merasakan kebahagiaan? Aristoteles mengatakan bahwa dalam hidup kita haruslah memiliki sebuah keutamaan.

Keutamaan tertanam dalam sebuah sikap dan tindakan seorang manusia. Oleh karena itu, yang harus dituju bukan kebahagiaannya, tetapi justru membangun sebuah keutamaan dalam diri.

Sampai di sini, tampak bahwa kesimpulan gagasan yang bertopang dengan Epicurus berbeda dengan yang bertopang dengan Aristoteles. Andai Harari berpijak pada gagasan Aristoteles, saya yakin kesimpulan Harari akan berbeda. 

Namun pertanyaan paling mendesaknya adalah: mengapa Harari “memilih” Epicurus, bukan Aristoteles untuk mendefinisikan kebahagiaan? Mengapa ia memilih kebahagiaan yang sepadan dengan kesenangan, bukan kebahagiaan yang berbeda dengan kesenangan?

Barangkali, pernyataan berikut bisa jadi jawabannya sekaligus menunjukkan di mana posisi Harari “… Tak peduli apa kata para biksu di gua-gua Himalaya mereka atau para filsuf di menara-menara gading mereka, bagi barisan kapitalis, kebahagiaan adalah kesenangan.” (Hal. 48)

Terlepas dari segala penjelasan di atas, saya pikir kita juga perlu menengok definisi kebahagiaan terkontemporer ala Mark Manson. Dalam bukunya berjudul Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat (2018), ia memberi pandangan menarik: kebahagiaan lahir dari kegiatan memecahkan masalah. Sebab, dalam kehidupan ini, masalah adalah konstanta. 

Teknologi dan Kesehatan Mental

Jika boleh membuat klasemen, maka saya pribadi menempatkan Sapiens pada puncak teratas. Lalu, Homo Deus sebagai Runner Up. Dan terakhir, 21 Adab untuk Abad ke -21. Urutan ini tak bermaksud untuk mendiskreditkan salah satu buku Harari. Namun semata menilainya berdasar narasi yang dikembangkan dan topik yang diulas.

Dalam 21 Adab untuk Abad ke-21 (Selanjutnya 21 Adab), Harari mengajak kita menganalisis situasi dunia hari ini dan mendiskusikan bagaimana kita menyikapi tantangan-tantangan nyata di depan mata. 

Ada begitu banyak topik yang dikupas Harari dalam 21 Adab. Mulai dari politik, ekonomi, teknologi, hingga agama. Meski begitu, gambaran besarnya cukup jelas: Abad 21 adalah zaman kebingungan. Dan, di tengah dunia banjir informasi tak relevan serta kebingungan, kejelasan adalah kekuatan.

Jadi, jelasnya, apa tantangan nyata dan utama bagi peradaban global kita saat ini?

Dalam bab 2, Harari menyebutnya dengan gamblang: Perang nuklir, terorisme, keruntuhan ekologi dan disrupsi teknologi. 

Secara teknis, persoalan-persoalan tersebut menuntut penyelesaian secara global. Sayangnya, Harari tak menyodorkan langkah-langkah konkret selain: “…mengendalikan rasa takut dan bersikap sedikit lebih rendah hati terhadap pandangan kita.” (Hal. 169) 

Tetapi memang buku 21 Adab memang bertujuan untuk “…merangsang pemikiran lebih lanjut, dan membantu pembaca berpartisipasi dalam beberapa percakapan utama di zaman kita.” (Hal.x) 

Setelah menelusuri gambaran situasi global saat ini di segala bidang, di akhir bab 5, Harari menyodorkan pertanyaan: “Bagaimana hidup di zaman kebingungan, ketika cerita-cerita lama telah runtuh dan tak ada cerita baru muncul menggantikannya?” 

Jawabannya cukup anti klimaks: Meditasi. Ia menganggap peran dimensi psikologis dan pengendalian pikiran sangat krusial. 

Yang bagi saya cukup aneh, jika Harari melihat betapa krusialnya dimensi psikologis, mengapa ia tak memasukkan depresi dan bunuh diri juga sebagai salah satu persoalan penting saat ini? 

Saya pikir, di samping perang nuklir, terorisme, keruntuhan ekologi, dan disrupsi teknologi, kita juga perlu menambahkan depresi dan bunuh diri (atau kesehatan mental secara umum) ke dalam daftar utama. Apalagi, ada kecenderungan kuat penggunaan teknologi bisa memberi bermacam dampak psikologis negatif. Topik ini tak dielaborasi lebih jauh oleh Harari. 

Dalam Psychology Today Magazine edisi Maret 2018, disebutkan bahwa penggunaan media sosial jadi salah satu variabel yang berperan atas tumbuhnya bibit kesepian. Penggunaan media sosial memutus keterampilan seseorang dalam berinteraksi di dunia nyata, khususnya bagi para remaja dan dewasa muda.

Dampak kesepian akibat penggunaan teknologi smartphone dan media sosial ini sungguh tak bisa diremehkan. Para editor di Psychology Today mencatat jika kesepian kini sedang mengalami pelonjakan. Pada tahun 2010, sekitar 40 persen warga di Amerika melaporkan merasa kesepian secara konsisten, naik sekitar 20% dari tahun 1980-an.

Kultur digital juga dianggap berandil besar dalam membuat kita makin terisolasi. Meski tak bisa digeneralisasi, namun memang ada kecenderungannya membuat kita tenggelam dalam kesepian. Banyak peneliti telah mengungkap hal ini. Salah satu dampaknya adalah menumpulkan kemampuan interaksi kita dengan sesama di dunia nyata.

Psikolog dari Universitas Birmingham, Julliane Holt-Lunstand dalam penelitiannya mengungkap bahwa efek fisiologis kesepian setara dengan merokok dan obesitas, bahkan lebih. Penelitiannya menjadi bukti kuat bahwa kesepian dapat menyebabkan risiko kematian dini.

Di saat bersamaan, salah satu dampak lain yang tak bisa disepelekan dari kesepian akibat teknologi media sosial dan kultur digital kita adalah: depresi. Hampir lebih dari 300 juta orang kini hidup dalam depresi. Dan parahnya, persentase meningkat lebih dari 18% dari tahun 2005 - 2015. 

Sementara, di sisi lain, keadaan depresi bisa menjadi salah satu pendorong utama bagi seseorang untuk bunuh diri. Yang lagi-lagi sayangnya, tingkat persentasenya belakangan juga makin meningkat di seluruh dunia.

Tentu saja setelah melihat fakta-fakta tersebut, saya pikir tak berlebihan bila meningkatkan kesehatan mental juga layak masuk daftar tantangan utama bagi abad 21 ini.