Latar Belakang: Isu Kesetaraan Gender
Isu kesetaraan gender boleh jadi masih merupakan topik yang sensitif di Indonesia. Sensitivitas ini disebabkan karena stigma-stigma yang ditempelkan terhadap laki-laki maupun perempuan. Misalnya, laki-laki itu harus kuat dan berani karena ia akan jadi kepala keluarga.
Perempuan itu harus lembut dan penurut, karena kelak akan menjadi ibu rumah tangga [1]. Tak ayal muncul pula istilah yang seolah-olah sudah mendeterminasi perempuan yakni masak (masak), macak (berdandan), dan manak (melahirkan).
Selain stigma semacam itu, budaya patriarkat yang melekat di kebanyakan daerah yang ada di Indonesia juga ikut menjadi persoalan tersendiri. Laki-laki kerap lebih tinggi derajatnya, sehingga perempuan seolah-olah hanya menjadi “pelengkap” dalam masyarakat.
Budaya yang sudah menempel erat ini juga menjadi persoalan yang cukup sulit untuk diubah. Selain itu, masih banyak lagi persoalan kesetaraan gender seperti keadilan di ranah hukum, pelecehan seksual, dan lain-lain yang masih menjadi pemicu sulit terwujudnya kesetaraan gender dalam masyarakat Indonesia.
Lantas, sebenarnya apa persoalan mendasar dari isu kesetaraan gender? Penulis melihat bahwa sebenarnya persoalan mendasar dari isu ini adalah paradigma masing-masing pribadi, baik itu laki-laki maupun perempuan, yang perlu ditransformasi.
Lalu, paradigma seperti apa yang tepat untuk mengupayakan kesetaraan gender? Tulisan ini menawarkan suatu paradigma personalisme Jacques Maritain sebagai upaya untuk memulai suatu masyarakat dengan paradigma baru yang menjunjung kesetaraan gender.
Mengapa personalisme Jacques Maritain? Karena pemikirannya tentang manusia mampu membantu orang untuk sadar bahwa dirinya dan sesamanya adalah pribadi yang utuh dan baik adanya. Tulisan ini pun sebetulnya merupakan upaya untuk terus merefleksikan seperti apakah kesetaraan gender yang paling tepat.
Personalisme Jacques Maritain
Jacques Maritain adalah filsuf Neo-Thomisme dan personalisme berkebangsaan Perancis, serta ikut menyusun Universal Declaration of Human Rights PBB pada 1948 [2]. Ia terinspirasi oleh pemikiran Thomas Aquinas dan mencoba merelevankannya untuk era sekarang [3].
Dalam buku The Person and The Common Good, Maritain mempertanyakan apakah individu ada untuk komunitas? Ataukah komunitas ada untuk individu? [4] Menurutnya, kemungkinan yang pertama terkesan totaliter, dan kemungkinan yang kedua tampak terkesan liberal. Menurutnya, keduanya kurang tepat.
Maritain lalu membedakan istilah individualitas dan personalitas [5]. Sebagai individu, warga negara memiliki kebutuhan dan keinginannya sendiri yang membedakan dirinya dari sesamanya. Sebagai persona, ia dapat menjangkau dirinya sendiri melalui akal budi dan kehendak.
Karenanya, ia dapat mencintai dan berkomunikasi secara personal dengan sesamanya. Setiap persona berhak dan perlu mengupayakan kebaikan bersama dalam masyarakat.
Maritain berusaha menjelaskan bahwa konsepnya mengenai personalisme senantiasa berhubungan dengan kebaikan bersama (bonum commune) dan persona.
Oleh sebab itu, kebaikan bersama didefinisikan sebagai suatu kehidupan yang baik, yaitu dengan saling menghormati dan melindungi, menjaga, serta bersama-sama dalam mengupayakan keadilan.
Dalam karya yang berjudul Man and The State, Maritain juga mendasarkan pemikirannya tentang manusia pada hukum kodrat [6], yaitu suatu tatanan yang dapat ditemukan oleh akal manusia dan yang menurutnya kehendak manusia harus bertindak untuk menyesuaikan diri dengan tujuan yang diperlukan manusia.
Pandangannya dikaitkan dengan istilah “Humanisme Integral”. Disebut integral karena Maritain memandang manusia sebagai persona yang utuh, dan ikut serta dalam mewujudkan kebaikan bersama [7].
Ini merupakan upaya Maritain untuk membuat seorang pribadi itu sepenuhnya dianggap sebagai manusia. Humanisme integralnya berusaha menyatukan dimensi-dimensi yang berbeda dalam persona manusia.
Manusia adalah persona yang menjadi bagian dalam masyarakat, sekaligus memiliki kepersonaan yang baik adanya. Maka, menurut Maritain manusia adalah persona yang utuh dan bermartabat, yang harus berlaku dan memperlakukan persona lain sesuai dengan kodratnya [8].
Analisis: Manusia yang Utuh dan Integral
Pemikiran Maritain dapat membantu kita dalam merefleksikan lebih dalam tentang kodrat manusia dan paradigma macam apa yang perlu dimiliki untuk menjadi orang yang mampu mengupayakan kesetaraan gender.
Seperti yang sudah diungkapkan oleh penulis bahwa persoalan kesetaraan gender adalah soal perlunya upaya transformasi paradigma dalam diri masing-masing pribadi.
Maritain menawarkan paradigma baru untuk kita semua. Dalam masyarakat yang barang kali serba banyak stigma dan budaya tertentu yang seolah-olah mendeterminasi, kita diajak untuk melihat diri kita sendiri maupun orang lain sebagai persona yang utuh dan integral.
Paradigma yang utuh dan integral ini dapat membantu kita untuk bersikap dan bertindak dengan baik dalam masyarakat. Maka, ketika terjun ke dalam masyarakat riil, kita diajak untuk tidak lagi memandang orang lain dan diri sendiri sebagai persona yang terdeterminasi oleh stigma tertentu.
Sudah bukan zamannya mengatakan bahwa perempuan itu harus di rumah dan merawat rumah tangga. Demikian pula dengan pandangan bahwa laki-laki harus menjadi kuat dan perkasa. Kepersonaan seseorang tidak ditunjukkan melalui hal-hal remeh semacam itu.
Kepersonaan kita bukan dilihat berdasarkan kelembutan atau keperkasaan kita, melainkan dari keutuhan diri kita sebagai manusia. Masing-masing persona memiliki akal budi dan kehendak.
Maka, kita pun perlu memandang diri kita dan orang lain sebagai pribadi yang mampu berpikir dan melakukan apapun yang menurutnya baik untuk dilakukan. Karena itu, harapannya sudah tidak ada lagi anggapan bahwa perempuan harus di rumah dan mengurus rumah tangga, atau laki-laki harus kuat dan perkasa.
Semua orang bisa dan berhak untuk melakukan tindakan yang sesuai dengan apa yang ia pahami dan kehendaki. Artinya manusia itu bebas memilih hidup yang ia inginkan; kebebasan itu disertai dengan tanggung jawab. Dari sebab itu, hal ini berlaku pula pada upaya penerapan kesetaraan gender.
Kesimpulan: Pentingnya Transformasi Paradigma
Maka, jawaban dari persoalan kesetaraan gender yang barang kali sulit untuk diupayakan adalah perlunya transformasi paradigma. Apakah transformasi ini sekali jadi? Tentu tidak, karena butuh proses yang tidak sekali jadi. Tapi bukan berarti tidak mungkin, karena hal ini justru sangat mungkin untuk dilakukan.
Mulai dari mana transformasi paradigma ini? Tentu saja bisa dimulai dari diri kita sendiri, dalam keluarga, dalam relasi pergaulan, dalam lingkungan pendidikan, dan bahkan dalam masyarakat sehari-hari.
Dengan kata lain, literasi akan pentingnya transformasi paradigma ini perlu didengungkan secara bertahap. Niscaya terwujudlah kesetaraan gender yang kita harapkan. Penulis sendiri menawarkan paradigma personalisme sebagai kunci untuk melihat manusia secara lebih utuh dan integral.
Paradigma yang utuh dan integral ini niscaya juga akan meluas dan berdampak pada tindakan-tindakan kita di masyarakat, termasuk ketika kita hendak menerapkan kesetaraan gender melalui aktivitas sederhana dalam keseharian kita.
Maka, beranikah kita untuk mulai mengupayakan transformasi paradigma untuk mewujudkan kesetaraan gender demi kebaikan bersama? Kuncinya adalah mulai dari diri sendiri.
Referensi:
[1] Bdk. Arman Dhani, “Melawan Stigma dan Prasangka terhadap Perempuan Indonesia”, 8 Maret 2017, https://tirto.id/melawan-stigma-dan-prasangka-terhadap-perempuan-indonesia-ckko (Diakses pada 15 Desember 2021, pk. 16.22).
[2] Bdk. William Sweet, “Jacques Maritain”, The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Summer 2019 Edition), 01 Mei 2019, Edward N. Zalta (ed.), https://plato.stanford.edu/archives/sum2019/entries/maritain/ (diakses pada 14 Desember 2020, pk. 09.54).
[3] Bdk. Ibid.
[4] Bdk. Jacques Maritain, The Person and The Common Good, Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1946, hlm. 11.
[5] Bdk. Ibid., hlm. 13.
[6] Bdk. Jacques Maritain, Man and the State, Chicago: University of Chicago Press, 1951, hlm. 86.
[7] Bdk. William Sweet, Op. Cit.
[8] Bdk. Ibid.