Saat Qureta pada 3 Juni 2016 menampilkan catatan Orrik Ormeari berjudul “Resenya Anjuran Berjilbab”, saya sudah cukup bisa menebak apa maksudnya. Dan benar. Ia lahir dari ruangan kegelisahan di dalam hatinya. Aroma geram pun sudah dapat tercium di awal-awal tulisannya. Kata-kata “muak” diulang 3 (tiga) kali untuk memperjelas sikapnya terhadap muslimah-muslimah yang “mengerdilkan” jilbab tidak pada tempatnya.
Dengan (ini hanya tebakan) tekanan suara yang agak tinggi, Orrik berkata “Sebelum akhirnya saya berpikir, apanya yang hebat dengan menggunakan jilbab?” setelah ia berkisah tentang pengalamannya di tahun 2000-an sebagai pemuji-muji muslimah yang “hijrah” untuk berjilbab.
Jika diperkenankan untuk memberi komentar kepada Orrik, sebelumnya saya ingin memberikan prolog terlebih dahulu: semangat yang berlebihan kadang menyeret orang kepada perbuatan tolol murokkab.
Pertama, manakala terjadi hijrah-berjilbab dari seorang muslimah dan disusul ucapan selamat dari muslimah lain, maka perkara ini jelas-jelas lumrah. Adakah yang salah dalam memberikan ucapan selamat? Tidak ada! Sama tidak masalahnya dengan seseorang yang memberikan selamat kepada orang yang lagi kentut, sekalipun kentut itu bukanlah perkara yang kurang lazim diberikan ucapan selamat. Orang yang melarang-larang memberikan selamat justru dia sendiri yang bermasalah. Tak perlu muak.
Jika sampai terjadi perisakan (bullying), seperti yang dikhawatirkan Orrik, maka dia luput menangkap porsi pelaku dan tindakan perisakannya untuk dipermasalahkan. Orrik melibatkan spirit berjilbab dalam gugatan pedas. Seolah-olah spirit jilbab menjadi satu-satunya alasan perisakan. Atau paling tidak memiliki dominasi mendorong perisakan. Setidaknya itu yang saya tangkap dari keseluruhan tulisan.
Logika yang disusun Orrik mirip seperti para komentator syariah bahwa penyebab terjadinya kejahatan adalah minuman keras (miras); penyebab pemerkosaan adalah seorang perempuan (korban) yang tidak mengenakan busana muslimah.
Menurut saya, haramnya miras adalah satu hal, sementara kejahatan yang ditimbulkan darinya adalah lain hal; pakaian yang mengundang birahi adalah satu hal, sedangkan otak mesum pemerkosa adalah lain hal. Oleh karenanya fiqih tradisional mendera peminum miras, dan oleh karenanya Quran mewajibkan kaum pria untuk menjaga pandangan.
Dugaan saya Orrik lupa bahwa ada-tidaknya miras, kejahatan bisa saja terjadi. Dan ia sangat alpa, pemerkosaan akan tetap terjadi oleh tindakan nyata lelaki yang sudah berotak kotor dari sananya, serapat apapun busana mangsanya. Maka Orrik melewatkan psikologi/watak pelaku perisakan yang sebenarnya sudah pesakitan dari sananya, dengan mengenakan jilbab atau tidak pada mangsa bully-annya. Orrik sambil lalu melihat sebuah “kejahatan” bukan pada pelaku dan tindakan.
Kedua, ada yang luput dari Orrik bahwa tidak semua muslimah seperti kenalan-kelanannya; tiba-tiba berjilbab karena sanjungan media sosial yang melihat fotonya dari Banda Aceh lebih cantik mengenakan jilbab daripada tidak. Masih banyak ribuan perempuan yang harus melewati drama tragis dan fase-fase psikologis terlebih dahulu (yang bisa jadi sama beratnya seperti pindah agama) hingga akhirnya memilih berjilbab. Jika faktual ini sulit dijangkau, maka saya kisahkah cerita yang lain:
Pernah terjadi pelarangan wanita muslimah bercadar di Perancis. Jika nekat mengenakan cadar, konsekuensinya adalah membayar denda. Adalah seorang jutawan muslim yang berkata kepada muslimah seantero Perancis: “Pakailah cadar, biar aku yang membayar dendanya.”
Saya sangat dikagetkan dengan alasan jutawan ini yang sukarela membayar denda: “Saju juta denda yang kubayar hakikinya bernilai sedikit jika dibandingkan kebebasan dasar (mengenakan cadar) yang sudah dijamin konstitusi.” Kenapa saya kaget? Karena kisah ini ada di negeri se-kafir Perancis.
Pertanyaannya: masihkah ada yang tega menuduh muslimah bercadar di Perancis, serta jutawan baik hati ini bertindak atas dasar narsis?
Harus kita sepakati terlebih dahulu bahwa hak tidak mengenakan jilbab sama equal-nya dengan hak mengenakan jilbab. Keduanya dijamin dan dilindungi konstitusi. Tidak boleh terjadi diskriminasi terhadap keduanya. Baik satu dan lainnya diharamkan untuk saling mendiskriminasi.
Logikanya adalah: orang diperbolehkan untuk mendakwahkan jilbab dan nilai spritualnya yang dikaitkan dengan Tuhan. Sangat diperbolehkan pula untuk menimpali mereka dengan wacana alternatif tidak diwajibkannya jilbab dan tidak ada sangkut-pautnya jilbab dengan Tuhan.
Harus dibangun diskusi akademik agar terbiasa. Jika tidak sampai terjadi, maka konstitusi melarang untuk memaksa. Orang dilarang konstitusi untuk memaksa orang lain berjilbab. Sebaliknya, orang dilarang konstitusi untuk memaksa orang lain tidak berjilbab. Prinsip dasar konstitusi adalah kesetaraan hak, dan mengupayakan agar paksaan tidak pernah ada.
Ketiga, Orrik memberikan satir yang gagal. Ia geli melihat muslimah Indonesia yang seketika mengucapkan selamat kepada muslimah lain yang hijrah-berjilbab, seperti: “Aduh, kamu kelihatan cantik setelah mengenakan jilbab”. Orrik berusaha melucu dengan kisah koruptorwati atau pelaku kejahatan yang tiba-tiba berjilbab: “Kok nggak ada yang berbondong-bondong berdiri di hadapan dia dan memberikan ucapan selamat, cipika-cipiki, lalu bilang, ‘Masya Allah, kamu tambah cantik deh berjilbab begini, semoga kamu tidak dihukum mati, ya’.”
Representasi jilbab adalah hijrah. Setidaknya menurut muslimah yang diolok-olok Orrik. Hijrah berarti perpindahan dari kegelapan menuju terang. Door duisternis tot licht, kalau judul surat Kartini bilang. Mosok motivasi yang begini disamakan dengan motivasi koruptorwati yang berjilbab?
Keempat, benar bahwa terdapat ikhtilaf (silang pendapat) para ulama terkait jilbab (aurat?). Tapi ikhtilaf tidak menggugurkan pendapat. Pendapat yang mengatakan “berpakaian pantas pun sudah cukup” tidak secara otomatis menggugurkan pendapat ulama yang mewajibkan jilbab.
Semuanya sangat sah untuk dijadikan pegangan. Saya hanya khawatir Orrik tidak menangkap prinsip dasar ikhtilaf ini, sehingga ia memilih pendapat “berpakaian pantas pun sudah cukup” sembari mengolok-olok pendapat lain yang mewajibkan jilbab.
Sikap saya hanya satu: sekalipun saya tidak mewajibkan jilbab, saya akan tetap membela hak Anda menyakini kewajiban jilbab. Dan tidak perlu khawatir, sekalipun saya mewajibkan jilbab, saya akan menjamin kebebasan Anda untuk tidak mewajibkan jilbab.