Suatu hari anak-anak saya meminta kudapan yang cukup mereka gemari, yaitu marble cake ala saya. Sebagai ibu cekatan, tentu permintaan itu dengan cepat saya tindaklanjuti. Bahan-bahan ini dan itu saya siapkan sesuai takaran. 

Namun salah satu bahan “kunci” tidak cukup, bahkan untuk membuat setengah loyang pun. Saya butuh tambahan gula halus dan segera saya minta suami saya belikan. Tak kalah sigap, sang bapak pun segera melakukan perintah, sudah detail nama bahan dan berat gramasinya. 

Sesampainya sang bapak di rumah, segera saya siapkan bahan terakhir ini. Rencananya saya kurangi penggunaannya dari resep asli agar tidak terlalu manis. 

Kemasan dibuka dan siap dituang. Namun seketika saya terhenyak, yang akan saya gunakan bukanlah gula halus, namun tepung tapioka. 

Yang diminta gula halus yang dibeli tepung tapioka. Jauh sekali, tak ada kemiripan dalam namanya. Semangat membuat marble cake pun sirna diganti amarah, walaupun sebenarnya jatuhnya lucu. 

Bayangkan bila saya tidak memastikan bahan terakhir itu. Marble cake mungkin jadi memble cake. Bukan legit tapi sengit. Ga bakalan cantik mengembang, yang ada padet dan bantet. 

Tak hanya itu, pernah juga saat anak-anak saya ingin sekali makan es krim coklat favorit mereka, yang mereka dapatkan adalah es krim rasa moka yang walaupun baru mencium aromanya, mereka sudah menolak. Salah beli karena sang bapak hanya melihat gambar produk pada label, warnanya memang cokelat.   

Oh iya, satu lagi, hanya karena warna kemasan hampir sama, saat persediaan susu UHT anaknya habis, suami malah membeli susu dengan varian kesukaannya generasi rajin healing, susu rasa coconut water

Apakah ketiga produk yang salah dibeli tersebut dibuang? Tidak juga. Namun tetap “berbahaya”. 

"Bahaya"-nya adalah yang membutuhukan gula halus, es krim rasa coklat dan susu akan kecewa dan bukan tidak mungkin akan menimbulkan pertengkaran (suami dan sitri) akhirnya. Selain itu, sang suami harus mengeluarkan uang lagi, karena harus berbelanja ulang. 

"Bahaya" lainnya adalah bahaya "penipuan" oleh diri sendiri. Saya ambil satu contoh dalam hal konsumsi produk sari buah.  Produk sari buah, sebagai salah satu bentuk fairness, dibagi menjadi beberapa grade sesuai dengan kandungan buahnya. 

Ada “sari buah”, “minuman sari buah”, dan “minuman buah”.  Sari buah memiliki kandungan buah yang paling tinggi, yaitu 100% , disusul minuman sari buah yang mengandung minimal 35% sari buah dan yang paling rendah yaitu minuman buah  yang mengandung minimal 10% sari buah. 

Ketiga jenis atau nama produk akan sangat jelas tercantum di label pangan dan kandungan buah (dalam %) akan tercantum pada komposisi. 

Sering terjadi, karena tidak membaca jenis atau nama produk dan komposisi di label, konsumen berpikir telah memberikan tubuh asupan “sari buah”, padahal dia hanya mengkonsumsi produk “minuman buah”.  

Jangan berpikir bahwa produk dengan gambar buah yang besar dan sangat mendominasi label pasti produk sari buah. Konsumen harus tetap memastikan nama jenis pangan dan komposisinya. 

Demikian juga dengan produk susu. Untuk yang cair, ada "susu", "minuman susu", "minuman mengandung susu". Untuk produk susu yang bubuk ada "susu bubuk", "minuman susu (bubuk)", "minuman mengandung susu (bubuk)". 

Tentunya pembedaan tersebut berdasar kandungan susu yang digunakan. Dan yang mengandung susu paling tinggi adalah susu dan susu bubuk. Untuk memastikan produk susu yang kita inginkan, nama jenis dan komposisi harus dibaca . 

Tidak membaca label juga bisa “berbahaya” pada definisi yang sebenarnya. Salah satunya terkait alergen. Alergen merupakan bahan yang bila dikonsumsi dapat mencetuskan reaksi alergi pada seseorang. 

Contoh bahan alergen adalah susu, ikan, telur dan kacang tanah. Reaksi alergi bisa bermacam-macam dan berbeda-beda pada tiap orang. Contoh reaksi alergi adalah masalah pada kulit, muntah atau diare. Intinya dapat membahayakan kesehatan. 

Label pangan, khususnya yang sudah mendapat persetujuan atau sudah terdaftar di Badan Pengawas Obat dan Makanan RI, sudah diwajibkan untuk mencantumkan informasi alergen. 

Bahan alergen dicantumkan pada bagian komposisi dan diperjelas dengan tulisan “mengandung alergen, lihat daftar bahan yang dicetak tebal”. Jadi kalau tidak dengan cermat membaca label, padahal memiliki riwayat alergi terhadap bahan pangan tertentu, ada bahaya yang sedang mengintai. 

Selain alergen, ada beberapa peringatan pada label pangan yang bila tidak dibaca bisa membahayakan kesehatan bagi yang mengkonsumsi. Contohnya adalah “Perhatikan! tidak untuk menggantikan air susu ibu'' dan "Tidak cocok untuk bayi sampai usia 12 bulan”. 

Apakah peringatan di atas familiar? Kalau kita merasa tidak familiar, bisa jadi kita adalah kaum dengan minat membaca label pangan yang kurang, bahkan rendah. 

Sesuai ketentuan yang berlaku, semua produk susu, seperti susu UHT, minuman susu atau susu kental manis harus mencantumkan peringatan ini, kecuali produk susu formula bayi dan formula lanjutan. 

Peringatan tersebut perlu dicantumkan karena beberapa zat gizi yang dikandung susu sapi tidak sesuai dengan kebutuhan bayi di bawah satu tahun, bahkan tingginya kandungan protein dan mineral pada susu selain ASI dapat memperberat kerja ginjal bayi.  

Belum lagi kalau kita tidak membaca informasi kedaluwarsa produk. Minimal, kalau pun kita berani mengkonsumsi produk dengan masa kedaluwarsa yang sudah lewat, kita akan mengkonsumsinya dengan penuh rasa curiga, bahkan overthinking.

Sebenarnya apa yang membuat konsumen cenderung tidak membaca label pangan? Kalau suami saya excuse yang paling sering adalah karena sedang terburu buru. 

Padahal membaca nama jenis pangan, memastikan nomor izin edar, atau mengecek masa kedaluwarsa membutuhkan waktu yang singkat. Masih sangat mungkin untuk dilakukan walaupun kita dalam keadaan yang sangat terburu-buru.  

Apakah karena label pangan tidak mudah dimengerti? Menurut saya tidak juga. Sesuai dengan perundangan yang berlaku, informasi yang dicantumkan di label pangan wajib dicantumkan pada bagian kemasan yang mudah dilihat dan dibaca. 

Selain itu, informasi pada label pangan harus ditulis dan dicetak dalam bahasa Indonesia serta wajib dicantumkan secara teratur, jelas, mudah dibaca, dan proporsional dengan luas permukaan Label.

Jadi, sebenarnya menjadi kaum yang melek label pangan tidak lah sulit. Cukup dengan modal kemauan dan kesadaran.

Buat saya, terlepas dari profesi saya sebagai ASN di BPOM, membaca label adalah prioritas. Mengetahui produk yang akan saya konsumsi adalah sangat penting. Karena dengan begitu saya dapat menghindari beberapa "bahaya" yang mungkin mengintai.