Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan - Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia, 1975

Aksi yang terjadi beberapa hari terakhir ini, dimulai dari aksi #GejayanMemanggil pada tanggal 23 September 2019, yang tagarnya dimulai pada malam hari sebelumnya, menarik perhatian saya. 

Hal yang menarik perhatian, terutama dikarenakan skalanya yang masif, juga bagaikan gelombang, yang berjalan serentak dan bersusulan di beberapa kota besar, seperti Jakarta, Bandung, Semarang, Palembang, Makassar, Solo, Medan, dan sejumlah kota lainnya di Indonesia.

Aksi masif ini tentunya mengingatkan memori kita ke aksi mahasiswa pada tahun 98, di mana beberapa aktivis yang terlihat turun ke jalan justru sekarang 'gantian' menerima aksi dari adik-adik mahasiswa. Para mahasiswa yang turun pun membawa agenda yang penting, sehingga membuat mereka 'terpaksa' harus turun ke jalan, meninggalkan 'kursi nyaman' mereka di kampus. 

Ada beberapa hal menarik yang membuat saya 'tergelitik' untuk menyoroti aksi adik-adik mahasiswa ini, sehingga marilah bersama saya meninjau pro dan kontra dari aksi mahasiswa kali ini sembari kita membahas poin-poin menarik.

Hal yang menjadi pemantik aksi ini adalah pasal-pasal dalam RKUHP yang dirasa janggal dan berlebihan (dalam hal merambah ke ranah privat). Pemantik ini kemudian ditambahkan dengan agenda lainnya, yang sejatinya sudah dibicarakan secara terpisah oleh berbagai kelompok masyarakat, sehingga kemudian terjadilah aksi yang sepertinya terkoordinasi dan masif. 

Pertanyaan penting yang perlu dijawab dan coba saya jawab dalam tulisan ini adalah: apakah poin tuntutan yang diajukan oleh mahasiswa memiliki dasar yang kuat?

Saya menyederhanakan poin tuntutan ini, dari 7 poin yang diajukan mahasiswa sebagai poin penuntasan reformasi, sebagai 2 poin besar yang akan saya bahas. Poin tersebut adalah mengenai RKUHP dan RUU KPK, yang statemen dan dasar pemikiran perwakilan mahasiswanya dapat dilihat secara langsung melalui 2 buah siaran langsung di 2 stasiun TV yang berbeda dengan 2 acara yang berbeda.

Poin 1: Mengenai RKUHP dan Pengesahannya

Kronologi dari buah pikir mahasiswa yang akan saya soroti, berasal dari dokumentasi acara ILC di tvOne.

Mahasiswa, seperti yang dipaparkan dari 4 orang perwakilan ketua BEM, UI, ITB, UGM dan Trisakti, pada acara ILC di tvOne 24 September 2019, menyatakan bahwa gerakan ini merupakan kegelisahan dari segenap masyarakat yang diakui gelisah terhadap kondisi negara akhir-akhir ini. 

Gerakan mahasiswa ini pun diakui mewakili segenap rakyat Indonesia, atas dasar kegamangan ketika memperhatikan pengelolaan negara akhir-akhir ini, yaitu terutama mengenai pemberantasan korupsi melalui pengesaha RUU KPK, dan keterburu-buruan pemerintah dan legislatif dalam pengesahan RKUHP. 

Pengakuan ini diutarakan oleh ketua BEM UI, dan kemudian ditambahkan oleh ketua BEM ITB, mengenai kurangnya sosialisasi pemerintah mengenai RKUHP, yang sudah ditunda pengesahannya oleh Presiden Jokowi pada tanggal 23 September 2019, bersamaan dengan RUU Pertanahan, RUU Minerba, dan RUU Pemasyarakatan. 

Argumentasi yang diutarakan oleh perwakilan mahasiswa, bahwa Presiden hanya menunda pengesahan, sementara yang dituntut mahasiswa adalah pembatalan RKUHP tersebut. Asumsi yang dipegang mahasiswa adalah penundaan yang dilakukan Presiden adalah sementara, dan akan tetap disahkan oleh pemerintah. 

Pada poin ini, pandangan saya adalah mahasiswa tidak mendengar dan memahami dengan jelas konferensi pers Presiden, yang dengan jelas menyatakan bahwa penundaan pengesahan adalah untuk menyerap aspirasi masyarakat, yang berarti RUU yang ada sekarang akan dibahas ulang, bahkan mungkin dibawa ke pembahasan DPR terpilih periode berikutnya.

Substansi yang dibahas dalam RKUHP, yang dinilai sebagai pasal yang kontroversial, juga dibahas dalam ILC. Pasal-pasal yang dibahas, mencakup unggas, beberapa ranah privat (hubungan suami-istri), juga hal terkait gelandangan.

Pada acara ILC kemarin, terlihat dengan jelas bagaimana para mahasiswa kurang menguasai materi tuntutan yang dibawakan, yang menjadi pemicu gelombang aksi yang dibawa, meski seperti yang dikatakan Fathur (M. Atiatul Muqtadir), ketua BEM UGM, bahwa tiap materi yang akan dibawakan sebagai landasan aksi telah dibahas oleh tim strategik terkait dengan isu yang berkaitan.

Tanggapan mengenai poin pertama

Alasan di balik pergerakan mahasiswa, yang menjadi tuntutan utama, bisa diringkas menjadi 2 hal, yaitu ketakutan akan matinya demokrasi melalui pasal-pasal bermasalah yang berpotensi memberangus demokrasi, yang tercantum dalam RKUHP pasal 218 (penghinaan presiden), juga pasal yang memasuki ranah privat, yang tercantum dalam RKUHP pasal 251, 470-472 (aborsi), 419 (ko-habitasi), 414 (alat kontrasepsi), 304 (Penistaan Agama), 421 (Pencabulan Sesama Jenis), dan pasal-pasal lainnya (252-Santet, 604-Korupsi, 432-Gelandangan dipidana, 340-hewan peliharaan, 278-unggas, 2-Hukum adat) dengan total 11 poin.

Poin mengenai pemberangusan demokrasi mengingatkan saya kepada kejadian yang terjadi hampir 90 tahun lalu, tepatnya tuntutan hukum yang dihadapi oleh Bung Karno dan kawan-kawan pada 1930, di mana beliau menghadapi tuduhan dari pasal yang kurang lebih sama isinya, yaitu mengenai pasal-pasal karet. 

Pasal-pasal Itu adalah 'de Haatzaai Artikelen', yaitu pasal‐pasal pencegah penyebaran rasa benci. Mereka dituduh "mengambil bagian dalam suatu organisasi yang mempunyai tujuan menjalankan kejahatan di samping ... usaha menggulingkan kekuasaan Hindia Belanda .....". 

Di dalam Kitab Undang‐Undang Hukum Pidana telah dinyatakan bahwa: "Seseorang yang kedapatan mengeluarkan perasaan‐perasaan kebencian atau permusuhan secara tertulis maupun lisan—atau seseorang yang berhubungan langsung maupun tidak langsung dengan kegiatan‐kegiatan yang menghasut untuk mengadakan pengacauan atau pemberontakan terhadap pemerintah Belanda, dapat dikenakan hukuman setinggi‐tingginya tujuh tahun penjara."

Pasal-pasal tersebut dikenal pula sebagai pasal karet karena memberikan ruang tafsir subjektif yang sangat luas. Bahkan Soekarno menyebutnya aturan karet yang kelewat karetnya (aller-ergelijkst elastieke bepaling).

Bagaimana dengan pasal 218? Apakah benar ini merupakan pasal karet yang apple to apple dengan pasal yang dikenakan terhadap Bung Karno, atau UU ITE (yang menurut pendapat pribadi saya, merupakan pasal karet yang kelewat karetnya, menimbulkan multi tafsir yang sangat luas)?

Pasal 218

(1) Setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Kategori IV.

(2) Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat   sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.

Penjelasan Pasal 218

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri” pada dasarnya merupakan penghinaan yang menyerang nama baik atau harga diri Presiden atau Wakil Presiden di muka umum, termasuk menista dengan surat, memfitnah, dan menghina dengan tujuan memfitnah.

Ketentuan ini tidak dimaksudkan untuk meniadakan atau mengurangi kebebasan mengajukan kritik ataupun pendapat yang berbeda atas kebijakan pemerintah.

Penghinaan pada hakikatnya merupakan perbuatan yang sangat tercela (dilihat dari berbagai aspek: moral, agama, nilai-nilai kemasyarakatan dan nilai-nilai HAM/kemanusiaan), karena “menyerang/merendahkan martabat kemanusiaan” (menyerang nilai universal); oleh karena itu, secara teoritik dipandang sebagai rechtsdelict, intrinsically wrong, mala per se dan oleh karena itu pula dilarang (dikriminalisir) di berbagai negara.

Ayat (2)

Dalam ketentuan ini, yang dimaksud dengan “dilakukan untuk kepentingan umum” adalah melindungi kepentingan masyarakat banyak yang diungkapkan melalui hak berekspresi dan hak berdemokrasi.

Kita dapat melihat, bahwa sebenarnya pasal ini tidak dimaksudkan untuk memberangus demokrasi, seperti yang ditafsirkan oleh adik-adik mahasiswa. Pasal ini utamanya lebih kepada penghinaan kepada Presiden, yang merupakan lembaga negara, sama seperti penghinaan terhadap lambang maupun bendera negara. 

Jadi, memang tinjauan yang dilakukan kurang mendalam dan tidak kompherensif. Dalam hal ini, mahasiswa kesannya terburu-buru dan tidak berdasarkan data yang kuat. 

Mengenai pasal-pasal yang menyangkut ranah privat

Poin selanjutnya, mengenai masuknya negara ke ranah privat. Argumen yang kuat disampaikan adalah mengenai bagaimana KUHP yang sebelumnya berjiwa kebarat-baratan, ingin dimasukkan kearifan lokal, sehingga dimasukkan beberapa pasal ini. 

Dalam hal ini, beberapa pasal di RKUHP sudah tepat. Hal-hal mengenai ko - habitasi (kumpul kebo), misalnya, dapat diadukan hanya oleh orang tua, suami, istri atau anaknya. Ini menurut saya baik, karena dapat menghindarkan main hakim sendiri dari warga, seperti kejadian pengarakan warga di Tangerang, yang ternyata salah kaprah ketua RW, dan terjadi tindakan main hakim sendiri

Pasal ini memberikan kepastian hukum, mengenai status dan bagaimana menindak hal tersebut, juga membatasi sikap main hakim sendiri. Hal ini juga yang menjadi landasan untuk pasal 252 mengenai ilmu hitam/santet.

Pasal-pasal lainnya, yaitu mengenai pemeliharaan hewan, jelas merupakan misinformasi dari berita yang disebarkan di medsos, utamanya ketika ayam masuk ke halaman orang kemudian didenda 10 juta, yang mungkin penafsiran pasal 278 ayat 1. Pasal yang tertulis jelas menyoroti bahwa yang masuk ke dalam hukum pidana, adalah unggas yang telah masuk ke dalam kebun yang telah ditanami benih. 

Nah, bagaimana dengan peliharaan yang merusak kebun atau tanaman produktif di desa? Saya pikir hal ini merupakan payung hukum yang baik bagi masyarakat. 

Pasal lain adalah 340 ayat 1d. Hal ini saya soroti, karena memang hewan peliharaan menjadi tanggung jawab pemiliknya, dan ketika merusak atau mengakibatkan kerugian bagi orang lain, maka pemiliknya harus bertanggung jawab. 

Ini pernah saya alami waktu kecil dulu, ketika bermain di rumah kawan saya, kemudian dikejar anjing peliharaan tetangganya. Saya jatuh dan terluka akibat 'agresi' hewan peliharaan tersebut, kemudian pemiliknya hanya meminta maaf kemudian meninggalkan saya begitu saja. 

Pasal-pasal yang menurut saya patut mendapat sorotan adalah mengenai aborsi, dan penistaan agama. Pasal pidana mengenai aborsi ini akan mengakibatkan debat mengenai pro-life dan pro-aborsi, yang keduanya menyangkut hak asasi manusia. 

Pasal yang diatur dalam RKUHP juga tidak menyebutkan aborsi karena pilihan perempuan tersebut, utamanya kalau perempuan tersebut merupakan korban perkosaan. 

Pasal mengenai penistaan agama juga berpotensi menjadi pasal karet yang kelewat karet, yang mengakibatkan ketidak-pastian hukum, seperti yang terjadi pada kasus Ahok dan Meiliana di Tanjung Balai. Pasal inilah yang menurut saya perlu ditinjau ulang, dan perlu kembali membuka aspirasi bagi masyarakat luas, utamanya mengenai kepastian hukum dari tersangka.

Secara garis besar, mahasiswa memang perlu mempertajam kajian yang dilakukan, terutama memperkuat dasar keilmuan dari motif tuntutannya. Hal ini perlu dilakukan, agar mahasiswa tidak terlihat seperti dikuliahi kembali ketika akhirnya diberi kesempatan berdialog dengan mereka yang memang bertanggung jawab. 

Poin 2 : Mengenai RUU KPK

Poin argumen utama dari mahasiswa adalah KPK merupakan anak kandung reformasi, yang seharusnya diperkuat oleh Presiden, sesuai dengan janjinya pada waktu masa kampanye. Para mahasiswa dipertemukan dengan beberapa perwakilan pemerintah dan legislatif, yaitu Moeldoko, Fahri Hamzah, Arsul Sani, dan ... di acara Mata Najwa

Ada beberapa poin menarik yang menjadi pembahasan di sini, dengan beberapa hal yang menjadi kesimpulan saya, ketika mengamati perdebatan yang berlangsung. Hal inilah yang kemudian menjadi titik pembeda pandangan antara mahasiswa, yang diwakili ketua BEM UGM dan ITB, dengan Fahri Hamzah (FH) sebagai perwakilan legislator. 

Poin pembeda penting di sini adalah mengenai term anak kandung reformasi. Mahasiswa mewakili masyarakat umum berpendapat bahwa anak kandung reformasi adalah KPK, yang mewakili semangat antikorupsi. Sementara, FH berpendapat bahwa anak kandung reformasi adalah demokrasi.

Well, saya sependapat dengan FH dalam hal mengenai anak kandung reformasi. Bangsa kita memiliki dendam yang akut dengan korupsi, yang sudah mengakar begitu kuat pada masa orde baru. 

Hal inilah yang menyebabkan interpretasi dan asumsi yang begitu kuat mengakar, bahwa KPK sebagai anak kandung reformasi harus diperkuat sebagai lembaga super power, yang tidak masuk dalam sistem mana pun di negara demokrasi ini (independen). 

Saya pun memiliki ketidaksukaan yang mendalam terhadap perbuatan korupsi, yang kebetulan juga saya temui dalam bagian elemen terendah birokrasi, juga ketika saya berkecimpung dalam pekerjaan saya. Hal ini, ditambah dengan sejarah bangsa kita yang kelam terhadap korupsi, membuat perasaan benci saya terhadap korupsi berlipat, dan sangat berharap korupsi dihapuskan sama sekali di Indonesia. 

Korupsi dapat dihapuskan melalui sistem pemerintahan dan pendidikan mental yang terstruktur dengan transparan dan terbuka, dengan sistem pengawasan yang berjalan dengan benar. DPR tidak secara benar melakukan tugas pengawasan tersebut, terlihat dari jumlah anggota DPR yang ditangkap karena kasus korupsi.  

Kalau kita melakukan pekerjaan yang sama berulang-ulang dengan cara yang sama terhadap suatu hal yang sama, maka jangan mengharapkan hasil yang berbeda.

Hal ini juga berlaku dalam pemberantasan korupsi. Ketika korupsi makin merajalela, dan hal yang dilakukan KPK selama 17 tahun terakhir masih belum berhasil menyelesaikan korupsi, maka harus ada perubahan usaha yang dilakukan. 

KPK hanyalah merupakan sebuah lembaga, yang menjadi simbol dari pemberantasan korupsi. Simbolisasi menimbulkan ikatan emosional, yang membuat penilaian kita terhadap keefektifannya menjadi bias. 

Pemberantasan korupsi utamanya dapat dilakukan melalui sistem demokrasi yang terbuka dan transparan, persis seperti yang FH ajukan. Setiap orang yang berada di lembaga negara, baik pemerintahan, legislatif maupun yudikatif, secara terang benderang harus dapat diawasi oleh masyarakat, layaknya bekerja dalam akuarium.

Masyarakat dapat melaporkan untuk kejanggalan-kejanggalan yang ditemukan dalam penjalanan roda pemerintahan, terhadap siapa pun pelakunya. Peraturan dan undang-undang yang seperti inilah yang seharusnya didorong untuk dibuat dan disahkan.

Lalu, bagaimana soal dewan pengawas, dan juga calon pimpinan bermasalah di KPK?

KPK bukanlah sebuah alat perjuangan reformasi. Ia adalah lembaga negara yang netral, yang harus ditempatkan sebagaimana mestinya dalam sebuah tatanan negara demokrasi yang baik. Independen namun dapat berkoordinasi dengan lembaga negara lainnya secara baik dengan tidak menghilangkan fungsinya. 

KPK harus ditempatkan dan 'dibatasi' kekuasaannya, bukan karena itu berarti kita mengurangi perang terhadap korupsi, tetapi karena "Power tends to corrupt. Absolute power corrupt absolutely".

Jangan sampai KPK mengalami sebuah antiklimaks, di mana lembaga yang kita harapkan sebagai pemberantas korupsi justru mengalami korupsi dari dalam dirinya (orang yang berada dalam KPK), karena sifatnya yang superpower. 

Mari, secara masif kita berperang terhadap korupsi, dengan mengawasi secara sungguh proses demokrasi yang berjalan, mengawal dengan ketat setiap proses legislasi dan produk-produknya, juga 'menghukum' setiap wakil rakyat yang tidak menjalankan janjinya. 

Dewan Pengawas KPK diperlukan, karena setiap lembaga negara di ranah demokrasi harus melalui proses check and balances. Dorong produk legislasi yang mendorong pemerintahan yang terbuka dan transparan.

Jadi, bagaimana dengan 2 poin tuntutan mahasiswa di atas? Apakah mahasiswa sudah kuat dalam penguasaan materi yang menjadi dasar aksi? Sudah adilkah para mahasiswa sejak dalam pikirannya, mengenai pihak dan materi yang menjadi objek aksi mereka?

Mahasiswa jelas perlu menguatkan kembali lembaga dan tim yang mengkaji materi-materi aksi dan mengkritisi secara lebih dalam isu yang ada, supaya tidak timbul stigma kekurang-siapan mahasiswa sebagai ujung tombak perjuangan masyarakat.