Gelap: Keabsurdan yang Abstrak
Aku tidak pernah setuju
dengan seorang aktivis lama yang berkata,
sial bagi orang yang mati tua,
beruntung untuk orang yang mati muda,
dan lebih beruntung lagi bagi orang
yang tak pernah ada di dunia.
Aku lebih nyaman dengan kalimat,
beruntung orang yang hidupnya cukup
lalu mati di puncak kejayaannya,
sial untuk orang yang tak pernah
berdiri di atas kakinya sendiri,
dan memiliki penyesalan menjelang kematiannya.
Entahlah, aku, aku hanya pohon kayu
usang dan kian memudar
yang menyediakan rumah untuk fungi,
atau panggil saja aku kumbang tahi,
versi fauna dari Sisifus, namun sama,
dikutuk untuk menghidupi kematian.
Tapi aku takut, menjelma kecoak,
bernama Samsa yang tak diterima
oleh keluarganya sendiri, mengerikan,
lagipula, aku tak pernah bermetamorfosa,
menjadi Praha atau Kafka,
apalagi Milan dan Kundera.
Antara manusia dan fauna,
aku lebih suka flora, menjadi manusia,
itu melelahkan, sesekali harus,
mewujud serigala bagi serigala lain,
tepatnya serigala dengan anggur,
meski manusia adalah primata.
Aku ingin, aku ingin menjadi bunga,
bunga bangkai atau bunga teratai,
cerminan litotes dari estetika, sempurna!
sedikit hiperbolis memang
tanpa ada jejalin dengan fisiologis,
namun setan pun akan persetan.
Mengapa, mengapa melahirkan tanya,
karena aku ingin menari,
dan masa tua adalah mimpi buruk!
lupakan pohon tua, fungi, kumbang,
feses, sisifus, kecoak, kafka, kundera,
serigala, anggur atau bunga, aku ingin
muda dalam tua dan mati bahagia!
Prismatis: Senyummu yang Akan Dirindukan Matahari
Ambil lukisan itu dariku, jika kau mau,
rebut juga pelangi, tapi
jangan kau rampas senyummu dariku.
Bawa pulang saja bunga matahari,
atau matahari dalam hatiku,
ia telah hidup di sana
menemani malam gelap jiwaku,
semasih aku muda
dan naif bersama rindu.
Sungguh pergumulanku dengan hidup begitu ganjil dan keras
dengan nanar yang genap
kadang-kadang desimal
bumi memang tak berganti wajah,
namun saat senyummu menyusup masuk
seakan-akan teratai tumbuh di atas lumpur
dan itu memberiku kunci untuk membuka
pintu kebun anggur cinta.
Kasihku, dalam kegelapan
jarum jam bersekutu
terbuka, dan tiba-tiba
kau melihat lebam dan kelam
pada trotoar lenganku,
tersenyum, karena senyummu
akan direnggut oleh waktu dari mataku
layaknya tersambar petir di siang bolong.
Di samping sungai,
senyummu sudah menyemai
air tanah limpasan hujan,
dan di tengah danau, aku,
aku ingin senyummu seperti
bunga matahari yang aku tunggu,
bunga kehidupan, dan kuaci
dari kebun yang kita rawat bersama.
Tersenyum di sepertiga hari,
di hari matahari, di hari yang gersang,
mempecundangi usia
badan yang ringkih dan renta,
mengulas nyawaku
seorang lelaki yang mencintaimu,
namun saat aku dimakan lupa
ingat dan tanamlah nostalgia,
kala suaraku semakin parau,
kala bumi semakin kemarau,
bawa saja lukisan, pelangi,
bunga matahari, sungai, atau danau,
namun jangan kau bawa senyummu
karena akan kubawa mati.
Serenada: Anatomi Iklim Biru
Saat aku berbelasungkawa
Kurasa akulah penguasa samudra
Aku penguasa bahar dan air payau
Bahkan tawar dan asin bersatu padu
Celsius dan kelvin pun kristal salju
Menari-nari meneriaki gelombang haru
Warna-warna kelabu menyeruak upacara
Nada-nada minor menaburkan melankolia
Saat aku berbelasungkawa
Kurasa akulah penguasa angkasa
Aku penguasa hujan asam dan badai
Bahkan arakan awan mengepung diri
Hujan berpohon panas berasal
Seremoni bendera tepat di bangsal
Sajak-sajak berdesak pintu galabah
Diksi-diksi mengiris gundah dan resah
Namun semesta hati memintakan doa
Pada diabetes dan ginjal manis bergula
Semoga setelah meninggi dan bersama
Tak buta seiring payah dan lelahnya mata
Namun atmosfer kalbu memanjatkan restu
Pada karsinogen dan paru-paru aspirasi
Semoga setelah membatu dan menduri
Tak menjadi debu seiring berjalannya waktu
Dan cuaca jiwa ingin merapal mantra
Pada kolesterol dan jantung interpretasi
Semoga setelah menyumbat dan menuli
Tak berhenti berdenting dan menjaga cinta
Parnasian: Apa yang Ditemukan dan Tak Ditemukan
Dalam kedalaman Grika,
Socrates dan Racun Cemara.
Plato, Atlantika dan Apologia.
Aristoteles, Politika dan Retorika.
Atau dalam pedalaman Arabia,
Hallaj, Lahut, Nasut dan jelma.
Arabi, Wahdatul Wujud dan hamba.
Rumi, Fihi Ma Fihi, dan Matsnawi-nya.
Dalam peta kontemporer dunia,
Kierkegaard dan Eksistensi Manusia.
Nietzsche, Amorfati dan Zarathustra.
Camus, Sampar hingga Euthanasia-nya.
Atau dalam sains dengan teorinya,
Schrodinger, sianida dan Kucing-nya.
Hawking, lubang hitam dan Radiasi-nya.
Einstein, dilatasi hingga Relativitas-nya.
Sungguh dengan itu semua,
aku memang dapat bercahaya.
Namun itu semua hanyalah cahaya,
yang berujung pada satu titik hampa.
Dan aku lelah bersama hampa,
dengan semua ilmu yang ku punya.
Hingga aku bertemu dengan dia,
yang memberiku sebongkah makna.
Sesuatu yang bagiku sangat nyata,
namun tak ada dalam buku dan logika.
Perasaan dalam hati yang perdana,
yaitu kerinduan jiwaku akan rasa cinta.
Karmina: Kau adalah Guru
Kau adalah guru yang menuntunku
Agar bergairah menuju sekolahan temu
Kau adalah guru yang memanduku
Agar bersemangat mengikuti olahrasamu
Kau adalah guru yang melatihku
Juga mulutku agar fasih menyebut rindu
Kau adalah guru yang menggiringku
Juga mataku agar fokus melihat matamu
Kau adalah guru yang membimbingku
Juga telingaku agar patuh mendengarmu
Kau adalah guru yang menyuluhku
Juga bibirku agar rajin mereguk bibirmu
Kau adalah guru yang menguliahiku
Juga tanganku agar pandai menjamahmu
Kau adalah guru yang mengajariku
Juga hidungku agar sampai di aromamu
Kau adalah guru yang mendidikku
Juga tubuhku agar sampai di tubuhmu
Kau adalah guru yang menasihatiku
Agar mengadakan upacara di dekapanmu
Kau adalah guru yang memimpinku
Dan dua puluh enam aksara di sajakku
Kau adalah guru yang mengasuhku
Dan jiwaku agar mengabdi pada cintamu
Dan, puisi adalah piagam juga ijazahmu
Yang akan bersetia mengabadikan sosokmu