"Selamat malam semua, ini sepesial buat mas-mas yang pake hoodie hitam. Haha." Aku tertawa kecil sama sekali tidak canggung. Orang-orang menoleh mencari lelaki yang memakai hoodie hitam dan menuduh saling menebak.
Lelaki itu diam memperhatikanku, pun sama aku juga melihat-lihat sekitar. Tapi lebih banyak fokus melihatnya sedang berusaha menang memerangi otaknya atas prasangka-prasangkanya tentang diriku. "Yang ada gambar simpsons background merah. Iya kamu!"
Berhasil! Dia menjadi pusat perhatian. Ada yang kaget, terkekeh geli, tertawa kecil dan ada yang jelas bilang "Wah!" Dilanjut tertawa lepas, terutama teman-teman satu mejanya yang terang-terangan menunjuk, menabok bahu "Kamu! Anjir wahahaha." Matanya terbelalak perlahan dahinya mengernyit, sepertinya dibalik masker itu giginya menggigit bibir bawah berharap bisa mengendalikan diri.
"Semoga setelah ini kita bisa saling kenal, tapi sebelumnya aku mau nyanyi." Lagunya Juicy Luicy-Lantas, yang aku tahu dari tiktok disalah satu akun galau tiga minggu yang lalu. Ketika aku melihat story whatsappnya main di pantai bersama teman-tanya "Aghrrrrr hei kamu! Kamu hanya orang baru, dia ketemu banyak manusia setiap harinya jadi sadarlah bahwa rasamu tumbuh sendirian! Virtual feeling is no!" Seperti biasa cermin besar di dinding kamar adalah pelampiasan terbaik untuk mencari jawaban dan makian.
"Lantas mengapa kumasih menaruh hati..." Aku tidak tahu orang-orang melihatku seperti apa, di bawah lampu kuning kedai kopi ini sepanjang bernyanyi aku menutup mata. Mencoba menikmati seperti anak teater yang mengolah rasa untuk mendalami peran karakternya, dibawa mengalir tidak pura-pura.
Aku yakin suara petikan gitarku juga tidak mengecewakan, setelah setiap minggu harus berurusan dengan Pak Blonde guru musik paling kaku dan menyebalkan. "Pantaskah aku menyimpan rasa." Tepat saat laguku selesai semuanya bertepuk tangan dan bersorai "ciyeeee." Aku membuka mata dan siyal penglihatanku tepat di matanya. Agak menyipit, sepertinya dia tersenyum. Tapi sama saja, ada garis dingin dari alisnya yang kaku, jarang memberi arti seringnya datar tidak ada pesan.
Aku turun panggung yang sebelumnya menyampaikan terimakasih. Sama sekali tidak tegang sama seperti tadi kali pertama melihatnya begitu yakin bahwa aku tidak salah orang. Orang-orang masih bertepuk tangan, banyak yang terkekeh geli, tertawa kecil tapi ada juga yang hanya diam melihat sekeliling denga ekor matanya mengernyitkan dahi berusaha mengartikan situasi apa ini?
"Anjir! Kon kenal arek kae tah?" Bilqis menyambutku bertanya dengan bahasa logat Jawa Timurnya "Mungkin habis ini mas hehe. Ohiya maaf sampai mana tadi kita diskusinya?" Bilqis nyungir menyerutup kopi pesananya "Ealaah enek-enek ae arek iki, dasar Mbak-mbak bucin." Kembali kepembahasan.
Rapat selesai tepat pukul sembilan malam kami bergegas kekasir kemudian pulang. Di parkiran lelaki tadi dan teman-temanya belum juga pergi padahal aku tahu mereka sudah keluar lima menit sebelum rapat selesai. Lara teman dekatku menyenggol sikut berbisik "Sepertinya dia menunggumu mau bales dendam karena kamu udah malu-maluin dia tadi. Hahahaha." Lara tertawa mengejek lalu meninggalkanku menyusul yang lain.
Aku ingin ikut lari tapi lelaki itu sudah berjalan menghampiriku, sesekali menepis poninya yang jatuh menutupi mata. It's okay! Di kota ini pasti ada polisi 24jam. Oh iya! Dua hari yang lalu aku menonton film action ada adegan cewek melawan cowok jahat menendang kemaluanya memakai dengkul. Baiklah harap tenang aku pasti bisa!
"Jadi kamu Roro Hayu? Anak seni rupa Akademi Jerapah?" Mungkin dia sedikit pangling "Halo Zyandru Ananta." Aku hanya bisa menyapa dengan kalimat andalan when i feel awkward! "Aku anter pulang." Aku gugup, mengikutinya dibelakang.
Ya ampun ini vespa putih yang biasanya aku cuma lihat distory whatsapp. Sengaja posting vespa biar direply dan jadi topik ngobrol selanjutnya. The real! Nyama-nyamain hobi biar dikira jodoh. Sekarang nyata aku naik vespa ini sama sekali bukan virtual.
"Disini sampai kapan?" Zyan sedikit tetiak melawan angin dan suara derum motor. "Dua hari setelah selesai pameran aku balik." Pagelaran seni dan pameran akbar keliling kota, kebetulan angkatanku ditempatnya Zyan. Merupakan program kerja tahunan anak semester tiga Akademi Jerapah. Sekolah setara perguruan tinggi yang lokasinya di pinggir kota mepet hutan lindung.
Meski ditempat terpencil siapa pula yang tidak tahu yayasan pendidikan seni yang setiap tahunya meluluskan seniman-seniman hebat sekelas musisi Glenn Fredly, pemahat patung Nyoman Nuarta, pelukis terkenal Hendra Gunawan dan masih banyak lagi.
Meski begitu orang-orang harus berfikir seratus kali untuk menjadi bagian dari yayasan ini. Tes tertukis membuat essay tentang seni minimal sembilan ratus tujuh halaman belum beserta kata pengantar dan daftar pustaka. Latihan fisik setara tentara Angkatan Laut, berenang di kolam dengan panjang empat ratus meter dan kedalaman empat meter.
Jika tidak mampu siap-siap saja memutar otak menciptakan kreasi baru, dan akan kehabisan jatah makan siang jika kamu keluar dari neraka itu lebih dari jam dua seperempat. Aku langganan masuk ruang tahanan, tubuh mungilku dengan tinggi 145cm tidak bisa berenang.
Aku sudah pernah melukis dengan pewarna bahan dasar cabai, membuat gerabah memakai adonan tahu, memahat patung dari batang sayur kol, buruk sekali! Berfikir keras bagaimana caranya agar tidak cepat membusuk. Ah, tapi dipikiranku hanya ingin segera keluar dari goa tak beroksigen ini, aku tidak bisa bernafas.
Tentu Zyan tahu itu, aku sudah banyak cerita padanya. "Aku ajak muter-muter dulu boleh ya, tiga tahun sekolah bareng giliran lulus baru main bareng. Haha." Kami terkekeh geli, "Satu organisasi Zy, sedevisi malah." Aku memperjelas.
"Dulu kita sejauh itu."
"Kamu sih pendiem, giliran ngobrol dichat gabisa diem."
"Keren si kamu berani chat cowo duluan."
"Dih ngapain gengsi. Hahaha."
Zyan berhenti dan parkir di depan kedai semacam angkringan di pinggir alun-alun kota. "Ini kedai cilok paling laris di kota." Katanya sambil membantuku melepas helm. "Oh ya? Thank you i'm very excited for it." Sedikit senyum dia mendekati mang-mang cilok dan memesan. Kami duduk sambil menikmati kendaraan berlalu lalang di jalan besar kota.
"Bener kata kamu Ro, healing just take a break from a little while. Satu semester ini aku ngerasa hidup lebih bermakana dan ada nilainya." Zyan adalah mahasiswa gapyear yang sempat bingung habis lulus sekolah mau ngapain. Ya, hal ini umum terjadi pada anak-anak baru lulus sekolah menengah. "Semangat Pak Dokter Zyan hehe."
Pada hari besar puncak acara anak-anak tari sudah siap di panggung sebagai pembukaan dan penghormatan kepada Walikota. Anak-anak teater sedang mempersiapkan diri untuk pertunjukan selanjutnya. Gedung serba guna ini penuh jepretan kamera dari segala arah, ramai sekali. Kami anak seni rupa berdiri didepan karya masing-masing. Kita memamerkan karya-karya normal lupakan adonan tahu dan sayur kol.
Mahasiswa memakai almamater fakultas kedokteran swasta kota sedang mengamati lingkaran biru tua tepat di tengah kanvas hitam pekat, tidak terlalu keatas atau kebawah sisi kanan kiri sama, sedikit warna putih disamping lingkaran memperjelas posisi lingkaran mengambang seperti di ruang galaksi. "Apakah gambar gelap ini bermakna sesuatu yabg kelam? Rasa bersalah mungkin?" Tetap memandangi lukisan mahasiswa itu bertanya. "Tapi bagi saya itu tenang."
Tenang menganggap semua hanya kebetulan-kebetulan yang perlu dirayakan. Sudahku paksakan mengerti bahwa setiap yang hadir adalah utusan semesta sebagai pengantar pesan. Tidak bisa dipaksakan untuk menetap, sendiri adalah persetan teman. "Keren Ro." Dia balik badan tanganya diam disaku, dibalik masker dia pasti senyum miring sedikit sekali, seperti biasa tatapanya selalu berhasil menyampaikan pesan utuh.
Sedikit terperanjat aku gugup "Oh hai!Terimakasih banyak Zyan. I have to start from zero! Untuk mengenal diriku lagi, i'm not clear be what i'm wanna be. So, iwish i did that," sesekali aku menyelipkan rambutku kebelakang telingan, beberapa kali menoleh kelukisan mencoba berperan memberi makna "What do you see your self in that?"
"Kenapa sih Ro, kamu selalu berhasil ngasih pertanyaan yang memaksa aku harus mencari jawabanya didiri aku sendiri?"
"Oh iya, mana temen cewek yang kamu ceritain itu? Kok engga kesini bareng."
Butuh keberanian besar untuk aku mencari tahu posisiku sebenarnya. Sudah kupersiapkan jauh sebelum aku ke kota ini, sudah ku ulang-ulangi sebagai latihan, sudah kusiapkan banyak jawaban yang kubuat sendiri menerka-nerka semoga sesuai harapan.
"Dia cuma temen kuliah."
"Begitu rupanya, kalo aku?" Sedikit menahan tawa semoga meberi kesan lelucon.
'Kalo kamu teman tumbuh." Aku hampir menangis tapi tawanya membuatku pura-pura terkekeh tertawa canggung. "Tetep jadi the one call a way aku ya Ro! Kita sama-sama tumbuh di masing-masing ruang, fokus sama impian semoga kita dipertemukan pada kenyataan yang lebih lama."
Sudahku sampaikan terimakasih sudah memutuskan.