Hari ini tujuh tahun yang lalu, ketika saya masih berseragam putih abu-abu dan menjalani hidup sebagai remaja masa kini di sebuah sekolah negeri yang mengajarkan keberagaman, beredarlah sebuah selebaran mengenai larangan orang Islam merayakan hari kasih sayang -atau biasa disebut juga hari Valentine.

Larangan ini atas alasan perayaan hari Valentine identik dengan tradisi agama Kristiani-–beberapa sumber berkata bahwa Valentine lebih tepat bila dikaitkan dengan tradisi pagan. Ketika itu saya turut mendukung apa yang dikatakan oleh selebaran tersebut. Agar terlihat sebagai seorang muslim yang taat, saya mengutarakan alasan Islam melarang pengikutnya untuk merayakan hari besar agama lain.

Bahkan sekadar mengucapkan selamat pun dilarang, karena itu sama saja dengan membenarkan ajaran agama tersebut. Yang belakangan saya tahu, pemberian ucapan selamat pun sampai saat ini masih menjadi sebuah perdebatan yang tak kunjung usai.

Absolutitas Kekaisaran Roma dan Keberanian Santo Valentino

Lebih detail mengenai selebaran tadi, disebutkan bahwa dahulu di masa kekaisaran Roma, ada sebuah titah Raja yang melarang para prajurit kerajaannya untuk menikah demi terciptanya stabilitas politik. Raja menganggap para prajurit akan lebih fokus menghadapi peperangan apabila mereka tidak memiliki ikatan batin dengan suatu apapun, dan pernikahan dianggap sebagai sebuah hambatan.

Raja pun mengisyaratkan kepada seluruh Pendeta agar tidak menikahkan prajurit-prajurit kerajaan.

Para Pendeta patuh terhadap perintah ini, dan semua prajurit pun terlihat setia terhadap perintah rajanya. Hingga suatu hari seorang Pendeta bernama Santo Valentino berani menabrak kebijakan tersebut. Dalam format clandestein (dalam teori politik ini berarti gerakan bawah tanah), secara diam-diam Santo Valentino berani menikahkan para prajurit kerajaaan yang hendak menyatukan cinta dengan kekasihnya.

Alasan Santo Valentino berani melanggar kebijakan tersebut sangat sederhana, bahwa setiap manusia sejatinya memang dikaruniai ketertarikan terhadap lawan jenis, dan itu berarti pernikahan adalah sebuah hal yang secara lahiriah tidak dapat dihindari dalam kehidupan. Namun pada akhirnya gerakan Santo Valentino diketahui oleh penguasa, dan ia dihukum mati pada tanggal 14 Februari.

Ini Semua Tentang Perlawanan, Bung! Bukan Kasih Sayang

Satu scene kehidupan di masa muda ini saya muat ulang sebagai sebuah brainstorming agar tulisan ini memiliki titik tolak. Cobalah paragraf di atas dibaca dengan akal sehat, secara filosofis, dan dari dimensi kemanusiaan. Dapat saya tarik kesimpulan bahwa Santo Valentino adalah wujud seorang agamawan yang sangat patuh terhadap ajaran agamanya.

Ia bahkan berani menentang penguasa karena menurutnya agama adalah perwujudan firman Tuhan di dunia, dan itu berarti tak ada satu pun di atas dunia ini yang bisa mencoba mengingkarinya. Menurutnya, pernikahan adalah sebuah bentuk kodrati bagi manusia dan tentu juga sebuah ritual yang diamini bahkan dianjurkan oleh agama. Oleh karena itu seorang Raja yang sangat berkuasa pun tak pantas untuk melarang-larang umat yang ingin menjalankan firman Tuhan tersebut.

Berkaca dari cerita yang ada di selebaran di atas, nilai penting pertama saya dapatkan adalah, dalam kisah Valentine terdapat sebuah unsur “heroisme” yang bukan main-main. Kisah ini tak ubahnya seperti kisah Socrates yang rela mati minum racun demi mempertahankan idealismenya yang bertentangan dengan kekuasaan kala itu.

Mungkin juga seperti Nabi Ibrahim yang berani menghancurkan berhala-berhala yang disembah oleh masyarakatnya, rajanya, bahkan orang tuanya sendiri. Dalam kasus Santo Valentino, kekuasaan Raja yang absolut dapat diibaratkan sebagai sebuah bentuk berhala yang mereduksi eksistensi Tuhan, sehingga menurutnya harus dilawan.

Kesimpulan selanjutnya yang saya dapat dari kisah sejarah Valentine adalah, kita dapat belajar mengenai keteguhan iman. Bahkan lebih jauh kita dapat belajar mengenai pentingnya sebuah perlawanan terhadap absolutisme kekuasaan di dunia yang coba mengangkangi makna keesaan Tuhan. Lalu mengapa hari Valentine kemudian diidentikkan dengan Hari Kasih Sayang?

Saya sempat berpikir ini ada kaitannya dengan absurditas pola pikir masyarakat kita yang sulit menentukan skala prioritas dan terlalu mudah percaya pada cerita-cerita bombastis yang hadir ke dalam pikirannya. Tapi ternyata tidak juga, karena di beberapa sumber tulisan dikatakan bahwa sebelum dibunuh Santo Valentino sempat dipenjara, dan di penjara dia sering dikunjungi oleh pengikutnya.

Di setiap kunjungan ini, dia banyak menjelaskan ajaran mengenai pentingnya kasih sayang.

Sampai di sini pun saya tidak melihat makna buruk dari Valentine, hanya saja menurut saya ini bukan hal yang utama. Lalu selanjutnya ada apa dengan perayaan Valentine di Indonesia yang disimbolkan dengan cokelat, bunga, bahkan kondom? Mengapa bukan disimbolkan dengan kampanye “mari kita kembali pada ajaran agama untuk dapat mengasihi sesama, atau kembali mendukung ritual pernikahan yang dihimbau oleh agama”

Entahlah, saya juga bingung dengan apa yang terjadi di Indonesia. Memang di kalimat terakhir selebaran yang saya sebut itu dikatakan bahwa setelah kematian Santo Valentino, para pengikutnya merayakan tanggal 14 Februari dengan melakukan kegiatan persetubuhan. Dan ini yang kerap dijadikan oleh para penentang perayaan hari Valentine sebagai alasan mengapa perayaan ini sarat akan hal-hal negatif.

Ini pun kemudian memunculkan sebuah ketidakjelasan. Muncul pertanyaan, yang dimaksud pengikut di sini apakah orang-orang pada masa kini atau orang-orang yang hidup tak lama dari peristiwa itu. Lalu apabila itu terjadi pada opsi kedua, jangan-jangan perayaan persetubuhan dilakukan oleh pasangan yang telah menikah (hal ini logis karena Valentine bermula atas pembelaan terhadap ritual pernikahan).

Lalu, di mana letak salahnya dan mengapa di Indonesia anak-anak mudanya mengidentikkan Valentine dengan persetubuhan di luar pernikahan? Mungkin memang terjadi kesalahan berpikir. Namun, penjelasan hal ini lagi-lagi bukanlah substansi utama dari makna Valentine.

Saatnya Kembali Pada Makna Awal

Kembali kepada pembahasan utama. Berdasarkan sejarah yang dituliskan oleh selebaran tadi, maka hari Valentine seharusnya dirayakan sebagai sebuah bentuk perlawanan. Perlawanan atas segala bentuk kesewenang-wenangan, dan perlawanan terhadap apapun yang coba mereduksi absolutitas kekuasaan Tuhan yang ada pada jalinan kehidupan.

Maka menurut hemat saya, jadikanlah tanggal 14 Februari sebagai awal keberanian kita melawan Boss yang bertindak semena-mena di kantor. Melawan birokrasi yang sekiranya mempersulit kehidupan berkenegaraan kita. Melawan korupsi yang juga tengah merajalela.

Melawan penguasa bila ia bersalah. Dan yang terpenting, melawan hasrat yang memperbudak kita, baik hasrat akan kuasa, uang, jabatan, maupun segala sesuatu yang dapat menjebak kita dalam labirin kejahatan dan kemunafikan.

Ingat! Kita tidak akan mungkin merdeka jika tidak karena melawan. Soekarno, Hatta, Syahrir, Tan Malaka, mereka semua adalah orang-orang yang melawan, melawan kesewanang-wenangan penjajah. Tapi jangan lupa, tetap kasihi mereka yang membutuhkan dan terutama mereka yang dapat memanusiakan manusia. Inilah poin utama yang dapat diambil dari sejarah hari Valentine. Dan apa langkah paling konkret yang dalam waktu dekat dapat dilaksanakan?

Bahwa ada Capitalism Crime dalam perayaan hari Valentine tentu tidak dapat kita pungkiri. Bahkan kejahatan ini pun merasuk pada tiap perayaan hari besar yang ada di Indonesia. Maka, kembalikanlah makna cokelat, bunga dan kondom pada hakikatnya. Jangan puja mereka terlalu berlebihan.

Kita terlalu cerdas untuk sekadar memahami bahwa hari Valentine terkadang dimanfaatkan oleh para produsen cokelat, bunga, kondom, pengorganisir pesta-pesta, dan ragam produk-produk lain sebagai ladang mengeruk keuntungan sebesar-besarnya.

Tak ada yang salah sebenarnya, jika saja hal itu terkesan tidak dipaksakan, memiliki makna yang luas, merupakan sebuah keharusan, atau kondom bukan digunakan sebagai “play safe” dalam sebuah ritual seks bebas. Tapi kenyataannya?

Terakhir, terserah bila pada akhirnya orang menganggap saya mendukung perayaan Valentine atau apapun, yang pasti saya tidak melihat persoalan ini dari sisi Islam-non Islam, menjebakkan diri pada pembagian haram-halal, ataupun kekafiran.

Valentine menurut saya tak ubahnya sebuah cerita mitos yang bisa terus tereproduksi karena memiliki makna tertentu. Lebih baik mengalihkan makna Valentine pada wacana yang positif, yaitu pada wacana yang sarat akan makna kebaikannya. Dan saya tegaskan, makna Valentine itu tentang perlawanan, bukan kasih sayang.