Ada seorang teman menulis dalam kolom komentar di wall Facebook saya, “kerjaannya kok jalan-jalan terus, kapan belajarnya?”. Ada pula yang komen begini terhadap postingan foto saya “kuliah apa jadi model?”. Komentar tersebut saya anggap biasa, karena ketidaktahuan jamaah Facebook atau Instagram.
Lebih sadis lagi, seorang teman memposting screenshot komentar dari followernya, isinya pertanyaan yang menurut saya cukup sadis “Bro kamu kok posting jalan-jalan terus, apa prestasimu?”
Seketika, teman tersebut, menampilkan berbagai macam pencapaiannya baik sebelum dan saat sedang menempuh studi. Saya yang melihat pertanyaan yang di screenshot tersebut, ikut prihatin dan mau tertawa melihat ketidaktahuan para netizen.
Komentar-komentar datar sampai sinis tersebut, merupakan fenomena berbagai respon terhadap postingan foto traveling para mahasiswa yang sedang menempuh studi lanjut di luar negeri. Ada juga yang komen, “kamu kok banyak duit jalan-jalan mulu?”
Pertanyaannya kemudian, apa benar mahasiswa yang studi di LN seperti di Eropa kerjaannya keliling terus, apa ia mahasiswa yang studi di LN tidak memiliki beban perkuliahan? Dan pertanyaan yang terakhir, apakah mahasiswa tersebut banya duit?
Dua pertanyaan itu bagi saya ibarat pprtanyaan kutukan bagi yang suka travelling karena dianggap tidak belajar dan banyak duit. Baiklah saya akan menjelaskan secara perlahan dari persepektif saya agar anda tidak gampang mengutuk minim belajar dan banyak duit terhadap orang lain.
Budaya akademik dan soal traveling
Pertama, saya melihat budaya akademik di kampus-kampus Eropa sangat kunt. Misalkan, mahasiswa jurusan Teknik atau sains murni akan lebih banyak berjibaku dengan laboratorium dan eksperimen.
Seorang teman, yang di jurusan Teknik harus pergi ke laboratorium setiap hari bahkan di saat pandemic sekalipun. Sedangkan mereka yang studi dalam ilmu sosial humaniora, berjibaku dengan bacaan, literatur dan menulis di perpustakaan atau departemen mereka.
Saya juga melihat banyak mahasiswa hampir setiap hari di perpustakaan dari pagi hingga petang. Bahkan banyak dari mereka menghabiskan waktu setiap hari di perpustakaan, dari hari senin sampai sabtu.
Pada musim ujian para mahasiswa bahkan bisa di perpustakaan sampli jam 12 malam. Saya sampal hapal wajahmahasiswa lokal maupun internasional yang setiap hari datang ke perpustakaan.
Saat musim libur seluruh kampus ditutup. Bahkan saat akhir pekan adalah waktu untuk keluarga, sehingga sangat jarang mahasiswa akan menghubungi dosennya terkait urusan akademik.
Saat liburan musim panas, aktivitas akademik umumnya juga berhenti, karena universitas tutup. Saat itu orang-orang Eropa akan menikmati musim libur mereka untuk traveling ke berbagai negara lainnya.
Pernah, beberapa minggu lalu saat periode summer dimulai dan aktivitas akademik sudah selesai, saya datang ke perpustakaan untuk menulis. Suasananya sangat sepi, tidak seperti biasanya. Saya naik ke lantai satu perpustakaan, dimana tempat tersebut biasanya menjadi lantai paling crowded, karena banyaknya mahasiswa yang belajar disitu.
Tetapi hari itu, terhitung jumlah mahasiswa yang datang sekitar sepuluh orang termasuk saya dengan pegawainya. Pada kemana mereka para mahasiswa yang biasanya belajar?
Pulang kampung, part time dan summer courses adalah beberapa kegiatan yang dilakukan oleh para mahasiswa. Mereka yang memilih bekerja, tentu banyak perusahaan yang membuka peluang kereja bagi mahasiswa internasional saat liburan musim panas, sedangkan para pegawai asli mengurangi jam kerja untuk menikmati liburan mereka juga.
Selain itu, pada musim summer pula banyak konferensi serta summer courses di negara lain. Kerja part time selain menambah uang saku, juga bisa digunakan untuk traveling ke negara lain. Karena aktivitas akademik benar-benar berhenti, saat musim libur banyak mahasiswa yang menikmati jalan-jalan baik di dalam negeri atau di luar negeri.
Jadi mereka bukan tidak punya beban akademik, tentu punya. Akan tetapi karena musim panas adalah musim libur, dan masyarakat pada umumnya traveling. Namun, juga ada tipe orang bekerja secara terbalik. Saat proses perkuliahan mereka tidak serius, jarang baca, jarang menulis. Saat akhir pekan atau musim libur mereka jusru lembur.
Treveling dan kutukan banyak duit
Kemudian yang terakhir soal traveling dan banyak duit. Banyak teman-teman bilang, travelling berati banyak duit. Untuk soal ini ada dua macam tidak bisa disamakan pada semua orang. Ada yang memang benar-benar kaya, atau lahir sebagai keturunan sultan, sehingga segala kebutuhan tercukupi.
Tetapi travelling tidak selalu identik dengan banyak uang. Karena berkaitan juga dengan hoby. Mereka yang tidak punya uang, umumnya kerja part time dan tambahan uang tersebut untuk traveling.
Tentu, bagi mahasiswa yang ada di Eropa sudah tidak asing dengan maskapai penerbangan dan bus yang menyediakan promo murah. Tetapi pesan tiketnya harus jauh-jauh hari. Jadi hal ini banyak tidak diketahui oleh banyak orang.
Misalkan, pernah saya mendapatkan tiket perjalanan pulang dan pergi dengan pesawat, seharga Rp. 130.000 atau sekitar 7-8 euro. Tentu itu sangat murah, tiket perjalanan dari Budapest ke Italy seharga sepotong kebab. Pernah juga saya membeli tiket seharga Rp.200.000 atau sekitar 12 euro saat itu untuk pulang pergi dari Budapest ke Jerman.
Tentu tiket tidak bisa dipesan secara mendadak, karena harganya akan sangat mahal. Bahkan saat musim ujian saya mencoba bertanya pada teman-teman international dari negara lain, apa rencana anda saat libur musim summer? Mereka menjawab saya akan ke negara ini dan itu.
Mereka sudah membeli tiket jauh-jauh hari karena murah. Tentu, ada juga yang memang serius dalam belajar, lebih memilih menulis dan membaca dari pada liburan. Bagaimana saat sampai ke negara tujuan selama traveling?
Mereka yang berangkat nekat dengan uang minim bisa nekat tidur di pinggir jalanan dalam rangka berhemat selama traveling. Tentu netizen juga tidak tau, bahwa sebagian mereka bermodal tisu basah sebagai gantinya mandi karena tidak sewa penginapan selama traveling.
Bahkan, seorang teman bercerita sampai tidur di pinggir jalan raya, bermodal selimut sarung dan bantal tas yang berisi pakaian. Tentu, memiliki koneksi atau kenalan di negara lain yang siap membantu akan lebih baik daripada tidur di jalanan.
Tetapi tidak semua kita memiliki koneksi di negara lain, tidur di pinggir jalan, makan sehari sekali, dan mandi dengan tisu basah adalah pilihan terakhir dari mereka yang suka traveling dengan dana terbatas.
Bahkan saat saya traveling ke Belgia, di kota Brussel saat akan memasuki sebuah bis, ada seorang traveller perempuan asal Jerman yang menggunakan sepeda ontel. Dia lengkap dengan tasnya, wajahnya nampak berantakan, semula saya pikir orang jalanan.
Ia menyampaikan bahwa ia travel dari Jerman ke Belgia dengan sepeda. Tentu berhenti kalau capek dan membuka tenda. Jadi tidak semua mereka yang traveling punya uang berlebih. Semoga para pembaca Budiman yang ahli tukang kutuk bisa memahaminya.