Mendikbudristek, Nadiem Anwar Makarim sempat mengkhawatirkan terjadinya learning loss pada peserta didik akibat pembelajaran jarak jauh (PJJ). Learning loss merupakan hilangnya pengetahuan dan kemampuan peserta didik. Hal itu karena proses pelaksanaan PJJ yang memungkinkan pengajar tidak dapat mengontrol penuh selama proses pembelajaran. Jika dibiarkan maka akan menjadi bencana besar masa depan.
Selama pandemi covid-19 berlangsung, proses pembelajaran di sekolah dan perguruan tinggi menggunakan sistem PJJ. Peserta didik belajar dari rumah dan pendidik mengajar juga dari rumah. Pendidik memberikan pra-tes, materi pelajaran, tugas terstruktur, dan tes pasca.
Fungsi pra-tes (pre-test) dan tes pasca (post-test) berfungsi untuk mengukur efektivitas pembelajaran, apakah peserta didik memahami materi yang disampaikan pendidik atau tidak. Setidaknya ada hasil pengukuran sebelum mempelajari materi dan sesudah mempelajari materi. Baik pra-tes ataupun tes pasca keduanya berupa soal yang sama, hanya saja waktu pelaksanaannya yang berbeda. Pra-tes diberikan sebelum peserta didik mendapat materi dari pendidik, sedangkan tes pasca diberikan setelah peserta didik mendapat materi dari pendidik.
Materi pelajaran yang diberikan bisa melalui video pembelajaran, modul, ataupun tutorial lain yang memungkinkan digunakan untuk penyampaian materi pelajaran. Materi ini tentunya harus merujuk pada rencana pembelajaran semester (RPS) mata pelajaran tersebut. Peserta didik diminta untuk mempelajari materi yang disampaikan melalui media tersebut. untuk memastikan bahwa peserta didik belajar, maka dibuatlah yang namanya evaluasi pembelajaran melalui tugas terstruktur.
Permasalahan PJJ
Awal penerapan PJJ permasalahan lebih terletak pada hal teknis seperti ketersediaan akses internet dan perangkat IT yang dimiliki oleh pendidik ataupun peserta didik. Beberapa waktu kemudian masalah meningkat menjadi pemahaman siswa terhadap materi yang sudah diajarkan. Lho, bukannya sudah ada prates, materi pembelajaran, tugas terstruktur, dan tes pasca? Jawabannya karena banyak peserta didik yang hanya mengerjakan tes dan tugas tanpa mempelajari materi yang sudah diberikan oleh pendidik.
Pendidik tidak mampu mengawasi proses belajar peserta didik secara penuh. Pendidik tidak bisa mutlak untuk disalahkan. Hal itu karena posisi peserta didik berada di luar sekolah. Lingkungan luar sekolah menjadi tanggung jawab orang tua siswa. Orang tua siswa juga tidak bisa mutlak disalahkan. Tanggung jawab atas program PJJ terletak pada semua pihak yakni pemerintah, sekolah, dan keluarga peserta didik.
Selama pandemi, tanggung jawab pendidik juga menjadi terbelah antara tugas dan tanggung jawab di sekolah dan memastikan peserta didik belajar dari rumah. Sistem PJJ ini sulit untuk mengontrol apakah siswa belajar atau tidak. Hal itu karena jawaban soal bisa dicari di internet. Jadi, belajar atau tidak belajar akan sulit dikontrol. Hasilnya, peserta didik mengalami learning loss selama 4 semester.
Waktu 4 semester merupakan waktu yang sangat lama. Ibarat setengah perjalanan bagi mahasiswa jenjang S-1 untuk menyelesaikan studi. Empat semester merupakan waktu untuk mahasiswa program magister menyelesaikan studi. Dan juga sepertiga waktu yang dibutuhkan oleh mahasiswa program doktor menyelesaikan studi.
Bencana akibat learning loss sudah terasa saat ini. Peserta didik kurang pemahaman atas materi yang sudah disampaikan. Hasilnya, mereka tidak mampu mengikuti materi jenjang berikutnya yang seharusnya sedang dipahami sebelumnya. Kurang membaca, kurang motivasi, dan kurang bimbingan itu yang menjadi kendala.
Beberapa Lembaga pendidikan menerapkan pembelajaran melalui video konferensi (vikon) selain e-learning. Akan tetapi, cara tersebut juga tidak efektif. Ada peserta yang tertidur saat proses pembelajaran berlangsung. Ada pula yang tidak bisa bergabung karena terkendala teknis. Belum lagi peserta didik yang harus rebutan perangkat elektronik dengan saudaranya di rumah.
Permasalahan tersebut juga didukung dengan minimnya minat baca peserta didik. Materi yang diberikan hanya sebatas diunduh tanpa dibaca untuk dipahami. Buku referensi yang dianjurkan hanya sebatas dibeli dan tidak dibaca. Kejadian semacam ini banyak terjadi di berbagai daerah dan perkotaan. Menyikapi hal tersebut, perlu adanya keberanian kebijakan yang bersifat memaksa untuk wajib membaca. Apapun bacaannya. Tentunya dalam pendampingan pendidik dan orang tua.
Solusi
Kebijakan wajib membaca dilakukan sebagai upaya untuk mengejar ketertinggalan selama 4 semester tersebut. waktu tidak mungkin untuk diulang. Pembelajaran juga tidak mungkin diulang dari awal setelah ditetapkannya status pandemi. Hal yang bisa dilakukan hanya mengejar ketertinggalan. Kita tidak bisa memaksa paham 100%, akan tetapi ini sebagai upaya untuk meminimalisasi dampak learning loss.
Pemerintah memberikan kebijakan wajib membaca diimbangi dengan bahan bacaan bersubsidi. Jika perlu malah akses bahan bacaan gratis. Pemerintah daerah dan lembaga pendidikan melalui rektor dan kepala sekolah memberikan pengawasan agar peserta didik dan pendidik sama-sama membaca. Tidak ada cara lain untuk mengejar ketertinggalan selain semua peserta didik harus membaca.
Learning loss jika dibiarkan akan membawa dampak yang luar biasa hebat di masa depan. Masalah tersebut contohnya lahirnya generasi kopong dan malas belajar akibat terbiasa tidak belajar selama 2 tahun. Generasi kopong ini yang nantinya akan menjadi pemimpin dan penggerak di masa depan. Untuk itu, masalah ini perlu segera ditangani sampai tuntas untuk mencegah masalah yang lebih berat lagi.