A poem of Mamzelle Aurlie
For those who cares
'Bout stars which shines
They deserved to be the happiest
While world still cruelest monster
Mamzelle Aurlie taught us
Knowing others make you the happiest
But such like every happiness
You may realize when it was gone
Be like her
She supposed to be the happiest
But the happiest will cry too
When it leaves without a kiss
Gazing at a distant star
Will be an option
When you can't reach
Those who make a troubled miss
Bekasi, 25/12/20
A Man and His Face
There was a man
Who put loyalty on his face
While walking through plaza
And ask each womans like a dice,
"I bring happiness" He said
Smile, like a boy found his toys
In the garbage of life, alone
Then he seek the answer of his quest
At one moment,
As the time when every dot of dice reveal
Every "no" answer that he got
He sat in the corner of Plaza, cried
He ask the ant,
which walking down through his hand
Why human ask for something they refuse?
Condemn the traitor but still betray a trust
The ant and his loudly laught
slide to the man's face and shout
"They didn't need yours,
Then why ask for theirs"
Bekasi 29/12/20
Of The End Of Life
Some humans told,
That the death equal the absence
But some human forgot,
The absence happen even in life's
Absence, phrase that everyone avoid
Neither used nor remembered
The one who betrayed
Forgotten and isolated
Does the death is the absence?
That presumption, unfortunately, failed
On someone's alee,
Whose heart bear the burden of remembrance
Bekasi, 13/1/21
Aib Yang Sembunyi
Barangkali, namaku telah menjadi aib
Yang enggan kau julurkan pada setiap doa yang kau tuntut setiap maghrib
Barangkali, namaku telah menjadi aib
Yang kau coba enyahkan dalam setiap paragraf hingga tak bersisa, raib...
Barangkali, namaku telah menjadi aib
Yang ditinggal pada baris paling belakang, pada setiap frasa yang kau runut dengan tertib
Aku bersembunyi, pada setiap titik
Pada perhentian yang terbatas, sedetik..
Sebelum setiap air yang jatuh, rintik
Mengenai pensil biru mu yang antik.
Aku ada pada kata yang kau usap
Pada setiap frasa yang kau ikat
Pada seriap kalimat yang memikat
Tapi aku aib, bagimu, bagi tulisanmu.
Sebagai aib yang tertera padamu layaknya rajah,
Menyentuhmu, dapatkah?
Selain palingan wajah,
Atau tajamnya sebuah lidah,
Aib hendaknya tau diri
Selain mengintip,
Ia seharusnya bersembunyi...
Sepasang Helai Rambut
Suatu sore di perkopian kota
Seorang perempuan duduk menghadap jendela
Menatap flyover Jatiwarna
Termenung, mencari Matahari yang hilang kala senja
Ia tak bisa menitikkan air mata
Jika sedih, rontoklah helai-helai rambut jadi gantinya
Sekuat tenaga ia menahan "tangis"
Agar rambutnya tak makin tipis
Sayang, usahanya gagal
Matahari tak jua hadir, hatinya gatal
Maka rontoklah sepasang helai rambut
Pada ruang yang tengah berkabut
Seperti air yang keluar dari mata
Manusia tak akan pernah memungutnya
Begitupula sang puan,
Pada dua helai mahkota yang jatuh melayang
Sepasang helai rambut itu jatuh, terbang
Melewati kaca jendela yang usang
Tapi tak seperti matahari yang enggan pulang
Dua helai rambut itu membumbung, berpasang
Bekasi, 8/1/21
Mantra-mantra
Aku ingin bercerita padamu,
Tentang tiga lembar terakhir sebuah buku
Barangkali, tiga lembar itu yang dicari oleh para penyair
Ia tidak akan terlihat, oleh sebab tak boleh dilihat
Tapi aku melihatnya, aku membacanya
Maukah kau mendengarnya?
Tiga lembar itu bercerita tentang kisah rahasia
Kisah yang dijaga dalam reruntuhan pecinta
Kabarnya, kisah ini hanya boleh didengar oleh telinga kanan
Sebab telinga kiri tak pernah berkenan
Menjaga rahasia para cendikiawan
Rahasia setiap inchi hati yang rawan
Jika berkenan, mendekatlah
Kan kukisahkan, tiga lembar itu
Mendekatlah,
Kan kubisikkan, mantra-mantra itu
Bekasi 7/1/21
Waktu untuk ditebus
Singularitas, apa sejarah bisa diterabas?
Jika waktu terhenti dan meretas
Lalu di sepertiga jalan muncul tanda batas
Lubang tuk membenahi waktu-waktu yang terbuang
Dan hidup yang terlanjur melaju seperti barkas di tengah laut
Lalu seorang bayi lahir,
Di tengah laut yang hening
Menerka apa di ujung sana berbatas
Dan bisa berbalik mengambil jangkar
Tidak, hanya hidup yang buruk yang kembali pada awal
Tapi, bukankah
Awal ialah akhir, begitupun akhir
Ialah awal, segalanya
Dapatkah, aku bertemu diriku lagi di ujung batas
Waktu, bertemu masa-masa yang kuharap
Ia berhenti selamanya
Tapi jika enggan, bahkan dilarang
Aku akan menerobos waktu
Menampung segala bau anyir
Membuang segala bentuk takdir
Memimpikan putaran
Kembali pada ruang
Hendak kemana mereka pergi
Hindari maut yang tak layak diberi
Detak itu berakhir pada masa keseratus
Ketika aku punya waktu untuk ditebus
Bekasi 6/1/21
Sial Betul
Saban hari,
Kelopak mataku berkedut melihat hamparan sabana hijau
Tonggak tenda tertancap
Sial betul media sosial,
Tempat orang memamerkan kenangan
Yang selalu ingin ku gapai ulang
Sial betul, sial betul...
Gunung berubah jadi gedung
Tak pula mendaki takut mendung
Tapi tangga beton tak pernah sama
Tangga kayu dan batu itu sejati
Cuti sehari belum cukup
Bahkan untuk sejenak menelungkup
Cari duit buat nanjak
Bukan sempat justru malah kalap
Sial betul, sial betul...
Sial betul, sial betul...
Jika mengejar awan itu dibayar
Asal dengkul masuk asuransi
Sampai mati ku dekap itu pekerjaan
Sayang, belum sempat dibayar
Cari duit saja gelepar-gelepar
Duhai, peluh ku beku
Diterpa angin palsu
Bukan oksigen pula embun menempel
Justru debu racun betumbuk dengan hidung
Sial betul...
Sial betul...
Bekasi 4/1/21