Tiongkok Rilis GSI Sebagai Pesaing NATO ?!

Jika kita buka kembali biografi para Presiden yang pernah memimpin Amerika Serikat, kita akan menyadari bahwa memasuki era kepresidenan Joe Biden, Amerika memang mengalami "penurunan performa."

NATO saja misalnya, yang dulu dielukan sebagai Aliansi Militer terbesar Dunia bentukan Amerika, sekarang bahkan Dunia memandang NATO sebagai "No Fight, No Money."

Tidak ada perang, NATO tidak ada uang. Saya benci harus mengatakan ini tapi memang sebegitu rendahnya performa Amerika di mata Dunia sekarang.

"Bahwa NATO telah berubah menjadi aliansi yang mata duitan."

Itu jugalah yang menjadi salah satu alasan kenapa beberapa tahun terakhir NATO menciptakan kekacauan di kawasan Asia, berikut propaganda-propagandanya ke Negara yang memisahkan diri dari Negara Induknya (Dibaca : Ukraina dan Taiwan). 

Bahkan Februari 2023 ini, Jens Stoltenberg (Dibaca : Sekretaris Jendral NATO) berkunjung ke Chey Institute for Advenced Studies, Korea Selatan dan "membujuk" agar Korea Selatan mengirimkan bantuan Militer ke Ukraina. 

Memang, sebelumnya Korea Selatan di bawah kepresidenan Yoon Suk Yeol pernah menandatangani sebuah perjanjian yang berbunyi bahwa ; Korea Selatan akan memasok sejumlah tank, pesawat dan senjata tempur lainnya pada NATO.

Hanya saja dalam perjanjian tersebut, Presiden Yoon mengingatkan kembali bahwa itu tidak untuk dikirim ke Negara yang sedang berkonflik seperti Ukraina. 

Jendral Stoltenberg pun kembali meyakinkan Presiden Yoon bahwa sudah banyak Negara NATO yang mengubah kesepakatan terkait hal itu dan mereka tetap mengirim senjata ke Ukraina yang tengah berkonflik.

Kunjungan "kelaparan" itu pun dilanjutkan oleh Jendral Stoltenberg satu hari setelahnya menuju Jepang. 

Masih dengan misi yang sama yaitunya membujuk Pemerintahan Jepang agar mengirimkan bantuan ke Ukraina, bahkan ia juga menyampaikan provokasi lainnya seperti,

"Rusia sudah dibantu oleh Tiongkok dan Korea Utara, untuk itu kita juga harus memperkuat aliansi."

Kendati demikian, hal tersebut masih akan dipertimbangkan lebih lanjut oleh Pemerintahan Jepang. 

Menanggapi kejadian ini, Zhang Jun (Dibaca : Utusan Tiongkok pada forum PBB) mengatakan bahwa,

"Kedatangan Jendral Stoltenberg justru merupakan awal konfrontasi dan perang kawasan Asia Pasifik. Kami menentang dengan tegas elemen tertentu yang menyangkut keterlibatan NATO di kawasan Asia Pasifik berkedok aliansi Militer."

Sedang out of the box-nya, pada tanggal 21 Februari 2023 kemarin Tiongkok secara resmi merilis GSI (Dibaca : Global Security Initiative) sebagai aliansi Militer bentukan Tiongkok dan sudah mendapat dukungan lebih dari 80 Negara yang ada di Dunia. 

Sekaligus merilis 3 peringatan untuk Taiwan di antaranya ;

-Siapa pun yang berani membangun pangkalan Militer di Taiwan, maka Tiongkok akan menggempur Taiwan.

-Jika Taiwan membangun Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir, reaktor nuklir, serta peluru kendali berkepala nuklir, maka Tiongkok akan menggempur Taiwan.

-Jika Taiwan tetap bersikukuh dengan kemerdekaannya dan menunda unifikasi Taiwan-Tiongkok, maka Tiongkok akan menggempur Taiwan.

Ketiga peringatan tersebut disetujui oleh Mentri Luar Negri Tiongkok, para Petinggi CCP, dan Presiden Xi Jinping. 

Selain itu Mentri Luar Negri Tiongkok juga menyampaikan bahwa,

"Tiongkok sama sekali tidak sedang mencari hegemoni ekspansi, atau sedang mempengaruhi, atau pun sedang terlibat persaingan senjata melainkan semata-mata untuk membela perdamaian.

GSI akan berjalan dengan kooperatif, bertujuan untuk jangka panjang, membangun keamanan, mengedukasi proses mencapai keamanan, dan mengedapankan dialog perdamaian.

Serta berakar pada budaya tradisional Tiongkok yang menjunjung tinggi perdamaian di atas segalanya."


Alasan Taiwan yang Bersikukuh Memerdekakan Diri.

Jauh sebelum Tiongkok menganut sistem Komunisme, Tiongkok memiliki 2 Partai besar yaitu, Partai Nasionalis yang merupakan warisan era Dinasti Qing, dan Partai Komunis yang lahir pada tahun 1921.

Jadi sejak era Dinasti Qing mereka sudah menganut sistem Nasionalis Demokratis. Dan sejak tahun 1921 hingga tahun 1949 keduanya mengalami persaingan, barulah diakhiri dengan kemenangan Partai Komunis. 

Partai Komunis lantas mengklaim bahwa Tiongkok ke depannya akan menganut sistem Komunisme.

Sedang Partai Nasionalis bersama dengan 2 juta orang pengikutnya mengungsi ke Taiwan dan melanjutkan sistem Nasionalis Demokratis mereka di wilayah yang hingga kini masih "bersengketa" tersebut.

Itulah alasan kenapa Taiwan selalu merasa tidak cocok dengan Tiongkok, dan lebih cocok dengan Amerika sehingga mereka bersikukuh untuk memerdekakan diri.