Beberapa waktu yang lalu, saya mengunjungi salah satu kota di Kalimantan Tengah, Palangkaraya. Ini adalah kunjungan untuk yang kesekian kalinya. Karena terlalu sering, berapa kali sudah saya ke sana.
Sebagai Ibu Kota Provinsi, Palangkaraya masih terlihat begitu asri. Sepanjang menyusuri kotanya, belum pernah dijumpai karakteristik metropolitan, macet.
Bandingkan saja misalnya dengan Ibu Kota Kalimantan Selatan, Banjarmasin. Kota dengan julukan seribu sungai ini sudah memiliki zona merah rawan kemacetan. Walau tak separah Jakarta, tapi di beberapa tempat kemacetan menjadi aktivitas yang biasa.
Uniknya, kemacetan di Banjarmasin bukan hanya di pusat kota, tapi sampai ke pinggiran perbatasan antakabupaten. Orang tua saya tinggal di Desa Gudang Hirang, Kabupaten Banjar. Dari Desa Gudang Hirang menuju Banjarmasin, jarak tempuhnya hanya 30 menit.
Namun, apabila kondisi jalan sudah padat, waktu perjalanan bisa mencapai satu jam setengah bahkan lebih. Ini biasa sering terjadi di jam-jam kerja. Penyebabnya apa, itu akan menjadi perbincangan panjang dan tidak mungkin dijelaskan di sini.
Palangkaraya adalah cerminan yang kontradiktif. Kondisi jalan masih begitu nyaman. Sangat jarang ada kepadatan alat transportasi. Di tambah space jalan yang lebar, maka kata macet adalah istilah langka yang didengar di kota ini.
Tata ruang kotanya pun terbilang sangat baik. Luas kota Palangkaraya 2.400 km persegi dan jumlah penduduk 376.647 jiwa dengan kepadatan penduduk rata-rata 92.067 jiwa tiap kilometer persegi.
Margin seperti ini menyebabkan lahan-lahan luas masih banyak. Bandingkan kembali dengan Banjarmasin dengan hanya luas 98,46 km persegi dan jumlah penduduk mencapai 692.793 jiwa, sangat padat. Wajar jika Palangkaraya masih kota yang nyaman dan lapang.
Nama Palangkaraya sendiri kembali mencuat ke permukaan publik nasional beberapa waktu ini. Bukan karena salah satu daerah penyumbang suara terbanyak salah satu kontestan Pilpres. Bukan pula persoalan kabut asap ketika masuk fase kemarau.
Kota Palangkaraya muncul bersamaan dengan wacana pemindahan Ibu Kota Negara. Bukan sesuatu yang baru. Wacana pemilihan kota Palangkaraya sebagai Ibu Kota negara merupakan isu lama, bahkan sejak era Presiden Soekarno.
Beberapa waktu yang lalu, Presiden Jokowi mengadakan rapat terbatas terkait wacana ini. Selama masa jabatannya sebagai Presiden, wacana pemindahan Ibu Kota sudah cukup sering dilontarkan, namun masih belum menemukan titik pasti.
Kalimantan dinilai sebagai wilayah yang paling cocok dijadikan Ibu Kota Negara, terutama Palangkaraya. Selain jumlah penduduk yang masih sedikit, letak geografisnya pun paling aman. Kalimantan merupakan pulau yang terhindar dari ring of fire. Potensi terjadinya bencana alam seperti gempa bumi dan tsunami sangat kecil.
Ini menyebabkan Kalimantan dijadikan modal strategis sebagai wilayah Ibu Kota Negara. Tapi wacana seperti ini masih memunculkan pro-kontra di kalangan publik.
Di media sosial, bisa dilihat banyak warga Kalimantan yang mendukung wacana ini, namun tak sedikit yang menolak. Alasan penolakan itu berbagai macam. Kebanyakan mengarah kepada ketidakstabilan demografi dan deforestasi. Istilah deforestasi ini yang kiranya menarik untuk dikaji.
Kekayaan hutan di bumi Kalimantan terus tergerus oleh kemajuan zaman. Inilah yang ditakutkan sebagian warganya. Pemindahan Ibu Kota ke Kalimantan akan meyebabkan deforestasi kian marak, walaupun belum ada relasi paten antara dijadikannya Ibu Kota dengan kerusakan alam.
Tertanamnya persepsi publik terkait hal itu bukan tanpa alasan. Protecting Forest dan Wildlife menyebutkan dari luas hutan di Kalimantan sebesar 40,8 juta hektare telah terjadi deforestasi mencapai 1,25 juta hektare dalam kurun waktu 2000 sampai 2005. Artinya, hutan Kalimantan mengalami deforestasi 637 hektare setiap hari.
Di tahun 2010, data Greenpace menyebutkan, dari 40,8 juta hektare saat itu hanya tersisa 25,5 juta hektar. Deforestasi simultan ini membuat Indonesia masuk dalam Guiness Book of the Record, sebagai negara dengan kerusakan hutan paling laju di dunia.
Protecting Forest dan Wildlife menyebutkan penyebab utama dari deforestasi ini adalah konversi hutan. Konversi disebabkan dua hal, pembukaan lahan pemukiman dan eksploitasi hutan untuk kepentingan industri.
Konversi hutan untuk kepentingan industri tampaknya menjadi masalah utama. Hal ini bisa dipecah kembali menjadi dua skala. Konversi hutan dalam skala kecil dan konversi hutan dalam skala yang sangat besar.
Skala kecil diartikan dengan tergerusnya lahan terbuka hijau dalam tata kota. Laju pembangunan untuk mencapai moderenisasi berjalan searah dengan semakin tertutupnya ruang terbuka hijau.
Karakter kota besar diasumsikan dengan masifnya pembangunan pusat perbelanjaan dan lahan-lahan untuk perumahan. Deforestasi dalam tata kota terjadi dalam segmentasi yang relatif kecil tapi tetap berbahaya.
Skala besar yaitu deforestasi masif, simultan, dan brutal yang dilakukan industri-industri berpengaruh. Eksploitasi seperti ini berdampak sangat signifikan bagi kelangsungan hidup hayati maupun hewani. Kerusakan ekologis ini butuh perhatian khusus dan serius.
Deforestasi ini biasanya disebabkan oleh industri kayu yang semakin mempersempit hutan alami. Konversi hutan untuk perkebunan sawit juga penyebab semakin lajunya deforestasi. Data mencatat perkebunan sawit telah merusak lebih dari tujuh juta hektar hutan di Kalimantan.
Kekhawatiran akan semakin besarnya kerusakan ekosistem alami di Kalimantan adalah alasan logis untuk menolak pemindahan Ibu Kota di pulau ini. Terutama Palangkaraya, sebagian besar pendapat menginginkan Palangkaraya tetap menjadi kota yang cantik dan nyaman. Walaupun kemajuan adalah keniscayaan, jangan sampai metropolitan mengkristal menjadi vandalisme alam.
Jikalau memang Ibu Kota resmi pindah, maka bukan hanya wacana pembangunan saja yang matang direncanakan tapi efek dibaliknya. Pemerintah harus benar-benar melakukan perencanaan yang seimbang. Tidak boleh terjadi asas kelaziman terhadap deforestasi. Mengedepankan kepentingan umat manusia tapi menyingkirkan ciptaan Tuhan yang lainnya.
Hingga pohon terakhir ditebang, sungai terakhir dikosongkan, ikan terakhir ditangkap, barulah manusia akan menyadari bahwa uang tidak bisa dimakan (Eric Weiner, The Geography of Bliss: One Grump's Search for the Happiest Places in the World).