Acara ngobrol santai mengenai hal-hal yang berbau Jawa selalu memiliki potensi untuk menjadi bengkerengan. Bengkerengan adalah pertengkaran level verbal, belum sampai merambah pertengkaran fisik. Apalagi jika acara obrolan itu dilakukan secara online via media sosial, grup FB dan WA misalnya. Obrolan tersebut hampir pasti dihiasi ucapan yang bernada melecehkan, merendahkan bahkan hingga saling memaki lawan bicara.

Makian paling menyakitkan dalam obrolan di media sosial, bagi saya bukanlah makian ala kebun binatang. Sebagai kera ngalam saya sudah terbiasa dengan makian semacam itu. Yang paling menyakitkan justru ketika kita disebut ora njawa atau kadang ilang jawane, artinya hampir serupa yakni tidak (seperti) jawa.

Kalimat wong jawa ilang jawane awalnya adalah nasehat

Ketika masih SD dulu, saya sering mendengar kalimat wong jawa ilang jawane yang diucapkan oleh orang-orang tua dalam konteks sebagai petuah kepada generasi muda agar jangan sampai ilang jawane. Maksudnya adalah jangan sampai kehilangan identitas dan jati diri kejawaannya. Identitas kejawaan yang dimaksud adalah tatanan dan nilai-nilai yang dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.

Jaman sekarang kalimat tersebut semakin akrab di telinga, namun seringkali malah digunakan untuk mencerca orang lain yang dianggap kurang njawani. Perihal kurang jawa disini bermacam-macam. Bisa jadi kurang jawa dalam hal tata krama, kurang jawa dalam berpakaian, kurang jawa dalam hal pengetahuan, dan lain-lain.

Nasehat yang bergeser menjadi kalimat hinaan

Belakangan kalimat tersebut dapat kita jumpai bertebaran di media sosial. Alih-alih sebagai kalimat nasehat, fungsinya semakin dominan sebagai paidon yang bertujuan untuk mencerca atau menghina orang lain. 

Misalnya ketika ada orang yang berbeda pendapat dalam hal kawruh jawa akan disebut tidak njawani. Jika ada orang yang sering berbicara bahasa asing disebut jawanya tinggal separo. Apalagi jika ada rekan yang berbusana ala Arab, pasti dihina dengan sebutan wis ilang jawane,  telah hilang jawanya.

Orang-orang yang model begitu, menurut saya kok kelewat jumawa. Merasa dirinya paling jawa. Ujung-ujungnya menumbuhkan primordialisme tanpa dasar. Hanya bermodal pakaian surjan dan ikat kepala batik saja sudah berani meledek orang lain. 

Punya simpanan pusaka keris sebilah saja sudah bertingkah seperti wangsa satria, yang lain dianggap sudra semua. Apalagi jika menjadi anggota salah satu paguyuban atau sanggar seni budaya, sudah merasa sebagai satu-satunya pewaris tanah jawa, yang lain cuma ngontrak.

Hakikat manusia jawa

Sebenarnya yang disebut jawa dalam konteks unen-unen wong jawa ilang jawane tersebut yang bagaimana sih? Apakah yang sehari-hari mengenakan jarik, ikat kepala batik dan berbaju surjan lurik? Apakah yang selalu berbicara bahasa jawa krama inggil? Apakah yang telah mampu menjelaskan filosofi jawa dengan berbusa-busa?

Jika menurut Anda seperti itu ya mangga saja. Tapi sependek pengetahuan saya kok ndak begitu. Bagi saya yang disebut jawa itu bukan urusan wilayah/daerah, bukan soal suku primordial, apalagi hanya perkara darah daging atau keturunan. Menurut saya lebih dari itu.

Bagi saya “yang disebut Jawa adalah sebuah tatanan nilai-nilai yang berlandaskan Tauhid yang merupakan perpaduan anasir-anasir Tauhid dari berbagai agama yang pernah ada di dunia. Itu sebabnya, yang disebut Jawa tidak akan pernah mati dan sebaliknya akan tetap hidup lestari abadi seiring putaran roda waktu selama anasir Tauhid masih melekat padanya." Seperti yang ditulis oleh Agus Sunyoto di buku Suluk Malang Sungsang, buku 6, hal. 298.

Tatanan dan nilai-nilai tersebut banyak macamnya. Keseluruhan tatanan dan nilai-nilai tersebut saling berkaitan antara satu dengan lainnya. Contohnya nilai-nilai toleransi (tepa-slira), merasa cukup (nriman), guyub-rukun, tolong-menolong, dan lain-lain.

Jelasnya yang layak disebut sebagai orang jawa adalah orang yang bisa menerapkan tatanan dan nilai-nilai tersebut dalam hidup bermasyarakat, tanpa memandang faktor keturunan. Meskipun dia –misalnya- adalah orang Eropa atau China, tetapi jika menjalankan tatanan dan nilai-nilai jawa maka bisa disebut njawa. Sebaliknya meskipun orang yang hidup di tanah jawa, lahir dari rahim Ibu jawa, tetapi tidak mengindahkan tatanan jawa, ya bisa disebut tidak njawani.

Contoh nilai manusia jawa: tepa-slira

Tidak perlu banyak-banyak, coba ambil satu saja nilai-nilai jawa di atas, kemudian kita renungkan dengan jujur: apa iya kita sudah njawa? Satu saja: toleransi/tepa-slira (hal ini juga terutama menjadi bahan mawas diri bagi saya pribadi). Untuk nilai-nilai yang lain bolehlah kita kupas lain kali.

Nyatanya masih banyak orang yang mengaku jawa karena telah melestarikan seni budaya jawa, tetapi dalam kehidupan bermasyarakat tidak menunjukkan sikap toleransi. Contohnya bisa dilihat ketika mereka sedang jagongan.

Ketika njagong mereka lali empan-papan, lupa waktu lupa tempat. Kumpul-kumpul tengah malam di lingkungan gang padat penduduk, dengan cara bicara yang keras seperti cuma mereka yang punya telinga. Tidak berpikir bahwa tetangga juga butuh waktu istirahat. Tidak berpikir bahwa omongannya bisa mengganggu tetangga yang masih balita. Tidak sempat berempati jika ada tetangganya yang sedang sakit hati, eh gigi. Yang semacam itupun masih merasa diri paling njawa

Buktinya masih ada yang merasa sudah njawa, gemar beribadah kepada Tuhan. Tetapi dalam beribadah tersebut lupa perihal toleransi. Setiap beribadah selalu menggunakan speaker yang volumenya minta ampun. Wong cuman puji-pujian jam setengah empat subuh saja mereka merasa wajib pakai pengeras suara.

Apa urgensinya sih, melakukan ibadah non-wajib mesti pakai pengeras suara segala? Sudah begitu tanpa mengukur volume dan kualitas speaker yang njembret bikin gatal gendang telinga. Tidak merasa bahwa tetangga juga ada yang beda agama. Meskipun yang seagama juga belum tentu legawa dengan volume speaker yang loss dhol macem gitu. Yang seperti itu apa pantas disebut telah njawa?

Ada lagi orang yang merasa telah njawa dengan bekal kawruh dari situs-situs blogspot. Kerjaannya mengobral tudingan kepada mereka yang tidak sealiran. Entah di dunia nyata atau maya sama saja. Apa yang dibaca pertama kali, itulah yang diyakini. Jika ada lawan bicara yang coba melakukan rekonstruksi, segeralah melesat tudingan andalan: wis ilang jawane. Apa ya seperti itu watak jawa?

Lalu, jika sehari-hari kita masih sering berlaku nir-toleransi, apakah pantas kita menunjuk hidung orang lain dengan sebutan tidak njawa?

Melempar tudingan ‘ilang jawane’, ibarat rebutan balung tanpa isi

Yang seperti itu menurut saya kok seperti rebutan balung tanpa isi, berebut menjadi jawa tapi kehilangan esensi. Tidak menjadikan tatanan dan nilai-nilai jawa lestari, malah ngisin-isini, memalukan. Maka cukupkanlah sekian saja. Janganlah sok mengumbar kalimat-kalimat bernada hinaan semacam “ilang jawane, ora njawani, jawane kari separo” kepada orang lain. Karena sesungguhnya kalimat tersebut memiliki konteks reflektif, lebih baik jika digunakan untuk mawas diri.

Sekali lagi, hal ini lebih berfungsi sebagai pengingat diri saya pribadi. Syukur-syukur jika bisa bermanfaat juga bagi panjenengan. Rahayu…