Untuk memahami mengapa ada penderitaan dalam kehidupan ini, ada baiknya kita merenungi beberapa pertanyaan sederhana. Mengapa kita ada di bumi ini? Apa tujuan kita hidup?

Bagi mereka yang memaknai kehidupan ini terjadi karena sebuah kebetulan, tidak ada jawaban untuk kedua pertanyaan tersebut. Mereka justru akan bertanya-tanya, “Mengapa Tuhan hanya diam dan mengizinkan rasa derita menyergap manusia?”

Penderitaan bukanlah sebuah entitas yang berdiri sendiri. Ia hadir sebagai imbangan yang tidak terpisahkan dari adanya kebahagiaan. Ketiadaan rasa bahagia sejatinya itulah penderitaan. Jika ada kehidupan. tentunya juga ada kematian. Keduanya berada pada kutub-kutub berseberangan dari bidang yang sama.

Poin inilah yang menjadi kunci guna memahami pergulatan eksistensi, yang akan menuntun makhluk menuju perbaikan konstan dalam mutu kehidupan, dan membantunya mencapai tujuan mulia dari sebuah proses evolusi.

Kita jadinya mengetahui bahwa kehidupan memiliki nilai positif, sedangkan kematian adalah ketiadaan dari kehidupan dan di antara keduanya tidak ada garis batas tegas yang memisahkan satu dari yang lain.

Semuanya menggambarkan proses gradual, bagaimana kehidupan berjalan ke arah kematian dan menjadi pupus, sedangkan dari sudut yang lain kita melihat kematian bergerak ke arah kehidupan sambil mengumpulkan tenaga, energi dan kesadaran.

Semua ini mendasari rencana akbar dari penciptaan. Tapi mengapa Tuhan merencanakannya demikian? Jawabannya dalam Qs. al-Mulk: 02 bahwa “supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang terbaik amalnya” (Hazrat Mirza Tahir Ahmad, 1998).

Realita ini menghadirkan pergulatan konstan di antara kekuatan kehidupan dan kematian, yang kemudian akan memberikan daya dorong kepada yang hidup untuk selalu bergerak menjauh dari kematian, atau justru menuju kepadanya.

Penderitaan menjadi hal yang tidak disukai jika memang hadir sebagai suatu entitas independen dan tidak memberikan peran sama sekali bagi skema kehidupan. Namun realitanya tidak. Tanpa mengetahui bagaimana rasanya menderita, atau menyadari apa yang dimaksud dengan penderitaan, maka perasaan gembira dan bahagia pun tidak akan ada.

Tanpa pernah merasakan apa yang namanya kesakitan dan kenestapaan, pasti yang dimaksud sebagai kegembiraan dan kebahagiaan pun kehilangan arti. Bahkan sesungguhnya keseluruhan eksistensi kehidupan pun menjadi kehilangan makna, dan langkah-langkah evolusi akan berhenti sama sekali.

Karena itu dalam evolusi, kelima indera kita serta kesadaran terhadap rasa kehilangan dan rasa perolehan, mempunyai peran yang sama pentingnya seperti dua roda pada sebuah kereta, jika hilang satu rodanya maka yang lain tidak mempunyai arti.

Dalam sejarah panjang evolusi, penyakit muncul karena berbagai sebab. Baik langsung ataupun tidak, akan selalu berkaitan dengan beberapa hal, seperti perubahan karena adanya perkembangan, variasi kondisi lingkungan, pergulatan eksistensi, mutasi bentuk dan terkadang kecelakaan. Semuanya bersama-sama atau sebagian telah memainkan perannya. Penyakit, cacat dan kekurangan, semuanya berperan dalam usaha mengupayakan perbaikan.

Demikian itulah bagaimana berbagai spesies hewan terus  berevolusi, kelihatannya tanpa disadari namun jelas ada tujuannya, bahwa semuanya mengikuti suatu lintasan yang secara sadar telah diciptakan untuk menuju kesadaran yang lebih akbar (Hazrat Mirza Tahir Ahmad, 1998).

Terkadang manusia menderita tanpa menyadari bahwa dirinya sendirilah yang seharusnya dipersalahkan. Mereka mungkin memang patut menderita baik secara langsung atau tidak tanpa mengetahui apa penyebabnya.

Paling tidak peristiwa seperti dua perang dunia, genosida di Holocaust, perubahan iklim yang menyebabkan hilangnya pulau-pulau, menjadi bukti bahwa manusia adalah pihak yang mestinya paling bertanggung-jawab. Namun sayangnya tidak seorang pun yang mau mengakuinya, padahal jutaan orang telah menjadi korban atas peristiwa besar tersebut.

Bukan itu saja yang menjadi masalahnya. Ada beberapa kasus yang memerlukan penjelasan lebih mendalam. Misalnya anak-anak yang dilahirkan dengan cacat bawaan. Mengapa mereka harus menderita? Kita tidak bisa mengatakan bahwa hal tersebut merupakan kesalahan mereka sendiri. Kalaupun ada kesalahan, mestinya berada pada orangtua mereka, yang mungkin saja secara tidak sengaja mereka melakukannya.

Dalam konteks demikian maka istilah ‘kesalahan’ harus dipahami dalam pengertian yang luas, yang mencakup juga berbagai kejadian aksidental seperti penyakit bawaan (kongenital). Kesalahan seperti itu tidak bisa dikatakan sebagai kejahatan yang dilakukan secara sadar.

Apa pun bentuk dari keadaan yang menimbulkan cacat demikian, satu hal yang pasti bahwa anak-anak tersebut sama sekali tidak bisa dipersalahkan atas hal yang menyebabkan penderitaannya.

Solusi guna memahami masalah ini terletak pada kesadaran bahwa tidak semua penderitaan dapat dikategorikan sebagai penghukuman, dan tidak semua kebahagiaan sebagai imbalan. Selalu akan ada sebagian kecil manusia yang menderita meski tanpa justifikasi.

Kita jangan melupakan bahwa ‘sebab dan akibat’ adalah suatu hal yang terpisah dari ‘kejahatan dan penghukuman’ meski betapa dekat kemiripan di antara keduanya. Bisa saja dikatakan bahwa kejahatan adalah penyebab, sedangkan penghukuman adalah efek dari kejahatan kausatif tersebut. Namun tidak benar untuk menyatakan bahwa semua bentuk penderitaan adalah penghukuman atas suatu kejahatan yang telah dilakukan sebelumnya.

Adalah salah untuk menyatakan bahwa semua bayi yang terlahir sehat berkat perilaku baik orangtuanya. Demikian pula keliru menyimpulkan bahwa semua bayi yang tidak sehat merupakan hukuman atas kejahatan yang dilakukan orangtua atau nenek moyangnya.

Kesehatan dan penyakit, kemampuan dan ‘ketanpa-daksaan’, beruntung dan kesialan, atau kesempurnaan dan cacat kongenital, semuanya merupakan bagian dari skema akbar dunia kebendaan, di mana mereka bisa menjadi pemeran kausatif.

Jelas semuanya itu berbeda dengan fenomena kejahatan dan penghukuman atau kebaikan dan imbalan. Sebagaimana telah dibahas di muka, penderitaan seperti juga kebahagiaan merupakan syarat kehidupan yang harus ada dalam perjalanan evolusi, dan dalam perjalanannya hal itu sama sekali tidak berkaitan dengan kejahatan dan penghukuman (Hazrat Mirza Tahir Ahmad, 1998).

Para penderita yang tak berdosa, bayi-bayi yang lahir dengan cacat bawaan, atau juga mereka yang kemudian terkena penyakit, buta, tuli, bisu, lumpuh parsial atau total seumur hidup, atau yang kondisinya bahkan lebih buruk lagi, adalah mereka yang sistem syaraf sentralnya rusak dalam proses kelahiran yang mengakibatkan gangguan ingatan dan mental.

Penderitaan merupakan guru terbesar dalam mengasah dan mengatur perilaku kita. Penderitaan mengembangkan dan memperhalus perasaan, mengajarkan kerendahan hati dan dengan berbagai cara telah menyiapkan manusia agar kembali kepada Tuhan. Penderitaan menggugah kebutuhan akan pencarian dan eksplorasi solusi, serta menciptakan kebutuhan yang menjadi sumber penemuan-penemuan.

Menyingkirkan penderitaan sebagai faktor kausatif dalam pengembangan potensi manusia, akan berpengaruh pada roda kemajuannya. Karena itu, mestinya tidak menyalahkan eksistensi penderitaan kepada Sang Pencipta. Peran halus dari penderitaan sebagai unsur kreatif dari kebendaan duniawi, sesungguhnya malah merupakan berkat yang tersembunyi.