Suatu hari di siang bolong, Fahri bertemu dengan beberapa rekan kerja yang yang sedang berkumpul di kafe kantor. Setelah pekerjaan seperempat waktu kerjanya usai, waktu zuhur ialah waktu paling mantap menyesap sebuah rokok kretek yang konon buatan ulama itu. Fahri, sambil mengambil jarak dengan rekan kerjanya yang enggan mencium asap rokok buatan ulama itu—konon, mereka percaya ungkapan fahri yang menyebutkan khasiat asap rokok buatan ulama itu, khasiat yang akan membuat penciumnya enggan meminum kembali minuman beralkohol dan membuat pencium asapnya seketika meninggalkan maksiat—mulai menjentikkan korek cricket dan membakar pucuk rokok yang semakin lebar diameter ujung lintingan tembakaunya, semakin nikmat aroma tembakaunya.

Jarak antara mereka dan Fahri tidak membuat obrolan mereka semua berjarak dengannya. Hanya, suara Fahri harus agak lantang agar mereka mendengarnya—bahkan, beberapa pekerja dari kantor lain sampai mencari tau asal suara menggelegar itu. Obrolan dimulai tentang seorang pekerja baru yang berada di posisi Customer Service. Mereka bilang, pekerjaan orang itu selalu mencapai target dan setiap pelanggan yang melewatinya tidak perlu harus sampai team leader CS yang menyelesaikan. Bagi seorang pegawai baru yang belum tuntas masa probation-nya, tentu hal ini merupakan prestasi bagus, sangat bagus. Betapa tidak, bahkan Fahri yang sudah mengenyam asam garam bobroknya mulut pelanggan Indonesia yang punya sifat tidak sabaran melebihi pengemudi India ketika menghadapi lampu merah pun tidak pernah tidak merepoti team leader CS tempatnya bekerja saat awal masuk dulu.

“Doni itu, apa yang ada di benaknya ya,” ungkap Siska membuka percakapan.

“Dia itu emang beneran fresh graduate?” tanya Fahri penasaran. Ia kembali pada masa silam ketika ia harus berkali-kali melihat panduan bagaimana menyesaikan persoalan, bahkan ketika hampir meyentuh satu semester awal mula karirnya sebagai customer service.

“HRD bilang begitu, tentu mereka senang bukan kepalang. Orang yang mereka temukan ini tepat dan karena fresh graduate, gajinya bisa ditekan ke UMR saja,” ujar Joko.

“Hanya aja, mungkin saat ini merupakan kehilangan mereka paling besar.”

Setelah Siska bergumam seperti itu, mereka berempat tiba-tiba hening. Rokok buatan ulama yang Fahri sesap sudah habis, dengan begitu ia dapat mendekat ke arah mereka bertiga. Saat ia menarik kursi dan hendak mendekatkan diri ke arah mereka, tiba-tiba Hendra yang sedari tadi tidak bersuara tiba-tiba membuka keheningan,

“Pak Santoso bilang, kamu diberikan mandat oleh HRD untuk mendekati Doni. Mereka berharap kamu dapat menariknya kembali ke tim, benarkah begitu Ri?”

“Tidak semuanya benar, pak Santoso langsung yang meminta saya mendekati Doni agar ia tidak hengkang. HRD hanya menuruti kemauannya,” ujar Fahri sambil sesekali melirik ke kumpulan pekerja dari kantor lain, sambil mengumpulkan tembakau yang tertinggal di bibir. Matanya tidak menatap langsung mata Hendra.

Dalam hatinya, Fahri tidak habis pikir. Mengapa justru aku yang diberikan tugas menarik kembali Doni keparat itu, gumam batinnya. Kekesalannya tentu bukan tanpa alasan. Fahri sangat iri sekaligus kagum pada kinerja Doni. Selain prestasi yang sebelumnya telah disebutkan, Doni selalu ramah pada siapa saja. Sikap ramah dalam dunia kerja perkantoran tentu punya maksud terselubung. Betapa tidak, jilat menjilat dalam dunia kerja bukan hal yang langka dan sikap ramahnya ini tentu mengarah kesana. Kekagumannya berkisar pada, konsistensi keramah-tamahan yang selalu ditunjukkan oleh Doni. Bahkan ketika Fahri selalu membentaknya dan meminta agar tidak satupun dari orang-orang CS membantunya ketika dalam masalah, Doni justru menganggapnya sebagai latihan seorang karyawan baru. Dan, justru membuatnya tambah semangat mempelajari kesalahan-kesalahannya.

“Pak Santoso tak punya pilihan Ri. Kau leadernya, tentu kau yang bertanggung jawab,” ungkap Hendra melihat tingkah Fahri yang seperti memendam sesuatu.

“Buanglah egomu, Ri. Dia juga yang membuat timmu selalu selamat dari bentakan pak Santoso bukan?”

Fahri hanya mengangguk malas. Mengingat kembali jasa-jasa Doni membuatnya muak. Memang betul adanya, tapi justru jabatannya sebagai team leader jadi seakan sirna di mata pak Santoso. Pak Santoso selalu menyebut-nyebut Doni dalam setiap prestasi, bahkan ia tanpa beban berkata jika bukan karena menghargai lama waktunya bekerja di kantor, mungkin ia akan langsung menggantiku dengan Doni.

“Baiklah, kita lihat saja. Apa si penjilat itu masih akan bertahan di kantor ini,” imbuhnya. Perkataan Fahri sekaligus menutup perkumpulan mereka berempat.

***

Esoknya, ia menghubungi Doni. Whatsapp-nya hanya centang satu. Menelponnya via pulsa pun hanya dibalas oleh suara pemberitahuan nomor sudah tidak aktif. Setelah beberapa usaha yang nihil hasil, ia menelpon kepala HRD kantornya,

“Bos, nomor yang anda kasih bener gak sih?” ucapnya dari balik gawainya.

“Sesuai data. Lagipula, sebagai leader kenapa kau tidak menyimpan nomornya?” tanya suara dari balik gawai itu ketus.

Fahri malas menjawab, ia langsung mematikan panggilan dan menuju ke alamat kos-kosan tempat Doni tinggal. Selain nomor telepon, ia juga diberikan alamt domisili Doni. Ia langsung menyambar motor maticnya dan berkendara menuju daerah Cipete seketika itu juga.

Merepotkan sekali orang ini, gumamnya dalam hati

Setelah menempuh sekitar 45 menit berkendara, ia sampai di pertigaan di bawah flyover. Ia turun dari motornya dan menanyakan alamat tempat tinggal Doni pada sekumpulan bapak-bapak yang sedang asyik mengobrol di sebuah pendopo. Mereka memakai pakaian ormas tertentu yang begitu Fahri kenal, karena baju itu selalu berseliweran di televisi dan berita.

Setelah mengetahui letak persisnya, Fahri tancap gas menuju lokasi sambil mempersiapkan belasan kata makian yang ia persiapkan untuk menghujam laki-laki ramah itu. Sambil berkendara, ia kembali memikirkan perbuatan-perbuatan Doni yang membuatnya disepelekan pak Santoso.

Bajingan, gumamnya.

Setelah 10 menit berputar-putar di beberapa gang, akhirnya ia menemukan rumah bertingkat yang dijadikan Doni sebagai kos-kosannya. Tapi rumah itu terkunci dan tidak terlihat ada orang yang menjaga rumah kos itu. Fahri melompat-lompat sambil mengintip lewat celah pagar yang ditutup semacam pelapis berwarna pucat dan bolong di tengah-tengahnya. Ada beberapa motor terparkir rapih.

Sekali lagi, ia pencet gawainya dan menelepon nomor Doni via pulsa. Masih tidak ada jawaban. Lalu, makian-makian yang sudah ia masak matang ditumpahkannya via Whatsapp, agar nanti setelah Doni aktif, pasti ia langsung kalang kabut dan menelponnya balik. Setelah itu, ia mengirim pesan ke HRD-nya dan mengetik, “Dia sedang tidak ada di rumah dan nomornya tidak aktif sama sekali. Gue akan nunggu balesan dia untuk konfirmasi lebih lanjut.”

Lalu, saat hendak memacu gas kembali ke rumah, tiba-tiba ada seseorang yang keluar dan memanggilnya,

“Iya Mas, paket kah?” tanya orang itu

“Oh, bukan Mas. Saya temannya Doni. Apakah Mas kenal?” tanya Fahri yang membuka kembali helmnya dan berjalan menuju orang tersebut.

“Oh temannya Doni. Doni itu punya teman juga ya ternyata,” ungkap orang tersebut. “Kamarnya dia di atas, lantai tiga. Di lantai itu kamar yang sudah terisi ya hanya kamarnya dia itu.”

“Mas penjaga kos-kosan ini?” tanya Fahri

“Bukan Mas, saya penghuni juga,” ungkap orang tersebut.

“Doni itu orangnya memang aneh ya, Mas?”

“Maksudnya?” tanya Fahri tidak paham.

“Iya, di lantai 3 itu kadang saya denger suara dia teriak-teriak setiap malam. Enggak jelas dia neriakin apa, tapi kayanya kata itu selalu diulang-ulang setiap malem,”ungkap orang itu, membuat Fahri merasakan hal ganjil dalam benaknya.

“Kata apa Mas?” selidik Fahri.

“Enggak jelas, Mas. Tapi selalu ada kata ‘tugas’ di setiap teriakannya.”

Tiba-tiba Fahri terdiam. Lalu, ia mengingat setiap bentakan yang ia lontarkan pada Doni setiap ia bertanya padanya.

Tugasmu hanya memahami, tolol! Masa begitu saja harus selalu bertanya!

Tapi tak mungkin, pikirnya. Doni selalu tanpa reaksi ketika ia bentak. Jika memang kesal, mungkin bisa saja ia dan Doni beradu mulut. Namun, hal itu tak pernah terjadi.

“Tapi Mas, semenjak 3 hari yang lalu, ia tak pernah keliatan lagi. Bahkan sekedar membeli makan.”

Perkataan orang tersebut membuyarkan pikiran Fahri. 3 hari yang lalu? Berarti itu sama dengan hari ketika surat pengunduran Doni diterima pak Santoso dari HRD. Saat itu, ia sebagai leadernya bahkan tidak diberi tahu oleh Doni. Fahri semakin penasaran.

“Kalau begitu, Masnya bisa anter saya ke kamarnya Doni?” tanya Fahri pada orang itu.

“Boleh, Mas. Mari saya antar,” ungkap oang tersebut.

Lalu, mereka beranjak masuk ke kos-kosan tersebut dan menaiki tangga yang sempit, hanya bisa dilewati oleh satu tubuh. Mereka berbelok menuju arah utara dari kos-kosan itu. Lorong itu agak remang dan memang tidak ada kamar yang terisi di kedua sisinya.

“Kamarnya di sebelah sana Mas.”

Orang itu menunjuk sebuah kamar di pojok lorong itu. Seketika, muncul bau busuk yang melewati hidung mereka berdua, semacam bau bangkai. Di depan kamar itu berserakan sampah bungkusan makanan dan botol minuman.

“Mungkin tikus mati Mas, pemilik kos ini memang seperti tidak peduli sama asetnya.”

Mendengar itu, Fahri langsung menuju kamar Doni. Semakin ia dekat dengan kamar itu, semakin pekat baunya. Seakan-akan itulah sumber bau busuk itu. Ia membuka pegangan pintu tersebut. Dikunci. Ia coba buka sambil mendorong pintu itu, tidak ada hasil.

“Dia memang ada di kosannya Mas?” tanya Fahri memastikan.

“Harusnya ada, Mas. Dia tidak pernah keluar Mas. Penjaga sini juga enggak pernah liat dia keluar. Hanya memang sekarang penjaganya sedang pulang kampung.”

Setelah itu, pintu itu mulai ia dobrak. Sekali. Dua kali. Pintu masih kokoh.

“Mas, bisa bantu saya dobrak pintu ini?” tanya Fahri. Namun, ternyata orang tadi sudah turun dari sana.

Fahri mulai merinding. Namun, rasa penasarannya mengalahkan rasa takutnya. Ia dobrak kembali pintu dengan kekuatan lebih. Sampai ke empat kalinya, pintu akhirnya berhasil di dobrak.

Seketika Fahri terduduk lemas. Pemandangan di depannya tidak pernah terbesit di benaknya. Ia menutup hidungnya dari bau busuk yang menyengat dan merangkak mundur. Dirinya tak percaya.

Doni tergantung tak bernyawa. Kepalanya terlilit di tali yang diikat ke loteng, wajahnya sudah membiru. Kamarnya berantakan, barang-barangnya tergeletak tak beraturan, seperti terjadi sebuah gempa yang hanya ada di kamarnya. Di tembok kamarnya, terdapat tulisan besar berwarna merah yang membuat Fahri lemas, tubuhnya merinding.

‘TUGASMU HANYA MEMAHAMI!’