"Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biar pun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya.
Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Mahamengetahui segala apa yang kamu kerjakan." (Q.S. An-Nisaa: 135)
Beberapa minggu terakhir kemarin, sembilan wajah hakim Mahkamah Konstitusi (MK) populer di hadapan publik. Masyarakat sangat “akrab” dengan mereka. Bukan hanya profil nama yang mereka hafal dan kenal dari sebaran media cetak dan elektronik, tapi nama kampus.
Tempat studi mereka pun menjadi familiar, meski sebelumnya tak asing di mata publik. Pasalnya, sembilan hakim MK tersebut menjadi sorotan media dalam rangka memimpin sidang perkara perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) untuk calon presiden dan wakil presiden pada Pemilu 2019.
Hasil akhir sengketa pemilihan presiden dan wakil presiden berada penuh di tangan sembilan hakim konstitusi tersebut. Senin (24/6), mereka telah menggelar rapat permusyawaratan hakim (RPH). Akhirnya, pada tanggal 27/6/2019 diputus perkaranya.
Putusannya juga dibacakan pada hari dan tanggal tersebut. Dengan dibacakannya putusan akhir itu, ia menjadi penentu siapa yang akan memimpin Indonesia untuk lima tahun mendatang.
Putusan para hakim, tentunya, harus sesuai dengan pesan ayat suci di atas yang memerintahkan mereka sebagai individu yang beriman untuk menjadi hakim yang adil. Sebuah pertanggungjawaban yang sangat berat di hadapan publik, bahkan Allah SWT.
Dalam konteks di atas, saya teringat sabda Nabi Muhammmad SAW yang diriwayatkan Abu Dawud. Beliau membagi “hakim” ke dalam tiga kategori; satu hakim berada di surga, dua hakim lainnya di neraka. Hakim yang berada di surga adalah kategori hakim yang memiliki pengetahuan tentang kebenaran dan memutuskan perkara dengannya.
Sedangkan dua hakim yang berada di neraka, kategori mereka adalah mengetahui kebenaran kemudian menyimpang darinya dalam menetapkan hukum. Satu hakim lainnya adalah menetapkan suatu hukum berdasarkan kebodohannya (tanpa pengetahuan).
Dari hadis di atas, ada dua hal penting yang harus dimiliki seorang hakim agar ia selamat di dunia dan akhirat, yakni pengetahuan dan sikap adil. Keduanya tak bisa dipisahkan, harus selalu jalan beriringan.
Sikap adil akan mengantarkan manusia untuk tekun mempelajari kasus atau perakra hukum yang dihadapinya, sedangkan pengetahuan hukum yang dimiliki jika tidak dibarengi sikap adil akan menjadi dalih untuk menyimpang dari keadilan itu sendiri.
Keadilan merupakan dambaan setiap individu, ia menuntut adanya penegak hukum. Alquran tak hanya memberi tuntunan dan nasihat moral. Ia adalah sumber hukum yang menginstruksikan umatnya untuk menjadi penegak hukum, sebagaimana yang termaktub dalam QS. An-Nisaa: 135 di atas.
Ayat ini juga secara implisit melarang umatnya untuk (hanya) sekedar menjadi penonton pasif, komentator atau pengkritik kejahatan semata.
Kini, ayat tersebut menjadi populer di kalangan kaum muslimin semenjak dibacakan oleh Zulfadli, atas permintaan Ketua Tim Kuasa Hukum 02, Bambang Widjojanto, kepada Majelis Hakim dalam penutupan sidang perkara perselisihan hasil pemilihan umum capres dan cawapres 2019.
Hukum dan Hakim
Hukum adalah manifestasi gagasan untuk menciptakan keseimbangan antara hak dan kewajiban. Peradaban manusia sebagai sebuah bangsa bisa dilihat atau ditentukan dari hukum yang dipakainya, karena itu ia menjadi ruh bagi sebuah peradaban.
Pemahaman tentang budaya suatu bangsa menjadi sangat penting dan mendesak dalam rangka memahami dan menetapkan suatu hukum. Dari sinilah kemudian akan muncul “keadilan hukum” yang bisa dicicipi setiap warga bangsa.
Betapa pentingnya rasa keadilan bagi warga bangsa, maka “adat atau kebiasaan” bisa menjadi hukum sebagai tolok ukur dalam menetapkan sebuah hukum ketika tidak menemukan dalil syar’i. Demikian menurut kaidah fikih al-‘adatu muhakkamah.
Putusan dua orang hakim terhadap satu kasus yang sama bisa saja berbeda. Hal tersebut tergantung pada tingkat pemahaman kedua hakim itu terhadap kasus, petunjuk teks, ajaran, situasi dan kondisi budaya yang dihadapi. Alhasil, kemaslahatanlah yang seharusnya muncul dari dua putusan tersebut.
Perlu diingat, tujuan akhir dari segala hukum(an) yang ditetapkan mempunyai dua fungsi, yakni penyucian spiritual bagi pelaku kejahatan dengan tulus ikhlas menerimanya. Fungsi kedua penyucian spiritual bagi masyarakat dengan merasa takut berbuat jahat karena takmau menerima konsekuensi hukuman.
Dalam bahasa Arab atau disiplin ilmu fikih, hakim sering disebut juga dengan julukan qadhi. Ia bertugas memutus perkara serta mengadili seorang terdakwa terlebih dahulu di pengadilan. Hakim merupakan jabatan yang paling berat pertanggungjawabannya di hadapan Tuhan. Tak sembarang orang bisa menjadi seorang hakim.
Hakim yang adil akan mendapatkan kehormatan di hadapan Tuhan. Sebaliknya, hakim yang menyeleweng dari keadilan, terlibat jual-beli perkara, terima suap, terlibat mafia hukum dan seterusnya, akan mendapatkan siksaan yang berat di akhirat, sebagaimana firman Allah SWT dalam Alquran surat Al-Jinn: 15: Adapun orang-orang yang tidak berlaku adil, mereka itu menjadi kayu api bagi neraka jahanam.
Keadilan merupakan output yang seharusnya keluar dari putusan sang hakim atau qadhi. Adapun makna adil menurut Ali bin Abi Thalib adalah “memberikan kepada seseorang apa yang menjadi haknya dan mencabut dari seseorang apa yang bukan haknya”.
Karena hakim merupkan wakil Tuhan di bumi, maka “adil” adalah reprentasi dari sifatNya. Dengan demikian, manusia, termasuk hakim dalam konteks ini, diperintahkan Tuhan untuk bersikap adil kepada siapa pun tanpa pandang bulu.
Saking harus adilnya, seorang hakim mendapatkan ultimatum langsung dari Allah SWT untuk tidak menjadikan kebenciannya kepada suatu kaum dapat menghalanginya untuk berlaku adil.
Dalam konteks kenegaraan, kekuasaan hakim adalah kekuasaan yang bebas dan merdeka. Artinya, ia terlepas dari intervensi kekuasaan pemerintah, tak bisa didikte atau ditekan olehnya, tak bisa tunduk terhadap opini publik pula kepentingan politik tertentu.
Hal di atas tak lain demi terwujudnya kepastian hukum atau keadilan hukum di depan publik. Kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, khususnya penegak hukum, harus tetap dijaga.
Jika trust masyarakat ini makin hari makin membaik, maka “sumur” keadilan akan mudah ditimba di negeri ini. Karena pada hari ini para pencari keadilan mempertaruhkan “mahalnya keadilan” kepada kekuatan mental-spiritual sang hakim.