Kenapa mau jadi dokter?

Bisa jadi, pertanyaan itu adalah salah satu pertanyaan yang paling sulit dijawab tanpa banyak ber-engg, engg…. Enam tahun sekolah dan tiga tahun bekerja, tapi saya masih belum bisa menemukan jawaban pastinya. Motif ekonomi dan masa depan sesungguhnya adalah jawaban paling realistis di Indonesia yang seringkali absurd ini – meski tak enak didengar bagi mereka yang mengharapkan jawaban indah dari sebuah profesi yang katanya (di)mulia(kan).

Saya baru-baru ini membaca sekilas tentang pendidikan dokter di Kuba, sebuah negara kecil berhaluan komunis. Kita tahu bahwa Kuba adalah salah satu negara dengan sistem pelayanan kesehatan terbaik di dunia. Menarik bahwa di Kuba, dokter bukanlah suatu profesi elit dengan reputasi “khusus” – sesuatu yang bisa jadi cukup surprise untuk didengar oleh masyarakat kita yang sering mendewakan dokter, one way or another.

Di Kuba, dokter adalah salah satu dari sekian kelas pekerja yang dididik untuk bekerja sama dengan kelas pekerja lain membangun negeri dan masyarakatnya. There are no glorifications more than the others. Dan biaya pendidikannya pun tak mencekik leher – sehingga tak bisa ada alasan “balik modal” saat sudah bekerja.

Tapi tentu saja memang tak ada habisnya jika membicarakan motivasi pribadi. Semua orang sah-sah saja punya motivasi apa pun, sejauh tak merugikan orang lain. Akan beda jadinya jika kita membicarakan motivasi sebuah lembaga yang memiliki otoritas dan tanggung jawab luar biasa atas kemaslahatan publik – dalam hal ini, negara.

Mengapa negara ini ingin kita menjadi dokter?

Baru-baru ini, tepatnya pada Hari Dokter Nasional yang jatuh pada 24 Oktober 2016 yang lalu, dokter-dokter Indonesia turun ke jalan untuk berdemonstrasi. Ini adalah yang kedua kalinya, setelah pada November 2013 demonstrasi diselenggarakan dalam rangka solidaritas untuk seorang sejawat yang dikenai tuduhan malapraktik. Bedanya, kali ini bukan soal malapraktik atau kriminalisasi.

Yang menjadi pemicu adalah kontroversi program pendidikan DLP (Dokter Layanan Primer) yang baru saja diundang-undangkan pemerintah.

Saya tak akan membahas mengenai detail-detail teknis DLP dan mengapa banyak dokter yang menentangnya. Beberapa dokter sepertinya sudah menuliskannya dan bisa dicari di mesin pencari online – meski yang saya amati, info lebih banyak beredar melalui broadcast di grup-grup yang isinya justru lagi-lagi sesama sejawat. Saya sedang ingin sedikit filosofis lewat tulisan ini.

Saya akan berangkat dari hakikat profesi dokter. Sesungguhnya, dokter adalah sebuah profesi yang sangat holistik. Ada lima poin yang menjadi kriteria dokter ideal menurut WHO, yaitu sebagai care provider, decision maker, communicator, community leader, dan manager yang andal. Lalu ada empat poin yang menjadi bagian dari terjaminnya upaya kesehatan yang komprehensif: promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.

Sembilan hal ini sudah didengung-dengungkan sejak saya menjalani OSPEK di kampus dulu – omong-omong, saya cinta OSPEK ala fakultas kedokteran, sebab kami sudah belajar pola pikir sementara maba lainnya disuruh lari-lari keliling kampus sambil diteriaki.

Apalagi sekarang di era BPJS, a.k.a. universal health coverage. Kuratif rehabilitatif – upaya mengobati penyakit dan komplikasinya – semakin mahal dan sulit. Promotif dan preventif – usaha menaikkan taraf kesehatan dan pencegahan penyakit – adalah tren yang semakin didorong. Dan untuk itu, jelas menjadi care provider dalam layanan individu yang baik saja tak cukup. Kesehatan individu selalu berhubungan erat dengan masyarakat dan lingkungannya.

Sekarang mari kita melihat keselarasan upaya pemerintah, dalam hal ini pendidikan dokter, dengan sembilan prinsip ini.

Waktu masih menjalani koasistensi pada tahun 2012, angkatan saya mendapat rotasi di stase baru yang berjudul family medicine alias kedokteran keluarga. Stase ini sebelumnya merupakan bagian dari kurikulum stase IKM (Ilmu Kesehatan Masyarakat), namun kemudian dipisahkan.

Apa isi stase family medicine ini? Pada dasarnya, kedokteran keluarga adalah sebuah pendekatan kedokteran yang memandang manusia secara holistik, bukan sekadar menangani tubuh atau organ yang sakit.

Saya masih ingat, dalam suatu diskusi, pembimbing saya memutarkan sebuah video tentang profesi dokter keluarga di Inggris. Di sana, menjadi dokter keluarga adalah suatu pilihan karier dengan kesejahteraan yang dijamin keluarga. Dan tugasnya tak sederhana, meski kompetensinya bukan spesialistik seperti yang dipahami awam soal menjadi dokter “spesialis” di Indonesia.

Dokter keluarga bertanggung jawab atas sejumlah tertentu keluarga di wilayah kerjanya. Ia wajib memahami persoalan kesehatan keluarga-keluarga tersebut secara menyeluruh. Bukan sebatas siapa yang sakit apa dan obatnya, namun juga berbagai hal yang terkait dengan kesehatan individu maupun masyarakat. Dari akar sampai pucuknya.

Salah satu pekerjaan dokter keluarga adalah melakukan kunjungan rumah, yang berguna untuk memahami serta melakukan upaya yang dibutuhkan dalam hal-hal yang saling terkait itu. Misalnya, kondisi sanitasi lingkungan, pola hidup dan makan, interaksi sosial, perilaku, tingkat pengetahuan, dsb.

Karena ia mengetahui A-Z, dokter keluarga juga menjadi garda depan sebelum melakukan rujukan ke ranah spesialistik. Dokter keluarga menjadi penjaga efisiensi sistem rujukan medis.

Agaknya, kedokteran keluarga inilah cikal bakal dari program DLP. Grup angkatan saya pernah membahas soal apa sesungguhnya isi kurikulum DLP. Mengherankan juga bahwa ternyata kurikulum DLP tidak jauh-jauh dari kurikulum stase IKM dan family medicine kami dulu. Penekanannya ternyata bukan klinis, tapi kedokteran komunitas.

Kerancuan ini sebetulnya sangat disayangkan. Yang saya tangkap dari percakapan di masyarakat, jika mendengar Dokter Layanan Primer, kesannya seolah-olah program ini adalah semacam penambahan kualitas untuk dokter umum yang “masih bego, nggak bisa ngobatin pasiennya dengan becus”. Di lain pihak, yah, memang begitulah akibat dari belum komprehensifnya pemahaman tentang tugas seorang tenaga kesehatan.

Oke, jadi rupanya soal pendidikan dokter, sejak beberapa tahun lalu pemerintah sudah merintis paradigma tentang upaya kesehatan yang komprehensif. That is cool. Pertanyaan berikutnya adalah, apakah program DLP akan menyelesaikan ini?

Pertama, soal waktu yang ditempuh untuk pendidikan baru ini. Salah satu yang menjadi masalah adalah wajibnya DLP diambil oleh dokter umum yang sudah beberapa tahun lulus sekalipun, dengan biaya sendiri. Ia menjadi jenjang pendidikan wajib berikutnya yang harus dijalani setelah pendidikan sarjana, profesi, dan internship. Kalau tidak, tidak bisa bekerja.

Seperti yang saya ceritakan, isi kurikulum DLP sebenarnya sudah pernah saya dapatkan pada saat pendidikan profesi. Tapi, ada tren baru dalam pendidikan kedokteran sejak angkatan saya: semakin cepat, semakin baik.

Saya menempuh sarjana selama 4 tahun, dilanjutkan pendidikan profesi 1.5 tahun dan internship 1 tahun – yang terakhir ini setelah disumpah sebagai dokter. Adik kelas saya yang setahun lebih muda, yakni angkatan 2008, lulus satu semester lebih cepat karena mereka hanya perlu 3.5 tahun untuk jadi sarjana. Perlu diketahui, pendidikan sarjana kedokteran tidak memakai sistem SKS seperti sarjana lain, tetapi sistem paket/blok. Semacam naik kelas waktu SD/SMP/SMA dulu.

Apakah dipotongnya masa belajar ini akan mempengaruhi jumlah materi yang diberikan? Logikanya, pasti iya. Beberapa adik kelas saya bercerita, mereka sempat merasa keteteran, terutama di semester-semester awal.

Adalah suatu hal yang aneh bila pemerintah ingin menambah program wajib di luar suatu kurikulum yang sebenarnya sudah mereka potong-potong sendiri. Ibaratnya mereka PHP. Dijanjikan lulus cepat, ujung-ujungnya harus sekolah tambahan juga. Padahal, negara yang mengontrol kurikulum pendidikan dokter. Seolah mereka tidak yakin pada efektivitas dan efisiensi serta kelengkapan kurikulum buatannya sendiri, lalu membebankan kesalahannya pada orang yang mereka didik.

Kalau saya, saya tidak keberatan menempuh waktu 6-7 tahun untuk menjadi dokter. No pain no gain. Yang penting, saat sudah lulus, saya punya paradigma yang benar, tahu apa yang harus saya lakukan, dan mampu melakukannya. Saya tidak bisa mengerti mengapa orang semangat sekali memperpendek masa pendidikan dokter jika ujung-ujungnya begini.

Kedua, soal sasaran. Ada suatu kesalahpahaman dalam bawah sadar masyarakat yang sangat mengganggu: bahwa becus tidaknya upaya kesehatan adalah semata-mata urusan tenaga kesehatan, mainly dokter. Stakeholder yang lain cuma tempelan. Ini adalah ekspektasi yang sangat tidak realistis.

Saya punya contoh sederhana dari pengalaman pribadi. Saat masih menjadi dokter PTT di Puskesmas, banyak warga yang datang membawa KIS yang baru mereka dapat secara kolektif dari pemerintah desa masing-masing. Masalahnya, fasilitas kesehatan tingkat 1 yang tercantum di KIS mereka bukan Puskesmas, melainkan praktik dokter keluarga di pulau lain. Akibatnya, karena tidak bisa diklaim jika memakai KIS tersebut, mereka harus membayar sepuluh ribu untuk setiap kunjungan sampai KIS itu bisa diproses penggantiannya – yang harus dilakukan di kantor BPJS yang juga ada di pulau lain.

Permasalahan yang kedengarannya ecek-ecek, tapi jadi ruwet di kepulauan. Banyak pasien yang datang lalu marah besar saat diminta membayar – mulai dari petugas loket sampai farmasi, semua kena marah. Petugas Puskesmas pun jadi jengkel, karena urusan KIS ini memang bukan tanggung jawab mereka. Entahlah apa yang salah, sampai-sampai terjadi masalah yang berbau rebutan klaim seperti ini.

Sistem kesehatan negara kita banyak bobroknya. Kerjasama antarinstansi yang lemah dan suka saling lempar tanggung jawab, apalagi di daerah. Kesejahteraan tenaga kesehatan yang sering dinomorsekiankan dibandingkan pembangunan fisik, yang ujung-ujungnya memengaruhi motivasi kerja. Sistem yang dipaksakan tanpa ada SDM yang mumpuni. BPJS yang persyaratan klaimnya sering bentrok dengan realita dinamika keadaan pasien di lapangan. Fasilitas kesehatan di daerah yang bikin dokternya pusing tujuh keliling. Ah, banyak.

Jadi apakah DLP adalah jawaban kunci untuk semua ini? Kalau sistemnya masih begini-begini saja, bak mimpi di siang bolong di planet Merkuri.

Ketiga, soal kualitas pendidikan dokter itu sendiri selama ini. Ada satu info yang mungkin akan mengagetkan: dari 83 fakultas kedokteran yang ada di Indonesia, yang berakreditasi A hanya 17 FK. Artinya, kurang dari seperempatnya. Izin pendirian FK baru juga masih saja bermunculan.

Saya pernah menjadi pengajar untuk persiapan Uji Kompetensi Dokter Indonesia di salah satu lembaga persiapan. Mohon maaf, bukannya ingin meremehkan, tapi memang ada perbedaan yang cukup nyata antara mahasiswa-mahasiswa yang datang dari FK dengan akreditasi berbeda. Dan ini mengkhawatirkan.

Jika kemudian negara berpendapat bahwa kompetensi dokter umum kita masih kurang, ini terdengar seperti jurus bunuh diri. Lha, yang selama ini memberi izin dan bertanggung jawab pada kualitas FK itu siapa?

Alangkah baiknya jika dana besar yang ditujukan untuk DLP itu dipergunakan untuk melakukan standardisasi kurikulum pendidikan dokter, meningkatkan efektivitas dan efisiensinya, melengkapi paradigmanya agar semakin holistik, serta mengupayakan peningkatan kualitas FK-FK yang ada. Atau menutup yang abal-abal sekalian. Rasanya akan lebih tepat sasaran.

Agaknya memang sudah menjadi semacam kebiasaan menjengkelkan di Indonesia: masalahnya apa, solusi yang ditawarkan apa. Program DLP sesungguhnya baik secara konten (terlepas dari desas-desus adanya "proyek" di baliknya), namun tidak menjadi solusi yang tepat untuk permasalahan yang ada. Malah bisa jadi hanya semakin menambah biaya, waktu, dan tenaga. Hal-hal yang justru harus kita hemat.

Sesungguhnya, inilah yang menyebabkan para dokter mengadakan demonstrasi seminggu yang lalu. Sayangnya, saya belum melihat bahwa masyarakat sudah paham duduk perkaranya. Yang “besar” diberitakan cuma demonya sebagai penarik perhatian. Diperburuk lagi dengan pemberitaan media-media online yang salah kaprah. Untung saja protes yang dilontarkan masyarakat tidak sebesar demo sebelumnya.

Kembali ke pertanyaan yang saya ajukan: untuk apa negara ingin kita menjadi dokter?

Jika membaca di atas kertas, negara jelas ingin agar kita menjadi dokter yang mampu membantu mereka menyelesaikan masalah-masalah kesehatan secara komprehensif, efektif, dan efisien. Masalahnya, mereka sendiri belum berhasil menyelenggarakan pendidikan dokter serta perbaikan sistem kesehatan secara komprehensif, efektif, dan efisien.

Padahal, tidak ada shortcut untuk derajat kesehatan yang lebih baik. Semua pihak harus bergerak. Pola pikir harus diubah. Motivasi dan kompetensi harus dijaga. Satu rantai tidak becus, seluruh sistem bisa berantakan. Kalau dokter sendirian yang digenjot, kami bisa pensiun dini.

Demonstrasi 24 Oktober lalu adalah salah satu hak politik yang dijamin undang-undang, di mana dokter sebagai warga negara menyuarakan opininya. Tapi demo yang sifatnya insidentil bukan satu-satunya cara.

Yang menurut saya juga sangat penting – bahkan mungkin lebih efektif untuk tujuan jangka panjang – adalah bagaimana kita mengedukasi dan menginformasikan hal-hal ini pada publik dengan persepsi yang tepat serta upaya yang terus menerus. Misalnya lewat tulisan opini, media sosial (yang isinya tidak cuma sejawatnya sendiri), info grafis, dsb.

Kita berharap, kita mampu mendorong semua pihak untuk ikut memperjuangkan pemecahan kompleksitas permasalahan kesehatan di negeri ini. Kesadaran harus dibangun. Pola pikir harus diperbaiki. Pemerintah pun harus selalu dikritik dan dimotivasi secara terbuka agar tidak salah kaprah ala-ala politik populisme.

Bagi saya, seorang dokter maupun calon dokter harus menyempatkan diri menulis untuk perubahan. Ingat, mahasiswa-mahasiswa STOVIA zaman dulu adalah bagian penting dalam inisiasi perjuangan kemerdekaan Indonesia, bahkan mampu melahirkan seorang bapak jurnalisme seperti Tirto Adhi Soerjo.

Oleh karena itu, meski saya memutuskan tidak ikut demo minggu lalu karena tidak sreg kalau harus membawa jas putih ke jalanan (pardon me, I am an old-fashioned about that), menerbitkan tulisan ini adalah cara saya untuk ikut berjuang.

Nah. Selamat Hari Dokter Nasional!