Saya tinggal di salah satu kampung di daerah Sulawesi Utara, pada saat Idulfitri saya dan orang-orang di kampung merayakannya dengan riang gembira ditambah lagi Idulfitri menjadi salah satu momen perjumpaan antar umat beragama. Ini terlihat jelas saat silaturahmi. Budaya pasiar (kunjung-mengunjungi) sebagai media silaturahmi bukan hanya dilakukan antar sesama muslim, tetapi umat kristiani juga turut serta.
Mereka datang ke rumah-rumah umat muslim, bukan sekedar menyampaikan ucapan selamat, tetapi turut meramaikan. Suasana menjadi cair, perbedaan hanya soal keyakinan, tetapi di ranah sosial dan kultural perbedaan tidak menjadi alasan untuk membangun interaksi dan toleransi.
Apa yang terjadi di daerah saya, kontras dengan yang terjadi di Desa Mareje, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB). Di tengah perayaan Idulfitri, salah seorang warga Budha yang bernama Amak Runa justru diserang dan rumahnya dibakar.
Peristiwa ini berawal ketika para pemuda Muslim dari Dusun Lauk menyalakan dan meledakkan petasan di depan kandang ternak milik salah seorang tokoh umat Budha, bernama Amak Runa. Karena bisa membuat kegaduhan dan membahayakan, Amak Runa menegur para pelaku.
Namun, para pelaku tidak senang, mereka lantas membalas dengan tindakan fisik. Amak Runa dipukul dan dikeroyok. Padahal Amak Runa hanya menegur karena ledakkan petasan tersebut membuat ternaknya berhamburan dan bisa-bisa membuat kandang ternaknya terbakar--yang dilakukan oleh Amak Runa adalah benar dia sedang membelah dirinya dan hak propertinya.
Di saat daerah lain memperingati dan merayakan Idulfitri dengan kegembiraan dan kedamaian. di Mareje menunjukan fakta yang berbeda Idulfitri malah menjadi ruang untuk membenci dan mengekslusi umat Budha.
Ujaran Kebencian
Ujaran kebencian menjadi salah satu dampak serangan terhadap Amak Runa dan umat Budha yang lain. Bahkan ujaran kebencian membuat terciptanya perselisihan yang lebih luas.
Ujaran kebencian adalah ekspresi yang menganjurkan hasutan, penghinaan, kebencian demi merugikan kelompok yang disasar. Ujaran kebencian dilakukan oleh suatu individu maupun kelompok kepada kelompok lain yang memiliki ras, etnis, gender, warga negara, orientasi seksual dan agama.
Menurut Council of Euorope Hatespeech, ujaran kebencian sebagai semua bentuk eskpresi yang menyebar, menghasut, mempromosikan atau membenarkan kebencian rasial, xenophobia, anti-semitisme atau lainnya dalam bentuk kebencian berdasarkan intoleransi, termasuk, intoleransi yang berjangkar pada nasionalisme agresif dan etnosentrisme diskriminasi dan permusuhan terhadap kelompok minoritas, migran dan orang-orang asal imigran (Sri Mawarti, 2015).
Bagi Robert Pose yang merujuk pada kamus Oxford Enlish Dicyionary (OED), ada dua aspek dalam ujaran kebencian, yakni: Esensi atau konten ujaran yang dibahas atau isi dari ujaran yang disampaikan. Ekspresi individu atau kelompok dikatakan sebagai ujaran kebencian apabila ia menunjukan kebencian atau diskriminasi yang berdampak ekstrem. Kedua, terkait dengan kelompok yang akan disasar. Kelompok yang disasar ini adalah kelompok yan berbeda identitas entah itu orientasi seksual, etnis, suku maupun agama (Sri Mawarti, 2015).
Ujaran kebencian memiliki dua entitas, yaitu: Pertama isi atau konten yang menjadi ekspresi yang disampaikan, entah ia lisan atau tulisan; Kedua, target dari ujaran tersebut. Pada faktanya pesan-pesan kebencian sering disasar kepada individu atau kelompok yang berbeda secara etnis, suku, ras maupun agama.
Pesan-pesan yang disampaikan adalah pesan yang akan menghasut dan mempengaruhi kelompok tertentu untuk melakukan persekusi, mendiskriminasi, berbuat intoleran kepada individu atau kelompok yang telah menjadi target.
Dampak Ujaran kebencian
Selang beberapa saat pemukulan dan pengeroyokan Amak Runa. Ujaran kebencian secara masif tersebar, namun isi yang disampaikan tidak benar atau hoax. Meski hoax massa yang sudah tersulut kebencian tidak lagi melakukan konfirmasi dan verifikasi bahwa berita tersebut memang benar-benar berjangkar pada fakta.
Ujaran kebencian bukan soal ia palsu atau benar. Akan tetapi persoalannya ada pada isi pesan yang memiliki ekspresi kebencian serta mengajak dan menghasut kelompok tertentu untuk melakukan intoleransi bahkan konflik kepada kelompok yang telah menjadi target.
Saat kejadian tersebut, ekspresi kebencian yang telah beredar adalah “umat Budha telah menghina umat Muslim”. Di Facebook terdapat status yang isinya ‘Allahuakbar..perang Islam melawan Budha”. Simbol-simbol Islam dipakai sebagai identitas perjuangan untuk melawan umat yang berbeda, simbol ini juga sangat mempengaruhi psikologi massa. Sementara di speaker masjid eskpresi yang disampaikan adalah pesan provokasi mengajak umat Islam untuk berjihad.
Akibatnya umat Budha menjadi panik. Massa yang telah tersulut emosi kebencian melakukan penyerangan hingga membuat enam rumah milik umat Budha dan satu tokoh sembako juga terbakar Bukan hanya bangunan yang menjadi sasaran, tetapi properti yang lain juga turut menjadi implikasi dari ujaran kebencian. Ada tiga motor milik umat Budha dibakar, serta satu buah kaisar roda tiga.
Melansir media Kabar Sejuk, umat Budha yang telah panik, mereka mengungsikan diri di Polda NTB, pada malam hari sebelum penyerangan sebagian dari mereka menyelamatkan diri ke hutan. Informasi terbaru dari Kabar Sejuk bahwa salah satu umat Budha yang mengamankan diri di Polres Lombok Barat meninggal dunia.
Umat Budha yang seharusnya mempersiapkan diri untuk merayakan hari raya Waisak dengan penuh kedamaian, justru merayakannya dengan kesedihan dan trauma yang cukup mendalam. Bahkan peristiwa ini akan menjadi memori buruk yang tidak akan pernah di lupakan oleh umat Budha Mareje.
Kembali ke ujaran kebencian, meski pesannya belum tentu terkonfirmasi secara benar akan tetapi ekspresi yang penuh kebencian adalah ide yang diusung secara eksplisit untuk mengeliminasi umat Budha dari Mareje.
Ujaran kebencian menjadi ampuh, karena di tengah masyarakat yang berbeda apalagi yang telah tertanam prasangka, ia menjadi alat legitimasi untuk memantik intoleransi, persekusi dan konflik. Kemudian ujaran kebencian dari simbol-simbol wacana berubah menjadi kekerasan yang lebih besar bahkan bisa menjadi structured violence.
Idulfitri yang dirayakan oleh umat muslim dirayakan di atas penderitaan umat Budha. Umat Budha harus menerima rumah dan kendaraannya terbakar oleh massa yang banal—yang sering memakai alasan agama untuk melegitimasi tindakan keji mereka. Idulfitri justru dirayakan dengan kebencian bukan keharmonisan, Idulfitri diperingati dengan persekusi bukan toleransi.
Daftar Pustaka
Mawarti, Sri, Fenomena Hate Speech Dampak Ujaran Kebencian, “Jurnal Toleransi: Media Komunikasi umat Beragama” Vol. 10, No. 1, Januari – Juni 2018.