Aktivitas membaca buku selalu saya kaitkan dengan istilah “connecting the dots” yang bagi saya pribadi hal tersebut akan mengarahkan kepada suatu kesadaran sebagai manusia tentang apa dan bagaimana dapat menarik serta menghubungkan titik-titik dalam kehidupan demi mengungkapkan apa sebetulnya dibalik ‘titik-titik’ tersebut.
Dan membaca buku membantu saya untuk menemukan benang dalam rangka menghubungkan titik tersebut. Sebab segala sesuatu bagi saya tidak cukup hanya dipikirkan, khususnya suatu masalah yang bentuknya eksistensialis kedirian.
Beberapa bulan ini, pikiran saya sedang tertuju pada gerakan-gerakan yang dilakukan oleh aktivis veganisme, sebuah the way of life yang perduli akan hak-hak hewan dan menentang segala bentuk eksploitasi hewan. Pasangan aktor Hollywood seperti Joaquin Phoenix dan Rooney Mara sering banget ikut demonstrasi terkait hak-hak hewan ini.
Dari hal tersebut saya mulai mempertanyakan tentang sebetulnya apakah hewan secara esensi memiliki hak-hak untuk hidup yang kemudian manusia sebagai konsumen punya hak dan kewajiban untuk menghargai hak hewan, yakni dengan menjadi vegan.
Saya pun sempat berpikir ada beberapa pengertian tentang menjadi vegan itu sendiri. Beberapa orang yang berdiri paling depan terkait masalah tentang climate crisis memilih untuk menjadi vegan karena proses produksi peternakan yang banyak menyumbang gas emisi. Lalu, beberapa orang yang karena memang secara natural tidak bisa memakan daging yang kemudian melabelisasi dirinya menjadi vegan.
Kemudian, beberapa orang menjadi vegan karena mendukung hak-hak hewan, halnya Rooney dan Joaquin. Nah, saya salah satu orang yang skeptis akan hak-hak hewan ini, sebab saya pikir hak-hak hewan yang menjadi konsep tersebut merupakan pemberian manusia sebagai makhluk hidup yang bisa berpikir secara reflektif nan berperasaan.
Loh, emang manusia lantas gak boleh punya konsep bahwa hewan pun butuh disayang dan di dukung hak hidupnya?
Jelas boleh, nyatanya banyak manusia yang dalam kehidupannya bergandengan langsung dengan hewan, halnya anjing, kucing, dan beberapa hewan yang dijadikan ‘teman’ untuk memberi perasaan kasih sayang tersebut.
Masalah yang menjadikan saya skeptis ini ialah beberapa manusia yang menjunjung hak-hak hewan yang justru karena tindakannya ini merusak keharmoniannya dengan manusia itu sendiri. Dan jelas kalau dalam skala besar, ibarat kaum borjuis vs protelar mungkin disintegrasi malah akan timbul antara vegan vs omnivor. Dan saya gak bisa menolak bahwa beberapa kasus atas nama hak-hak hewan ini disentegrasi sudah mulai beberapa muncul.
Saya yang penasaran dengan lingkaran horizon veganisme ini pun mau mengerti alasan dibalik mereka mendukung hak-hak hewan tersebut dan muailah pencarian akan buku-buku tentang veganisme ini. Baru ada 2 buku yang sedang saya baca. Pertama, buku yang ditulis secara filosofis berjudul Animals and The Moral Community: Mental Life, Moral Status, and Kinship (2015) dari Gary Steiner, dan sebuah novel fiksi karya George Orwell berjudul Animal Farm (1945).
Animal Farm saya pilih untuk didahulukan membacanya karena halamannya yang hanya 90 halaman pada e-book yang saya unduh dan karena buku ini karya Orwell yang novelnya berjudul 1984 yang kebetulan sudah pernah saya baca dan dinilai secara konteksnya buku ini diterbitkan, Orwell mampu menulis sebuah alur cerita yang dinilai memprediksi.
Oke, untuk beberapa orang yang sudah membaca Animal Farm mungkin akan menertawakan ekspetasi saya akan isu veganisme ke dalam buku ini karena nyatanya buku ini ‘katanya’ membahas tentang konsep sosialisme, mengingat Orwell yang memang kritis terhadap paham sosialis.
Saya memang gak punya gambaran banyak tentang cerita dibalik buku ini sebelum membaca, yang saya tahu hanyalah cerita sekumpulan hewan di sebuah peternakan yang pada akhirnya melakukan aksi pemberontakan terhadap manusia. Yang jelas sebetulnya saya berharap banget bisa memiliki perspektif yang berbeda mengenai hak-hak hewan setelah membaca buku ini.
Nyatanya saya kecewa ketika diakhir cerita justru merasakan bahwa api pemberontakan yang dibangun dan dimenangkan oleh hewan harus berakhir dengan tidak adanya pembedaan antara hewan dan manusia itu sendiri. Mengingat hewan-hewan dalam cerita ini membuat sebuah peraturan yang disebut sebagai “The Seven Commandments”
- 1. Whatever goes upon two legs in an enemy
- 2. Whatever goes upon four legs, or has wings, is a friend
- 3. No animals shall wear clothes
- 4. No animal shall sleep in a bed
- 5. No animal shall drink alcohol
- 6. No animal shall kill any other animal
- 7. All animals are equal
Kemudian, peraturan ini memiliki beberapa kali revisi karena suatu peristiwa yang membuat ‘hewan yang lebih berkuasa’ mengubahnya secara berkala. Mulai dari pelarangan meminum alkohol yang diganti menjadi “No animal shall drink alcohol to excess” yang berarti pembolehan meminum alkohol asal jangan ‘berlebihan’ sampai pada akhirnya peraturan nomor tujuh harus diubah menjadi “all animals are equal. But, some animals are more equal than others”.
Napoleon, sang Babi yang paling berkuasa justru diakhir cerita berkelakuan seperti layaknya Mr. Jones si pemilik peternakan yang harus dikalahkan oleh hewan ternaknya sendiri ini. Napoleon mengisap pipa rokok di mulutnya, memakai pakaian dari lemari Mrs. Jones, dan meminum alkohol yang menjadi alasan perubahan peraturan nomor 5 diubah.
Dalam proses membaca buku ini memang saya selalu dibayang-bayangi oleh sosok manusia mengingat watak mereka yang memang mengingatkan saya dengan manusia di dalam cerita-cerita buku lain ataupun dalam realitas kehidupan.
Dan di akhir paragraf buku ini, justru peristiwa pemberontakan hewan-hewan yang sebelumnya sudah dimenangkan begitu saja hilang diingatan saya karena mengetahui pada akhirnya hewan-hewan tersebut nampaknya tak jauh dari karakter manusia.
“Twelve voices were shouting in anger, and they were all alike. No question, now, what had happened to the faces of the pigs. The creatures outside; looked from pig to man, and from man to pig, and from pig to man again; but already it was impossible to say which was which”
Ketika saya mencari berbagai ulasan di aplikasi Goodreads dan ulasan berbentuk video, banyak dari mereka menyatakan bahwa ‘sebenarnya’ tulisan Orwell yang satu ini memang suatu sindiran atas gambaran ide utopia sosialisme yang pada akhirnya ‘kesetaraan’ menjadi nilai yang sulit untuk diberikan kepada seluruh makhluk selama masih ada penguasa yang justru mereka yang mengontrol masyarakat serta nilai-nilai di dalamnya.
Ketika sebelumnya saya menyatakan kekecewaan akan cerita dalam buku ini, mungkin sebetulnya itu sebuah jawaban yang apa-adanya dari ketidakmungkinan ide revolusi hak-hak hewan itu sendiri dapat terjadi halnya ide utopia sosialisme.
Halnya sebuah pertanyaan yang pernah saya ajukan ke dosen falsafah politik saya, jika bumi ialah planet yang satu-satunya manusia bisa tempati, lantas kenapa manusia tidak mempunyai kesadaran bersama untuk berhenti merusak (seperti perang) dan sadar bahwa harmonisasi antar negara-negara harus dibangun dengan berhenti menciptakan sebuah sistem ekonomi dunia yang justru menimbulkan kerugian ekonomi di beberapa negara.
Lantas dosen saya menjawab bahwa hal apa yang dapat menjamin penghuni bumi lebih harmonis ketika sistem ekonomi (mata uang) disamaratakan karena manusia yang condong lebih nyaman berkomunitas dengan orang-orang yang ‘sama’ (warga negara, passion, ras, dll) dengan dirinya serta konflik pun tak jarang juga muncul dari kesamaan itu sendiri.
Schleiermacher dan Gadamer
Dalam proses saya menulis artikel ini saya cukup sadar bahwa cara saya yang mengungkapkan makna cerita buku ini yang berbeda dari kebanyakan orang yang justru menganggap buku ini mengenai sindiran Orwell akan utopia sosialisme, tak lain dari sebuah proses cara penafsiran yang berbeda.
Mengingatkan saya dengan cara tafsir ala Schleiermacher dan Gadamer ketika mengambil mata kuliah Hermeneutika dan Takwil. Perbedaan cara saya penafsir Animal Farm tak lain menjadi sebuah tafsiran ala konsep hermeneutika Gadamer.
Singkatnya konsep hermeneutika teoritis ala Schleiermacher (1768-1834) menjelaskan penafsiran dengan konteks sejarah, linguistik, psikologis si pengarang yang mewajibkan pembaca untuk menemukan subyektivitas pengarang hingga mencapai titik pehamanan atau bahkan melebihi pemahaman pengarang terhadap karyanya sendiri.
Sedangkan konsep hermeneutika Gadamer (1900-2002) berusaha untuk meninggalkan semangat historisisme atau "kembali ke teks dan pengarang asli" dengan mengutakaman penafsiran pembaca sebagai totalitas terbuka sebab untuk mengetahui makna sebenarnya dari pengarang oleh pembaca merupakan hal yang mustahil.
Maka itu, Gadamer menyebut bahwa tindakan tafsir ini merupakan tindakan memahami bukan memahami teks dengan benar dan objektif.
Beberapa orang kemungkinan menganggap bahwa tafsiran yang mengatakan bahwa Animal Farm merupakan sindiran Orwell akan ide utopia sosialisme mungkin menjadi makna yang sesungguhnya dari buku ini. Tapi, untuk saat ini saya memahami hewan-hewan dalam buku Animal Farm tak berbeda dari penjelasan akan kaum tertindas karya Paulo Freire berjudul “Pendidikan Kaum Tertindas” (1968).
Freire sendiri menjelaskan bahwa dehumanisasi yang dialami oleh kaum tertindas oleh kaum penindas yang pada akhirnya akan mendorong kaum tertindas untuk berjuang mengambil kemanusiaan mereka kembali. Nah, agar perjuangan itu bermakna maka kaum tertindas seharusnya tidak boleh berbalik menjadi kaum penindas.
Tapi justru dengan memulihkan kemanusiaan keduanya. Dalam konteks Animal Farm jelas pemulihan tersebut tidaklah terjadi, yang ada kaum tertindas yang telah bebas justru balik menjadi kaum tertindas oleh beberapa hewan-hewan yang menjadi kaum penindas.
Kehidupan hewan-hewan yang bersinggungan dengan manusia dan menjadi “kaum tertindas” telah menyerap karakter manusia di dalam jiwa mereka. Maka, ketika ide pembebasan itu muncul dari golongan mereka.
Hal tersebut tidak membentuk semangat pembebasan menjadi abadi dan dapat dirasakan oleh semua hewan. Kaum tertindas melawan kaum penindas hanya balik menjadi kaum penindas ketika pembebasan itu sudah diraih mereka.
Lalu, apa esensi revolusi ketika kemenangan diraih tetapi kaum tertindas pada akhirnya berdiri dalam ruh kaum penindas terdahulu dan hanya berganti fisik pada konteks ini? Kesetaraan hanya menjadi konsep pemantik pemberontakan dan kebebasan menjadi konsep nan sempit.
Yang jelas pemahaman saya akan buku ini gak akan berakhir ketika saya menutup buku itu atau beberapa hari setelah saya selesai membaca tersebut. Seperti halnya Gadamer menjelaskan bahwa pemahaman pembaca akan suatu teks berada dalam konteks historis. maka pemahaman tersebut bukanlah suatu kesimpulan akhir dari segalanya justru ia menjadi makna yang berkelanjutan.
Maka itu, hak-hak hewan yang mulai digaung-gaungkan keras oleh veganisme mungkin perlu dikaji ulang juga oleh kita dalam konteks kontemporer ini. Dan tidak ada salahnya mulai menghadapi konsep bahwa hewan merupakan makhluk "bawahan atau bodoh" dengan mempertanyakan konsep yang sering hanya diterima begitu saja ini dan mulai menata ulang konsep ini untuk manusia itu sendiri.