Wacana wisata halal di Danau Toba membuat keributan di media sosial. Ramai-ramai orang menuliskan pendapatnya, mulai dari cara yang halus, setengah kasar, sampai kasar sekali; mulai dari yang masuk akal sampai ke pendapat yang kita tak akan menyangka itu buah pikiran dari seorang manusia.
Bukan karena label “halal” maka wacana ini menjadi diributkan. Bukan karena orang Batak anti sama pendatang. Atau karena hal-hal berbau SARA. Bukan. Bukan karena itu. Tapi karena babi.
Ya, binatang yang – di kampung kami – kerap dibawa-bawa namanya kalau untuk menyebut manusia yang penuh iri, senang melihat orang susah, dan perilaku negatif lainnya. Gak tahu apa makna filosofisnya. Yang jelas kutahu, babi gak kayak gitu: gak suka iri, gak senang menyusahkan.
Mungkin karena itu babi disenangi banyak orang. Setidaknya orang Batak. Hampir setiap rumah memelihara babi. Bahkan, ada yang menyekolahkan anaknya hingga sarjana dari hasil beternak babi – sebenarnya karena hal-hal emosional seperti ini yang membuat orang Batak geram. Babi gak bisa dilepaskan dari kehidupan orang Batak.
Gak percaya? Lihatlah bagaimana orang Batak dari seluruh penjuru dunia bersatu melawan karena babi akan digusur. Bukan hanya “rumah” tempat hidupnya, tapi juga matinya – diwacanakan babi gak bisa dipotong dan dijual di sembarangan tempat.
Kalau ada aktivis penyayang babi, mungkin akan ikut dalam perlawanan ini – ah, gausah kita pake kata ‘perlawanan’. Macam apa kaliii… (bacanya pake logat Naga Bonar).
Kembali ke wacana tadi. Sebenarnya pertama kali baca wacana itu di sebuah portal berita, saya tertawa. Biasalah, pejabat ngomongnya kadang ngasal. Kadang ide lahir tiba-tiba dari pertanyaan wartawan. Atau karena ada peserta rapat yang ngeluh. Untuk apa? Asal Bapak Senang! Atau mungkin, sekadar meraih popularitas.
Tapi belakangan, setelah jagat maya ribut, saya memberi perhatian lebih. Bahkan setelah saya baca-baca, akan diadakan festival Babi di salah satu desa bulan Oktober mendatang. Festival itu akan berisi banyak kegiatan, mulai dari lomba lari babi, menebak berat badan babi, hingga swafoto bersama babi.
Menurut penggagasnya, Togu Simorangkir, inti dari festival ini adalah kegembiraan.
Saya sangat setuju diadakannya festival itu. Bukan karena tak menghormati teman-teman yang muslim, tapi karena perekonomian masyarakat sekitar akan bergerak – seperti kata penggagasnya. Dan, kayaknya ada yang keliru di dalam pikiran si pengambil kebijakan.
Begini, memang banyak babi berkeliaran di beberapa tempat. Banyak daging yang digantung di beberapa pasar atau di depan rumah masyarakat. Tapi kan, si pemelihara gak nyuruh babinya ngejar wisatawan; si penjual gak menawarkan dagingnya untuk dibeli teman-teman yang muslim.
“Daging babi… daging babi… Sekilo enam puluh ribu. Setengah kilo dua puluh ribu. Rasanya enak. Sekali gigitan, mana cukup!”
Nggak, kan? Terus untuk apa diwacanakan? Untuk nambah ribut? Negeri kita sudah banyak keributan-keributan yang tak terselesaikan.
Harusnya para pejabat sensitif untuk mengambil kebijakan. Jangan asal ngomong. Kan kalau sudah ribut, yang repot juga mereka: sibuk klarifikasi dan siaran pers. Tapi kita harus maklum. Lagian, masalah ini membuat kita saling mengenal dan para pejabat belajar.
Sebagai orang Batak, lahir dan besar di tanah Batak, saya tahu persis orang Batak itu sangat toleran. Misalnya kalau ada hajatan, pasti disediakan tempat untuk makan bagi “orang” yang gak bisa makan daging babi. Dan yang masak juga dikhususkan Si Tukang Masak dan tempatnya (saya pakai kata “orang” sebab bukan hanya muslim yang gak makan daging babi. Di kalangan orang Batak sendiri banyak yang gak makan).
Masa ada orang Batak gak makan daging babi? Bukankah semua yang berkaki empat dimakan selain meja?
Nah, ini yang ingin saya luruskan dalam tulisan ini.
Setelah membaca banyak komentar di media sosial, saya sangat yakin, banyak orang yang salah paham dengan orang Batak dan Danau Toba. Itu yang membuat wacana ini lahir.
Misalnya, menganggap orang Batak yang mendiami sekitaran Danau Toba berbicara dan bertindak kasar. Atau menganggap kawasan wisata Danau Toba itu hanya sebatas satu daerah kecil.
Danau Toba itu luas, Lae! Googling aja. Atau kalau gak mau habis kuota, nih saya kasih tahu sedikit: di Parapat, ada spot yang bebas dari babi, masjid ada, dan rumah makan halal juga banyak; atau berkunjung ke Bukit Simarjarunjung, yang ketika terakhir kali kesana, gak ada babi berkeliaran pun bergantungan.
Kalau alasannya kurang fasilitas, ya tinggal ditambah. Bukan labelnya, tapi masjid, rumah makan, dan sebagainya yang dianggap kurang. Tapi sependek yang saya ketahui sih, fasilitas itu sudah banyak.
“Gubernurnya aja yang kurang kerjaan!” – izin Pak Edi, sebelum Bapak tanya apa hak saya mengatakan itu, Siap! Yang mengatakan itu bukan saya, tapi penggagas festival babi.
Jadi sekali lagi, bukan karena label halal yang akan disematkan ke Danau Toba. Jangan salah paham, dan menganggap orang Batak gak mau diajak menghormati keyakinan orang lain yang berbeda. Bukan gitu, Lae!
Orang Batak mudah diajak bicara – jadi jangan dipikir sebaliknya karena suara kami yang menggelegar. Bermusyawarah maupun berdebat, orang Batak selalu siap.
Tahu kalian kenapa banyak orang Batak yang jadi pengacara? Ya karena itu, semua hal harus dibicarakan terlebih dahulu dan setiap orang diberi kesempatan bicara. Karena bagi orang Batak, diberi kesempatan bicara itu adalah momen yang sangat berharga.
Gak tahu kenapa. Belum kuteliti. Mungkin biar gak apa kali, apanya itu.