Wacana menghidupkan kembali GBHN dan menjadikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara kembali menyeruak dalam diskusi publik. Bahkan seluruh fraksi yang ada di parlemen sudah menyambut baik rencana menghidupkan kembali Garis-garis Haluan Besar Negara (GBHN). 

Sejumlah pengamat menganggap wacana tersebut tak lagi relevan karena sistem pemilihan telah berganti menjadi pemilihan langsung (popular vote), presiden tak lagi mandataris MPR. Sehingga posisinya dalam struktur tata negara menjadi rancu karena paradigma ketatanegaraan saat ini sudah menganut supremasi konstitusi. Bukan lagi supremasi MPR. 

Kedua, GBHN fungsinya sudah digantikan dengan adanya Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) yang ditetapkan dengan Undang-undang.

Namun tak bisa dimungkiri, sebagai dampak liberalisasi politik pasca reformasi, bangsa ini dihadapkan pada problem diskontinuitas dan diskonektivitas arah pembangunan. Liberalisasi politik telah memunculkan “privatisasi politik” yang membuat arah dan agenda pembangunan nasional hanya semata-mata bertumpu pada visi-misi individu seorang pemimpin (baik kepala negara maupun kepala daerah). 

Sehingga perubahan kepemimpinan sering kali juga berdampak pada perubahan arah pembangunan. Maka pembangunan pun bersifat seporadis dan rawan dibajak oleh kepentingan individu dan golongan. Kepemimpinan pun jauh dari kata “hikmah-kebijaksanaan” dan para pengambil keputusan politik terjebak pada kepentingan jangka pendek semata. 

Dengan adanya kebutuhan pembangunan yang berkelanjutan dan berkesinambungan, maka gagasan mengembalikan GBHN perlu menjadi pembahasan yang serius. Namun perlu disadingkan pula konteks realitas politik saat ini. Sehingga wacana dikembalikannya GBHN bukan semata-mata akibat kerinduan akan kejayaan masa lampau, namun mampu menjawab tantangan realitas politik dan situasi global.

GBHN, Realitas Politik dan Situasi Global

Ide tentang dikembalikannya GBHN sebagai guidance pembangunan negara secara holistik adalah kebutuhan namun ia akan dihadapkan pada realitas politik pasca reformasi yang juga perlu mendapatkan perhatian serius. Tantangan pertama yang cukup serius dari realitas politik pasca reformasi, yakni menguatnya oligarki politik

Hasil survei Power, Welfare, and Democracy (PWD) 2013 menyebutkan bahwa aktor politik yang tampil dominan dalam realitas politik pasca reformasi ialah aktor politik yang lebih banyak bersandar pada sumber daya ekonomi (45,5%) sebagai modal untuk memperoleh dan mengelola pengaruh di tengah masyarakat. Hal ini sejalan dengan riset ICW bahwa anggota legislatif di parlemen sebesar 47,68% berlatarbelakang pengusaha

Artinya konfigurasi politik kita saat ini didominasi oleh kekuatan bisnis, yang menjadikan sumber daya ekonomi sebagai modal utama untuk merawat kekuasaan dan pengaruh. Tak menutup kemungkinan, mereka akan lebih banyak membawa agenda ekspansi dan kepentingan pengembangan bisnis ketimbang platform ideologi partai atau aspirasi rakyat.

Ditambah, riset Edward Aspinall menyebutkan penerapan sistem proporsional terbuka membawa perubahan signifikan bagi persaingan politik di Tanah Air dimana penerapan sistem proporsional terbuka berdampak pada membesarnya peran jejaring informal yang bersandar pada pertukaran klientelistik (politik transaksional). 

Strategi yang mereka terapkan dalam kontestasi pemilihan umum cenderung menghidupkan praktik-praktik patronase yang berfondasi pada figur individu yang mampu mengkapitalisasi sumber daya. Kompetisi politik pun bersandar pada relasi patronase dan kemampuan ekonomi secara individu dimana kekuasaan bisa diraih oleh kandidat yang dapat “membeli” lebih banyak suara dibanding kandidat lainnya daripada menggunakan mesin partai. Akhirnya peran partai tak lebih hanya menjadi instrument pragmatis semata.

Tantangan yang paling serius yakni masih menguatnya peranan elite Orde Baru (old elite) dalam kancah politik nasional.  Hasil Survei PWD 2013 menunjukkan bahwa 20,4 persen old elite yang terkait dengan Orde Baru berada di ranah negara, diikuti ranah ekonomi (16,5%), dan politik (13,90%). Maka tak menutup kemungkinan adanya GBHN dan menempatkan MPR sebagai lembaga tertinggi negara rawan dibajak oleh kepentingan oligarki atau para pemilik modal yang dominan menguasai konfigurasi elite politik Indonesia. 

Realitas politik semacam inilah yang perlu mendapat perhatian, sehingga ide luhur tentang dikembalikannya GBHN sebagai guidance pembangunan nasional tidak dibelokan untuk kepentingan segelintir orang. GBHN perlu diberlakukan kembali, namun dikembalikannya MPR sebagai lembaga tertinggi negara dengan segala supremasi dan kewenangan otoritatifnya (memilih dan memakzulkan presiden) perlu dipertimbangkan ulang mengingat konfigurasi politik Indonesia didominasi oleh oligarki politik yang bersandar pada kekuatan finansial yang bisa mengkooptasi MPR melalui mekanisme kartel politik dan kongsi diantara kekuatan oligarki untuk mengkooptasi jalannya pemerintahan.

Kita memiliki pengalaman buruk terkait supremasi MPR. Di Pemilu 1999, PDIP berhasil meraih 33,7 persen suara. Namun suara rakyat dikalahkan oleh suara poros tengah bentukan Amien Rais di MPR. Akhirnya Megawati tak ditetapkan jadi presiden. Karena presiden dipilih oleh MPR. Mungkin kita perlu belajar dari pengalaman pahit ini, sehingga keberadaan MPR sebagai penjelmaan dari lembaga tertinggi negara tidak bertentangan dengan aspirasi rakyat. 

Solusinya, GBHN diberlakukan namun MPR hanya memiliki kewenangan terbatas. Untuk sanksi terhadap pelanggaran GBHN yang telah ditetapkan tetap diberlakukan dengan mekanisme impeachment sesuai dengan konstitusi yang berlaku. Bukan semata-mata dimakzulkan oleh MPR.

Selain itu, wacana tentang diberlakukannya GBHN juga perlu mempertimbangkan situasi global saat ini yang tengah menuju ke era revolusi industri 4.0 yang melahirkan de-teritorialisasi akibat revolusi teknologi. Mark Zuckerberg pemilik platform WhatsApp, Instagram dan Facebook Messenger membuatnya menguasai jaringan komunikasi 2,7 miliar orang di dunia. Lima perusahaan teknologi Amerika terbesar (Google, Amazon, Facebook, Apple dan Microsoft) memiliki pendapatan lebih dari  4.100 miliar dollar yang menggunguli PDB Jerman (ekonomi terbesar ketiga di dunia). Platform aplikasi seperti Uber, Grab, Go-Jek mampu menyediakan pelayanan publik yang memadahi bagi warga dunia.

Ditambah teknologi blockchain telah mengubah tatanan kehidupan manusia secara global dan mendalam. Blockchain sederhananya adalah basis data global online, yang bisa dipakai siapa saja di seluruh dunia yang terkoneksi internet. Tak seperti basis data lain yang biasanya dimiliki oleh institusi tertentu seperti bank atau pemerintah, Blockchain justru bukan milik siapa-siapa. Akhirnya teknologi blockchain mendekosentrasikan kekuasaan yang dulu terpusat pada institusi-institusi modern. Ia membuat dunia lebih transparan karena bisa diakses oleh siapa saja.

Perubahan corak produksi (revolusi industri) ikut pula mengubah bangunan suprastruktur negara modern. Dalam pandangan Gilles Babinet, perusahaan-perusahaan teknologi/platform-aplikasi mampu memposisikan diri melampaui peranan nation-state (bahkan di luar jangkauan nation-state) berkat kemampuan mereka untuk membebaskan diri dari batas ruang geografis dan kendala yang melekat dalam kegiatan ekonomi tradisional. Atau dalam bahasa Jean-Marie Guéhenno kita memasuki era the end of the nation-state atau the post nation state, era pasca nation-state.

Percepatan eksponensial teknologi komputasi yang telah menandai fase baru telah melahirkan perubahan besar-besaran pada dunia industri, profesi, dan institusi yang sudah lama ada, termasuk struktur pemerintahan. Untuk itu, perumusan GBHN harus dilakukan dengan mekanisme yang inklusif dengan melibatkan berbagai macam elemen seperti organisasi sipil mengingat perkembangan lanskap global yang tengah berubah, sehingga negara mampu merespon tantangan global dengan lebih fleksibel, cepat, dan kompetitif untuk mengatasi jurang ketimpangan antara keterbatasan jangkauan negara dan dinamika global yang muncul. Dengan itu pula, kita juga benar-benar mewujudkan MPR sebagai house of people.