Tepat pukul 06:00 Waktu Indonesia Timur, alarm _handphone_-ku berbunyi. Sengaja mengaturnya dengan nada sedang, bertema kicauan burung serta suara dedaunan yang bergesekan, perlahan ia menembus lubang telinga--membuat terbangun sepasang mata yang masih ingin lelap.
Berbaring terlentang di dalam kelambu, tangan meraba-raba tepian ranjang--mencari sumber suara tersebut, lalu memadamkanya.
Ke langit-langit kamar, tatapan kosong mengambang--membiasakan mata agar tak lagi melanjutkan tidur. Sesekali berpaling ke arah pentilasi, terlihat debu beterbangan, diikuti cahaya masuk melalui kisi jendela--menyirami ruangan yang luasnya berukuran 3×4.
Setelah semua anggota tubuh mulai terbiasa, bangun dari pembaringan dan sempoyongan menuju dapur adalah rutinitas paling menyebalkan di tiap pagi. Seperti biasa, piring kotor yang menumpuk telah menunggu untuk dibilas. Begitu setiap harinya. Walau kadang mengeluh, tetap saja tak tega hati menghindari pekerjaan domestik yang satu itu.
Di hadapan peralatan makan dan masak yang bertumpuk dengan sisa-sisa makan malam, lengan baju digulung sampai ke pergelangan tangan, kemudian mulai membasuh satu per satu. Tak perlu waktu lama, semuanya bersih kembali.
Sembari menyiapkan segelas teh hangat untuk sarapan pagi, sayup-sayup dari jauh terdengar kedatangan Nayla, yang perlahan derap langkahnya mulai gaduh--mendekat. Sambil membuka pintu pagar, ia memanggil dengan nada suara sedang, menyebut nama panggilan--seperti sedang memastikan keberadaan seseorang.
Masuk ke dapur, menarik kursi di meja makan--ia merebahkan tubuh dengan posisi menumpangkan bokongnya.
Seringkali di tiap pagi ia menyambangi walau tak ada keperluan yang penting. Kadang hanya sekadar mampir. Kadang juga untuk sekilas berbagi cerita kisah cintanya.
Suatu pagi, ia pernah memasuki pintu dapur dengan berjoget ria ala tiktok, yang beberapa hari ini sempat viral di media sosial. Sontak saja tawaku pecah ketika memperhatikannya yang sedang menggoyangkan pantat dengan semangat menggebu-gebu.
Semua itu ia lakukan tanpa sedikit pun merasa malu. Barangkali karena merasa sudah terbiasa atau biasa-biasa saja. Entahlah. Saban hari juga, kunjungannya ke rumah hanya untuk membahas video tiktok. Tak pernah sekali saja ia mengadu tentang tugas rumah atau pelajaran sekolahnya yang sulit.
Memang akhir-akhir ini remaja seperti Nayla sering disibukkan dengan menonton, bahkan ikut membuat konten serupa. Sehingga dari fenomena tersebut, kita tidak bisa memfonis bahwa penyebabnya karena keputusan Kemendikbud tentang aktifitas sekolah yang dilakukan secara _online_. Sebab jauh hari sebelum pembelajaran melalui daring, tiktok sudah lebih dulu menguasai dunia maya. Bahkan rating aplikasi tersebut masuk peringkat ketiga setelah _WhatsApp_, _Mesengger_ dan _Facebook_. Akan tetapi, hal demikian juga sangat memengaruhi proses belajar. Pasalnya, semua pengguna akan semakin disibukkan dengan berbagai macam aktifitas--menatap gawai sepanjang hari.
Katakanlah hal ini akan berdampak terhadap kesehatan dan psikologi pengguna. Kemungkinan yang akan terjadi seperti: gangguan penglihatan dan tidak mencegah juga terjadinya pelecehan seksual. Sungguh sangat disayangkan jika akan terjadi situasi yang mengerikan sedemikian rupa. Walaupun memang banyak konten positif yang disiarkan juga tidak dapat kita nafikan. Hanya saja tidak menutup kemungkinan untuk terjadi peristiwa yang lebih buruk.
Seperti yang dilansir dari salah satu surat kabar _online_ beberapa hari lalu bahwa seseorang mengalami kecelakaan karena asik bermain tiktok ketika sedang berkendara.
Nah, menilik lebih jauh mengenai dampak tiktok yang berkaitan dengan kasus di atas, saya ingin menekankan bahwa kita harus lebih berhati-hati lagi dalam beraktifitas. Entah secara _online_ maupun _offline_. Sehingga tidak perlu ada pihak lain yang dirugikan. Dan mungkin, ini hal pertama yang membunuh akal sehat, ketika kita dikejar dengan _deadline_ konten.
Meninggalkan hal tersebut dan beranjak lagi pada kasus yang menggemparkan para investor tiktok baru-baru ini. Adalah pemblokiran "tiktok cash" Oleh Pemerintah, yang mengklaim bahwa investasi tersebut adalah investasi _bodong_ alias palsu.
Parahnya, banyak sekali orang-orang yang sudah tergiur hingga ikut berinvestasi dengan mudahnya. Sampai-sampai, ketika diblokir dan diberitakan mengenai investasi gadungan ini, pada akhirnya mereka pun menyesal. Karena jangankan untung, uang yang mereka setor sebagai modal awal saja belum kembali semuanya. Bak pepatah legenda, "tidak untung, malah buntung."
Seterusnya, yang perlu menjadi _reminder_ adalah persoalan kedua. Kenapa demikian, Singkatnya: karena kepercayaan tidak bisa digadaikan dengan sejumlah uang. Sehingga jika berlaku terbalik, cara berpikir kita yang pragmatis akan berakhir dengan satu penyesalan yang tidak dapat merubah hal apapun yang telah terjadi.
Hal ini juga yang kemudian ikut mewarnai perang ekonomi antar Amerika dan China. Dengan dalih seperti India, Australia dan beberapa negara lainnya bahwa adanya kejahatan siber yang spesifikasinya adalah penyalahgunaan data penguna hingga mengganggu stabilitas keamanan nasional. Maka Trump pun melarang penggunaan aplikasi tiktok di Amerika.
Namun ada beberapa hal yang juga menimbulkan kecurigaan terhadap pelarangan tersebut. Karena tiktok merupakan aplikasi yang dibuat oleh China. Hingga jika adanya pelarangan, maka kemungkinan bisnis aplikasi tiktok ini akan merosot. Alasannya, Amerikalah yang memegang kendali pusat perbisnisan.
Nah. Trump saja tidak berani menggadaikan kepercayaan data pribadi rakyatnya dengan mudah. Maka mestinya kondisi semacam ini berlaku umum bagi semua pengguna tiktok dan semua jenis kreasi konten. Yang menurut saya paling penting adalah konten tiktok bertajuk dance, atau tarian modern yang kerap kali melanggar norma kesopanan dalam lingkungan sosial. Namun untuk hal ini, kesadaran personal akan sangat dibutuhkan. Sebagai wanti-wanti bahwa pelecehan seksual secara verbal sedang marak-maraknya, dan terlebih lagi ada yang sampai berujung terjun ke dunia prostitusi.
Sampai di sini saya ingin mengatakan bahwa demam tiktok lebih berbahaya daripada Pandemi Covid-19. Meninjau sekarang, mengikuti alur cerita kepopuleran aplikasi tiktok yang sudah sangat mewabah di kalangan masyarakat--membunuh akal sehat para penggunanya.