Berlibur adalah hal yang menyenangkan, rehat sejenak dari kegiatan yang setiap hari dilakukan bukanlah sebuah hal yang merugikan. Melakukan healing sejenak untuk mengembalikan kewarasan tubuh bukanlah hal buruk, kan?

Pagi itu saya berbincang dengan Bapak ditemani secangkir teh. Moment yang sebenarnya sangat sulit dilakukan dihari-hari biasa, dan ya saat itu sedang PPKM karena covid yang membuat semua orang tidak bisa beraktivitas secara leluasa. Bapak bertanya tentang liburan kenaikan kelas saya, yang mana itu dua minggu lagi.

Bapak bilang, beliau memiliki niat mengajak kita sekeluarga tilik ke rumah nenek yang ada di Kota Jambi, Sumatra. Sejak saya berusia 9 tahun, saya belum pernah ke sana lagi. Dan menurut Bapak, saat itu adalah waktu yang tepat, karena PPKM sudah tidak terlalu ketat.

Saya senang mendengarnya, namun sejujurnya saya sangat membenci menaiki transportasi umum, terkhususnya bus. Bukan karena alasan yang bagaimana, tetapi karena saya pribadi sering mabuk perjalanan. Saya senang bisa liburan, tapi tidak dengan nuansa naik busnya.

Perjalanan mengesankan dari Jakarta ke Jambi.

Dua minggu kemudian kami sekeluarga berangkat dari Terminal Purwantoro menuju Jakarta dan transit menuju Jambi. Saat transit kami menumpangi bus yang bukan keinginan kami, menggunakan Family Raya hanya karena jam keberangkatan lebih cepat dibandingkan NPM yang selisihnya satu jam.

Duduk di seat paling belakang membuat saya bisa mencium aroma tidak sedap dari kamar mandi bus, menjadi hal buruk pertama. Seharusnya, dimanapun penumpang duduk mendapatkan kenyamanan yang sama, toh juga sama-sama bayar. Kebersihan yang kurang dijaga oleh “sebagian” orang sangat merugikan orang lain.

Perjalanan lancar sampai di Pelabuhan Merak. Menaiki kapal untuk menyebrang ke pulau Sumatra. Berlayar saat matahari mulai tenggelam adalah moment terbaik, dan akhirnya kami mendarat saat langit sudah gelap. Mampir di RM Siang Malam untuk sekedar mengisi perut dan melanjutkan perjalanan.

Tetapi, bus yang kami tumpangi mogok. Hadehhhh….. pikir saya. Bagaimana bisa transportasi umum yang bukan “gratisan” tidak memperhatikan armadanya sampai bisa mogok di tengah perjalanan. Semua penumpang menunggu di emperan rumah makan seperti korban banjir yang mengungsi. Dan ini menjadi hal buruk kedua.

Total 8 jam kami menunggu bus pengganti datang. Jam 3 dini hari kami melanjutkan perjalanan dan saya tertidur. Saya terbangun saat tidak merasakan pergerakan dari bus. Saat melihat ke arah luar, saya bisa melihat asap. Ternyata bus yang kami tumpangi mogok. Lagi. Apesnya lagi saat itu sudah masuk tol. Double Kill. Semua penumpang turun untuk mencari udara segar, dan ya ini hal buruk ketiga.

Saya tidak tau ini kelalian pihak “atas” atau sopir yang tidak mengecek dengan benar armada yang digunakan. Sudah 2 armada yang mengalami kemogokan, dan itu baru yang saya sekeluarga gunakan. Tidak tahu diluar sana apakah ada armada-armada “bobrok” lainnya.

Akhirnya kami melanjutkan perjalanan mengunakan bantuan mobil derek. Semua penumpang kembali ketempat duduk masing-masing. Terpanggang di bus tanpa sirkulasi udara yang baik, dengan banyak balita yang menangis kepanasan, derek yang dipasang di bamper bus berkali kali lepas karena beban yang tidak seimbang. Dan akhirnya saya tertidur karena kelelahan.  Sungguh, pengalaman buruk yang sangat tak terlupakan.

Sesampainya di rest area saya mengikuti Bapak turun dari bus, tanpa membawa barang saya. Ibu dan adek masih di dalam, bus akan diparkirkan di tempat yang sedikit lebih luas. Beberapa saat kemudian Ibu dan adek menyusul, hanya membawa dompet saja. Kami makan dan beristirahat, tak lama hujan turun dengan derasnya. “Kenapa tidak dari tadi” Rutukan saya didalam hati.

Setelah hujan reda, kami menyusul ke tempat bus diparkirkan untuk mengambil barang. Saya mendapati casing hp saya terpasang terbalik padahal saya sama sekali tidak menyentuhnya, dan saya menyadari kebodohan saya. Untungnya tidak ada barang berharga yang hilang.

Berjam-jam kemudian bus susulan datang, kami melanjutkan perjalanan. Dan keesokan harinya sudah sampai di terminal tujuan.

Alhamdulillah…

Sesampainya di terminal, Ibu saya dimintai untuk mengajukan aduan secara langsung ke pihak biro busnya. Sangat pantas memang. Para penumpang cukup dirugikan di sini, bahkan tidak ada kompensasi dalam bentuk apapun dari pihak Family Raya. Dan saat menunggu Ibu selesai, saya menyadari kalau memory card saya tidak terbaca.

Ya Allah apa lagi ini…

Benar saja saat saya cek, memory card saya sudah hilang. Dan ini menjadi hal buruk terakhir yang menutup perjalanan saya meuju Kota Jambi. Untung saja hanya memory cardnya yang diambil.

 Apapun jenis transportasi, sudah sewajarnya memeriksa armada yang mereka miliki. Karena sejarinya yang harus diutamakan adalah keselamatan dan kenyamanan para penumpang. Bukankah jika hal seperti ini terus menerus terjadi akan merugikan nama mereka sendiri. Cukup menjadi kali terakhir saya menaiki bus itu. Saya kapok, serius.