Waria adalah singkatan dari wanita pria, yang mana mereka adalah kelompok laki-laki yang merubah penampilan menjadi perempuan, atau dalam bahasa lain disebut transwomen. Tidak jarang kita melihat berita di media seperti televisi dan media online, tentang bagaimana kelompok waria ini di razia oleh aparat karena dituduh sebagai pengganggu ketertiban umum. Atau homophobia masyarakat yang men-cap waria adalah penyakit sosial. Masyarakat secara tegas menolak waria, bahkan waria di diskriminasi dalam lingkungan sosial mereka.
Apakah benar mereka mengganggu ketertiban umum? Apa iya mereka merupakan penyakit sosial? Pertanyaan ini patut kita renungi dan kita gali bersama, apakah benar? Bisa jadi masyarakat kita yang belum terbiasa dengan kehadiran waria, karena penampilan mereka yang berdandan seperti perempuan; memakai bedak, lipstik dan rambut palsu, lantas di anggap tidak lazim. Perbedaan mereka dengan laki-laki pada umumnya dan perempuan pada umumnya kemudian menjadi titik tolok masyarakat mendiskreditkan mereka sebagai "yang lain". Dan yang lain tidak mendapatkan tempat di lingkungan sosial; selain laki-laki dan perempuan "normal".
Waria di Wilayah Pedesaan
Berbeda dari yang terjadi umum di kota-kota besar, waria di Desa Matang Danau, Kabupaten Sambas Kalimantan Barat pada dasarnya tidak mengalami penolakan di masyarakat. Sama hal nya seperti yang saya amati di Kecamatan Balai, Kabupaten Sanggau Kalimantan Barat. Masyarakat tidak terganggu sama sekali dengan kehadiran kelompok waria, sebaliknya masyarakat senang karena dengan kehadiran waria dapat membantu pekerjaan-pekerjaan sosial di tengah masyarakat; seperti menjadi rias pengantin saat ada yang menikah, mengajarkan ibu-ibu menjahit, membantu ibu-ibu memasak saat ada pesta hajatan, dan masih banyak fungsi sosial waria yang bersifat positif.
Masyarakat justru terbantu dengan kehadiran waria di tengah-tengah mereka. Di Desa Matang Danau, lebih dari 40 orang waria yang hidup di tengah-tengah masyarakat di desa tersebut. Pengakuan ibu-ibu; jika waria tidak ada, mereka akan kebingungan jika mau potong rambut, rias pengantin, atau berbagai jenis skill lain yang hanya dimiliki oleh waria. Memang pada dasarnya masih ada sedikit stigma di masyarakat; seperti adanya ujaran kebencian.
Namun, hal tersebut mampu ditepiskan oleh kelompok waria di desa itu, dengan melakukan hal-hal positif di masyarakat. Kehadiran waria di desa itu mampu dirasakan manfaatnya bagi masyarakat, terlebih saat perayaan Hari Kemerdekaan RI, 17 Agustus setiap tahun. Kelompok waria lah yang tampil terdepan dalam memeriahkan acara di hari bersejarah Indonesia ini. Berbagai perlombaan, dan aksi seru-seruan waria dapat menjadi hiburan bagi masyarakat. Waria dan masyarakat membaur menjadi satu, tanpa memandang perbedaan identitas gender.
Tidak jauh berbeda dengan yang ada di Kecamatan Balai, waria dapat membaur dengan kehidupan sosial masyarakat. Berdasarkan pengamatan saya, rata-rata pemilik salon kecantikan di sana adalah waria. Waria di kecamatan berasal dari berbagai desa. Mereka membuka usaha dengan skill yang mereka miliki. Pengakuan masyarakat pula; tanpa kehadiran waria mungkin mereka kesulitan, karena ada skill tertentu yang tidak dimiliki oleh orang lain, hanya dimiliki waria.
Waria mengajarkan perempuan-perempuan merias wajah, ada juga yang mengajar memasak, menjahit dan menari. Memang, pada dasarnya stigma juga tidak bisa dielakkan oleh kelompok waria. Mengapa waria di wilayah desa lebih banyak diterima di masyarakat, berbeda dari perlakuan terhadap waria di wilayah perkotaan? Hal ini perlu kajian dan penelitian mendalam untuk mendapatkan jawabannya.