Kau masih ingat cerita dua orang yang menjalin hubungan lewat udara? Iya kisah antara perempuan yang konon hidup di akademi super terkenal meski terpencil dipinggir kota mepet hutan lindung. Dengan mahasiswa fakultas kesehatan swasta di kotanya. 

Ya, jarak  108 Km antara keduanya membuat mereka selalu memuja perkiraan cuaca. Betapa tidak? Jika hujan turun bisa menabrak gelombang sinyal yang dipancarkan dari BTS (base transmitten station). Hal ini membuat arah jalan gelombang sinyal jadi menyebar tak beraturan. Akibatnya, gelombang sinyal itu akan sampai ke ponsel kita dalam waktu yang lama.

Ah, kau benar-benar harus tahu bagaimana cerita ini bermula! Gemas sekali ketika mereka harus saling lapor kabar setiap harinya. Sialnya Akademi Jerapah nyaris tidak terlihat dari menara alun-alun kota, delapan pohon besar dan sembilan belas pohon kecil rimbun didepan gedung menutupinya. Tidak banyak cahaya yang dipancarkan dari gedung tua itu, suasananya selalu redup.

Sinyal sedikit kesulitan menerobos bangunan lembab ini, artikel di internet mengatakan sinyal akan jauh melemah karena banyak terserap ke dinding apalagi jika dindingnya basah. Sinyal apapun itu negatifnya adalah bumi, benda apapun yang bersifat konduktor atau semikonduktor jika terhubung ke bumi maka dia menjadi penyerap sinyal gelombang elektromagnet.

Ini adalah masalah besar, semester ini Roro memutuskan pindah kamar lantai lima. Astaga jangan harap ada lift, eskalator atau tangga otomatis semacamnya! Bahkan konon gedung ini belum pernah menyentuh renovasi sejak pertama dibangun. Hanya ditambah beberapa saluran listrik, mesin penyedot debu dan banyak kompor di dapur utama. 

Kita mulai ceritanya petang ini! Mari kita lihat, pada akhirnya menetap atau berpisah selalu harus diputuskan. Yang paling banyak berperan, siapa yang salah atau benar, meninggalkan sakit atau begitu menyembuhkan. Apapun itu jangan lupa beritahu teman disampingmu sebagai perayaan. Merayakan kefahaman.

"Hai Roro!" Smilling voice yang dingin menyentuh gendang telingaku dari speaker smartphoneku, aku tahu pasti dia setengah tersenyum dan matanya melihat bawah siap berbincang. "Astaga Zy hari ini capek banget, aku resmi menjadi anggota lantai lima semua barang sudah aku usung pindah,"

"kau tahu? Selain harus menaiki ratusan anak tangga setiap harinya, lantai lima ini sangat sunyi. Isinya anak-anak pakem yang tidak pernah kosong tangannya oleh buku. Ya, alasan mereka menetap dilantai lima karena lantai tiga terlalu ramai tentu sangat mengganggu otak mereka berkerja."

Gedung ini terdiri dari lima lantai dengan tangga di paling tengah. Lantai satu terdiri dari ruang administrasi dan arsip data-data, sedangkan sebelah kiri lobi ruang para staf akademi. Lantai dua adalah dapur dan ruang makan. Lantai tiga kamar, lantai empat kelas-kelas dan terahir lantai lima setengah bagian kanan rooftop dan setengah bagian kiri kamar. Untuk luas dan tinggi gedung aku tidak peduli. 

"Oh ya? Astaga balada anak asrama, aku si anak rumahan kalo kuliah laper tinggal pulang, sayang sekali kau pasti sangat kesepian." Zyan terkekeh namun prihatin. "Tapi disini sinyalnya paling bagus." Kataku membela, "Roro, aku tidak masalah toh kita akan bertemu setiap hari minggu." 

"Hei kau lupa? Saat kota mati listrik tujuh hari penuh, juga berita bahwa baterai BTS bagian pinggir kota dicuri orang? Esoknya tiba-tiba kau sudah didepan gerbang sejak pukul enam," Menungguku sepagi itu hanya ingin menyampaikan seikat bunga kering, katanya jika dia terlambat siang sedikit saja bisa-bisa bunganya gagal kering, diguyur hujan panas. Haha, agaknya dia rindu "kau tahu darimana aku suka bunga kering?"

"Dari puisimu, puisi bulan juni bunga kemarin, dia lebih mengering daripada membusuk." Lagaknya bergaya penyair palsu, tentu membuatku terkekeh membuang nafas banyak-banyak. "Ternyata manusia paling dinginpun juga punya selera humor," 

Sangat serius aku melanjutkan puisi itu "dia menaruh harapan di atas kemungkinan, dia menyematkan percaya didalam keberuntungan, dia memilih bertahan membawa keinginan, meski harus tersesat dalam perasingan." Ah percakapan kita selalu menyenangkan! 

Sesuai kesepakatan tadi malam, setelah saling pamit ingin tidur saling mendoakan semoga mimpi indah, hari minggu ini kita janji bertemu ditaman kota tepat pukul tujuh tidak boleh telat. Sudah sejak awal bulan pagi selalu mendung seringnya jam sembilan langit sudah menumpahkan air hujan. Semesta seperti sudah menjadwal kapan awan gelap itu berperan. 

Aku sengaja mengkantongi  smartphoneku dibawa mandi, jaga-jaga Zyan menelpon tiba-tiba. Aku khawatir dia menunggu terlalu lama. Ketika mengambil handuk dan ah! Tersenggol jatuh masuk selokan sisi kanan bak mandi, lubangnya terlalu kecil, kucoba beberapa kali nihil tanganku tidak bisa masuk. 

Bukan itu masalah terpentingnya, selokan kamar mandi asrama kami saling menyambung dari pojok kamar mandi satu sampai empat belas. Ya setiap lantai ada empat belas kamar mandi. Jika ada satu saja yang mengguyur membuang air setelah mencuci baju tentu smartphoneku lenyap. 

Lupakan! Aku harus bergegas menuju taman kota. Berlari dari gedung menuju gerbang membuatku kehilangan setengah nafasku " Mau ketemu mas-mas hoodie hitam ya." Gurauan Mas Bilqis membuatku kaget, dia sudah faham sekali kemana arah tujuanku pergi setiap hari Minggu. Aku panik sekali dikantor satpam terlihat sudah pukul tujuh tiga puluh. 

"Bus kloter terakhir sudah jalan ya mas? Astaga aku harus menunggu satu jam lagi." Hujan turun lebih awal, celaka atap halte hanya terdiri dari jaring besi yang ditumbuhi tanaman rambat. Tetes-tetes gerimis berhasil menerobosnya satu dua buliran air membasahi bajuku, sekarang lebih banyak. Setengah punggungku sudah basah, cipratan dari semen trotoar membuat sepatu dan setengah rok coklat mudaku dipenuhi titik-titik lumpur.

Bus datang tepat satu jam setelahnya, perjalananku memakan waktu tiga puluh tujuh menit. Hujan semakin deras taman kota sepi yang ramai kedai-kedai di sebrang jalan, ramai orang-orang memesan teh hangat atau sekedar berteduh menunggu hujan reda. Aku tengok kanan kiri Zyan tidak juga kulihat. 

Aku menerobos hujan menuju tengah taman mungkin Zyan akan lebih mudah menemukanku, melihat perempuan hujan-hujanan sendirian. Tidak kutemui juga, ya bagaimanapun aku sudah telat lebih dari tiga jam. Di tengah kursi taman kota ada bunga kering yang sudah basah diguyur hujan, sepertinya pemiliknya sengaja meninggalkanya sebagai tanda dia sudah datang tadi. 

Harus kucari kemana lagi? Aku berjalan pelan sekali menyusuri trotoar depan ruko-ruko meninggalkan taman kota. Seluruh tubuhku sudah basah pasti bedak dan gincuku sudah luntur, sepertinya Zyan sudah pulang. Aku tidak bisa menghubunginya, aku memutuskan kembali ke akademi. 

Lima meter sebelum sampa halte aku menemukan warung telepon, bergegas aku masuk lalu menelpon Zyan "Halo Zy," dia tidak menjawab akupun diam. Kedinginan membuatku tidak fokus ingin bicara apa, gerimis diluar menderas "aku minta maaf." "Roro kapan kamu ingin pulang? Boleh aku mengantarmu dan bertemu ayah ibumu?"

Seketika pipiku memanas, aku lebih banyak melihat atas, kelopak mataku sudah penuh air "Aku sudah berjanji tidak akan pulang Zy," beberapa kali aku sudah menjelaskan ayahku adalah seorang guru seni rupa yang memutuskan menjadi petani  "I love my famaly but this house don't feel like a home,"

"bagaimanapun juga mereka orang tuaku aku mencintainya menghormatinya meski banyak juga hal-hal buruk yang terjadi dihidupku karena mereka,"Aku beberapa kali menyeka mata yang basah "mereka kekuatanku tapi tidak sedikit semangatku dipatahkan oleh mereka. Tetapi jika itu semua tidak terjadi padaku, mereka tidak melakukanya untukku aku tidak akan tahu bahwa aku seorang yang percaya diri juga sombong, belas kasih juga egois, pemberani juga penakut." 

Di rumah ibuku selalu memarahiku teriak bahwa musik itu haram, mengolok gambarku seperti anak taman kanak-kanak yang sama sekali tidak ada guna. Ibuku selalu mengirim uang jatah bulanan, dengan syarat aku tidak akan pernah menginjakkan kaki di rumahnya. Ya, bagiku mau sedunia menyemangatikupun aku tidak bisa berbuat apapun tanpa biaya, jadi ini tidak masalah. 

"Jika hidup yang tidak ditaruhkan tidak akan dimenangkan, maka aku sudah menaruhkan surgaku untuk memaknai hidup. Tentu aku sudah menjadi anak durhaka yang keras kepala, pemberontak yang sering menyakiti hati orang tua." Air mataku menderas, isak tangisku disamarkan oleh suara hujan. 

"Aku memilih jalan surga dengan ibuku Ro," Jadi kemungkinan kenyataan yang lama itu sampai sini saja? "so, when will i see you again Ro?" "You will always be able to see me everytime you come here dude." Kenyataan ini begitu memekik, aku cepat-cepat mematikan telepon seluler. 

"Apa-apaan kau ini! Menggambar laki-laki dengan warna pipi hijau terang hidung warna biru kuping kanan kuning kuping kiri merah, resah macam apa itu bu?" Aku terperanjat Mas Bilqis tiba-tiba dibelakangku, "Duh! Sering-sering patah hati ya, mahakarya macam ini sangat menguntungkan bagi tembok gedung." Lara muncul dari dari tangga mengejek sambil berjalan mendekati kami. 

Aku menghela nafas panjang sambil mengamati setiap titik lukisanku "Betapa manusia itu kompleks, bisa berperan menjadi siapapun, bisa menjalani dua lakon sekaligus, menjadi jahat dan baik disatu waktu bahkan berani dan takut sekalipun." "Yah sudah kuduga hubungan jarak jauh sedikit sekali yang berakhir baik-baik saja." Lara menyambung. 

"Zyan pindah agama," Mas Bilqis dan Lara terkejut mereka tidak berteriak,  aku mendengar dari mata mereka "sebagai teman yang baik kenapa kau tidak menghentikanku jika sudah tahu akan semenyakitkan ini?" Lara tertawa lalu menyanggah "Ah kau ini! Bahkan aku akan membiarkanmu menggelinding dari tepian jurang agar kau benar-benar tahu rasa sakit." Aku terbelalak, menganga berteriak "Gila  kau!" 

"Ayolah Roro, kamu harus tau! Kecoa bisa hidup satu minggu tanpa kepalanya. Sedangakan kamu? Merintih hancur sehancur hancurnya karena kehilangan seseorang yang bahkan bukan bagian terkecil butiran hormon sperma ayahmu payah!" Mas Bilqis benar-benar membuatku marah "Kau juga harus tahu bahkan penyu bisa bernafas dari anus jadi tutup mulutmu! Aghrrr berbicara dengan dua manusia idealis memang menyebalkan!"

"Jadi kami idealis, kalau kau? Idiot!" Lara mengejek keduanya tertawa. "Aku khawatir kelak yang menemuiku adalah orang yang tidak aku cintai, aku harus mati-matian membangun rasa. Zyan adalah orang pertama untuk banyak hal yang belum pernah aku lakukan," tatapanku kosong, baru tahu melihat danau pinggir akademi dari rooftop lantai lima akan sangat jelas. 

"why i love drawing? Karena tidak pernah sekalipun aku melihat Zyan berhenti menggambar sesuatu dilembar terahir buku tulis saat jam kosong, guru menjelaskan bahkan sedang rapat sekalipun. Kenapa lukisanku selalu tentang kegelapan? Aku lebih dari tahu kalau Zyan suka warna hitam, biru tua, coklat pekat,"

"kenapa akhir-akhir ini aku sok puitis merangkai kata-kata membuat puisi? aku tidak berhenti memperhatikannya yang begitu terkesima meski hanya sedikit senyum dibibir sebelah kiri dan tatapan yang sedikit menyipit. Aku tahu betapa Zyan menghayati si penyair di pameran kala itu. Ini bukan tentang wanita lain, aku sudah berhasil menjadi apa yang ia tahu bahwa itu aku, aku menang,"

"tapi ini tentang jalan hidup." Aku menangis, Mas Bilqis perlahan menarik tanganku aku mengelak "Ayolah aku ini anak teater aku pernah memerankan banyak karakter. Ingat berperan bukan berpura-pura! Aku pernah menjadi Sengkuni paling licik, Dewata Cengkar iblis yang kejam, pun menjadi Dewa Siwa paking bijaksana." Mas Bilqis meyakinkan. 

Lara ikut menggandengku menatih melakukan gerakan patah-patah. Tanganku melayang-layang diudara menjadi angin berhembus kekanan kekiri, menjadi api yang membakar tubuh lilin, tangan kanan sebagai lelehan lilin sedang tangan kiri adalah apinya. Kita semua memejamkan mata. 

Sambil bergerak Mas Bilqis bercerita "Kemarin aku menemui Pak Blonde bertanya apakah dia percaya tuhan?" "Bodoh!" Dengan santai Lara menimpali. "Dia percaya adanya tuhan," aku begitu penasaran lanjutnya "untuk tidak dipercai." Astaga!

"Pak Blonde juga bilang dia hanya percaya kematian yang menjanjikan pertemuan, tapi dia merahasiakan kedatanganya." Tutur Mas Bilqis " Yah itu sudah seribu tujuh ratus kali kudengar." Lara selalu menimpali dengan kesal.

Semakin membungkuk, tiba-tiba aku sudah bersimpuh lilinku habis. Aku berubah menjadi ombak terombang ambing ditepian pantai. Mengapa berperan semelegakan ini? Ya, Aku harus mengambil kelas teater semester ini.