Sebenarnya aku sudah muak membicarakan senja. Senja, senja dan senja lagi.

Tahukah kalian apa yang membuat senja begitu membosankan? Bukan suasananya. Ia begitu indah. Namun karena sering dibahas, ia jadi begitu membosankan. Pada hal indah yang terlalu sering dibahas kita bisa merasa jemu.

Terlalu banyak yang menjadikannya objek. Tentang segala keindahannya, mega merahnya, bola keemasan yang menuju tenggelam, awan menggumpal, burung-burung kembali ke sarang, sinar jingga yang memantul pada bentangan permukaan laut. Dan segenap keindahan dengan carut-marutnya yang disangkutkan dengan permasalahan hati.

Aku muak. Sungguh aku muak membicarakannya.

Tapi kendati demikian, sekali ini aku akan bicara soal senja. Sekali lagi. Tentang senja dan wanita yang duduk bersama.

***

Di senja itu, matahari merah setengah tenggelam. Awan jingga merona. Ombak menggulung serupa dalam kobaran api. Angin berembus pelan. Begitu juga waktu yang kami lewati.

Ia duduk menghadap hamparan laut jingga diterpa sinar senja dan lampu jalan setapak yang terlalu cepat menyala. Burung-burung menggores langit emas.

Kalian pasti tahu, kadang waktu terasa cepat saat kita bahagia. Tapi tidak untuk kali ini. Sore itu, banyak gerakan kami yang terasa slow motion, layaknya di film-film India. Sayangnya tak ada sound efek yang mengiringi.

Aku menikmati waktu yang terasa lambat ini. Sambil memandang senja dan dirinya. Dua keindahan yang bersama dalam satu lanskap. Tergambar siluet gadis berkerudung yang duduk di pasir putih dengan latar ombak dan langit yang hampir sewarna, jingga.

 Sebenarnya tak bagus menikmati hal yang berlebihan. Seperti dua keindahan sekaligus. Tapi, karena telah lama aku muak dengan senja – akibat dieksploitasi oleh kalangan muda – maka ku putuskan hanya berfokus padanya. Meski ia lebih memilih fokus pada senja. Sial!

Tapi tak mengapa, kita punya cara masing-masing dalam menikmati waktu. Sebagaimana saat ini, fokus kita berbeda.

Barangkali pikiran wanita adalah laut kala senja. Luas, dalam dan penuh teka-teki. Kita hanya bisa menerka bahwa laut itu berwarna jingga. Tapi kita tak bisa benar-benar memastikan, apakah benar ia berwarna jingga, atau hanya sebuah bias tuk mengelabuhi, atau mungkin cerminan bagi siapa yang ia hadapi. Aku lebih setuju yang terakhir.

Wanita serupa cermin, ia bisa berwarna jingga bila berhadapan dengan senja. Tapi ia tetap tenang menjaga gelapnya di dasar lautnya. Entah, kita tak pernah tahu pasti isi hati dan pikiran wanita. Kita hanya mencoba menerka-nerkanya.

Memang sering terjadi, dua orang duduk bersama, tapi masing-masing pikiran terbang entah ke mana. Tubuh di satu tempat, namun pikiran di lain tempat. Namun tak apa, duduk bersama sudah cukup. Dan mataku terus mengawasinya. Menikmatinya, mungkin begitu lebih tepatnya.

Sadar akan ia yang terus kuperhatikan. Perlahan ia bergeser agak mendekat. Lalu ia memulai pembicaraan dengan sedikit canda. Berlanjut dengan mengeluhkan permasalahan yang tengah ia hadapi.

Bagi laki-laki, cerita yang diucapkan wanita yang disukai adalah semacam lagu, yang akan dengan khusyuk ia simak.

Sebagaimana kepahitan-kepahitan yang terus ia ceritakan padaku sore itu. Aku hanya mendengarkannya. Tak berniat memberikan nasihat sedikit pun. Aku tak ingin sok bijak. Hanya kutimpali sedikit-sedikit, sebagai pertanda aku masih menyimaknya.

“Kau indah dengan segala permasalahanmu. Sebagaimana senja.” Kataku yang tertahan. Hanya bergema di hati.

Aku membicarakan senja, sekali lagi. Ah, sial!

***

Desir berbisik pada telingaku, di sela-sela suaranya. Ia duduk setengah memunggungiku.

Ia tetap bicara, meski segan. Menggumamkan senandika yang kudengar dengan khidmat sembari memandang ujung kerudung yang bergulung-gulung tersapu angin. Tangannya menari-nari di atas pasir putih laut senja yang lindap. Berkelindan goresan masalah dari tarian jarinya.

Meski matanya menerawang aksa di nun sana. Aku bisa merasakan ada yang teguh, yang amerta dalam dirinya.

Maka, meski gelap sayup-sayup datang, tetap kudengar ia yang terus bicara. Tak hirau pada malam yang turut mencuri dengar resahnya.

Di kejauhan, adiknya bermain pasir. Dengan tenangnya bocah gadis itu menggambar di pasir yang segera terhapus ombak.

Keasyikan adiknya itu segera ia bubarkan dengan suara yang coba ia kuatkan. Namun tetap desir sedih bekas ceritanya masih terselip di antara gema teriakannya. Memang seperti itukah wanita pesisir?

Dek, mriki lo.”

Bocah itu lari mendekat. Ia sambut dengan menangkapnya, mencium lalu mendekapnya.

Ayo mantuk. Pon dalu.”

Sek, Mbak. Diluk kas.”

Bocah itu lalu duduk dalam pangkuan yang derana. Tanpa hirau padaku yang lekat memandangi mereka.

Keduanya terus bercakap. Saling menuduh. Kebiasaan adik kakak yang se-gender. Percakapan itu kudengar sebagai lantunan litani beriring lokananta  yang bergaung memenuhi jumantara. Menambah-nambah hamparan swastamita, lengkap dengan sandyakala.

Wanita itu lalu kembali meneruskan ceritanya padaku. Bocah itu tetap teduh, tak hirau. Seolah tahu dan memberi waktu untuk kakaknya melayarkan sedihnya padaku.

Sore itu, kusimak gerutu sendu rindunya yang terasa bagai alegi. Menjadikanku gempita di dasar bentala yang berbinar hingga bumantala dalam asmaraloka.