Pada Oktober 2018, Menristekdikti membuat sebuah gebrakan, yakni menerbitkan Permenristekdikti No. 55 Tahun 2018 tentang Pembentukan Unit Kegiatan Mahasiswa Pengawal Ideologi Bangsa (disingkat UKM-PIB). 

Permen itu membuktikan pemerintah saat ini tidak anti terhadap organisasi kemahasiswaan ideologis seperti PMII, GMNI, HMI, GKMI, PMKRI, yang kesemuanya tergabung dalam Kelompok Cipayung. 

“Pada pasal 1 dijelaskan, perguruan tinggi bertanggung jawab melakukan pembinaan ideologi bangsa, yang mengacu pada empat pilar kebangsaan, yaitu UUD 1945, Pancasila, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika, bagi mahasiswa dalam kegiatan kurikuler, kokurikuler, dan ekstrakurikuler,” terang Mohamad Nasir, Menristekdikti, dalam siaran pers bernomor 205/SP/HMBKKP/X2018. 

Betapa Menristekdikti memandang pentingnya ideologi negara untuk dikawal oleh elemen mahasiswa.

Sebelum ini, posisi Kelompok Cipayung termarginalkan di dalam peta kampus. Jarang dilibatkan dalam proses perumusan kebijakan. Sehingga tak sedikit kebijakan kampus yang kurang tepat, tidak adil, bahkan menyengsarakan. 

Seperti beberapa tahun terakhir, banyak mahasiswa memprotes kebijakan Uang Kuliah Tunggal (UKT), di mana besaran Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) per semester diserahkan pada otonomi kampus yang kurang melihat kemampuan dan kesanggupan mahasiswa.  

Langkah Menristekdikti membuat Permen 55/2018 harus diapresiasi. Ini sebagai langkah awal, gerbang pembuka, untuk kampus kembali ramah terhadap tersemainya gerakan-gerakan mahasiswa. 

Tetapi, melihat perkembangan mutakhir, terutama pasca pemilu 2019, banyaknya hoaks, ujaran kebencian, dan meledaknya kerusuhan pada 21-22 Mei lalu. Maka, peran UKM-PIB di dalam kampus dinanti-nantikan. Pasalnya, sampai saat ini belum terdeteksi aksinya.

Menristekdikti mengungkapkan sudah ada 2 kampus yang telah membentuk UKM-PIB. Di Jawa Barat dan Jawa Timur, sayang ia tidak menyebut secara jelas kampusnya. 

Sementara, sudah ada kampus-kampus yang menolak pembentukan UKM-PIB. Alasannya, di kampus tersebut belum terpapar radikalisme, penanaman ideologi Pancasila sudah "include" kegiatan perkuliahan, dan akan menambah permasalahan. Di samping pembentukan UKM-PIB tersebut hanya bersifat opsional — bukan perintah. 

Kampus boleh berkenan membuat atau tidak, sebagaimana tertera dalam Pasal 3: "Perguruan tinggi dapat membentuk organisasi kemahasiswaan yang secara khusus memiliki fungsi sebagai wadah pembinaan ideologi Pancasila." Ada tulisan kata "dapat" sehingga dianggap tidak harus dan mendesak. 

Padahal pasca pembubaran ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) oleh pemerintah — melalui Perppu 7/2017 — penetrasi radikalisme menyasak ke segala lini sektor. Yang terbaru, Polri menemukan indikasi kerusuhan di depan kantor Bawaslu RI ditunggangi oleh kelompok radikal — seperti Garis (Gerakan Reformis Islam) bentukan Chep Hernawan yang pro-ISIS. 

Dengan memanfaatkan kericuhan, para eksekutor berharap dapat memancing di air yang keruh. Panasnya eskalasi politik nasional dimanfaatkan untuk menciptakan teror di mana-mana. 

Belum lagi temuan penelitian dari Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA), Alvara Research Centre, SETARA Institute, dan Badan Intelijen Negara (BIN). 

Menurut hasil riset UNUSIA, ada 8 kampus yang diinfiltrasi oleh gerakan kelompok radikal, di antaranya: Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS), IAIN Surakarta, Universitas Diponegoro (Undip), Universitas Negeri Semarang (Unnes), Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), IAIN Purwokerto, dan Universitas Soedirman Purwokerto. Sedangkan menurut SETARA Institute, terutama di Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung, dan UIN Syarif Hidayatullah. 

Kelompok radikal atau aktivis tarbiyah sempalan eks HTI ini, menurut riset SETARA Institute, menguasai wacana kampus. 

Setidaknya ada tiga wacana yang jadi konten doktrinasi. Pertama, keharusan untuk melaksanakan dan menegakkan semua perintah Allah dan rasul yang hanya berdasar dari Alquran dan Hadis dalam kehidupan bermasyarakat. 

Kedua, umat Islam harus bersatu untuk mengalahkan musuh-musuh yang hendak merongrong Islam. Seperti Kristen, Zionis, kapitalis Barat, dan kalangan liberal — yang acap dituduhkan. Ketiga, mengajak untuk berperang menghadapi musuh-musuh tersebut dalam hal wacana, karena saat ini eranya "ghazwul fikr" (perang pemikiran). 

Di kampus-kampus di atas, mereka kerap menyasar mahasiswa awam pengetahuan agamanya. Dengan demikian, mereka mudah menggiring opini (framing) untuk mengikuti kepentingan ideologis mereka. Hasil riset Alvara Research Centre dari 1.800 mahasiswa dan 2.400 pelajar, 23,5 persen mahasiswa dan 16,3 persen pelajar sepakat pendirian Negara Islam. 

Padahal kita tahu, dalam sejarah, belum ada Negara Islam yang ideal dan baku. Misal dalam model pengangkatan kepala negara, di zaman Khulafaur Rasyidin pun berubah-ubah. Ketika rasul wafat, tidak sama sekali berwasiat kepada siapa tampuk kepemimpinannya diteruskan.

Dari imbauan untuk membentuk UKM-PIB dan publikasi hasil riset mengenai perkembangan paham dan gerakan radikal, setidaknya ada beberapa kampus yang tidak setuju. Seperti Fauzul Iman, Rektor UIN Banten; dan Supriyadi, Direktur Polines, menolak pembentukan UKM-PIB. Adapun yang tidak bersepakat dengan hasil riset, seperti Sutrisna Wibawa, Rektor UNY. 

Oleh karena itu, diharapkan pemerintah melalui Menristekdikti dan kementerian terkait untuk membuktikan secara faktual temuan tersusupinya kelompok radikal di kampus-kampus. Selanjutnya mendorong setiap kampus untuk membentuk UKM-PIB. 

Di saat itulah, pasca terbentuk UKM-PIB, percayakan kepada mahasiwa untuk mengawal ideologi negaranya dengan langsung bersentuhan dan bertatap muka dengan teman sejawatnya. Mereka akan menciptakan forum diskusi hingga debat supaya kampus sebagai wahana pengetahuan yang ramah terhadap perbedaan dan pro-kontra tercipta kembali.