“Siapakah sebenarnya makhluk yang bernama manusia itu?” Pertanyaan receh ini acap kali terdengar merdu di telinga kita. 

Pertanyaan ini sekilas memang terdengar receh. Namun, jika kita renungi sampai ke relung hati paling dalam, pertanyaan ini tidak bisa dianggap receh begitu saja. Justru pertanyaan ini memiliki makna yang mendalam dan nilai yang sangat tinggi.

Jika pertanyaan ini kita tujukan kepada Karl Marx, maka ia akan menjawab bahwa manusia adalah homo faber, yakni hewan yang bekerja. Selanjutnya, jika pertanyaan ini kita berikan kepada Aristoteles, maka ia akan menegaskan bahwa manusia adalah animal rational, yakni hewan yang berpikir (rasio).[1]

Memang benar, jawaban para filsuf Barat kesannya agak kasar. Apalagi bagi orang yang baru pertama kali mendengarnya, pasti dalam benaknya berkata seperti ini, “Loh, kok aneh sih mereka, nyamain manusia sama hewan?” Itu sih hanya dugaanku saja.

Saya sendiri pun kurang sependapat dengan mereka mengenai hal tersebut. Perbedaan dalam berpendapat itu biasa. Tergantung bagaimana kita memahami dan mengunyah pendapat mereka. 

Dalam pikiranku, manusia tidak serta-merta bisa atau cocok jika disimbolkan dengan hewan dan sebagainya. Sebab manusia itu unik, lebih unik dari yang kita pikirkan.

Ngomong-ngomong soal super, super merupakan kata yang bermakna lebih dari yang lain, sinonim dari kata luar biasa, atau lebih tepatnya istimewa. Artinya, manusia super merupakan manusia yang dianggap lebih baik (istimewa) dari manusia yang lainnya.

Apakah benar, seandainya jika ada manusia super berarti ada pula manusia lemah? Jelasnya sih seperti ini, super tidak melulu harus dikaitkan dengan kekuatan fisik semata, seperti kita membayangkan superhero sebagai manusia kuat. Lebih dari itu, manusia super mempunyai makna yang mendalam, bahkan jauh lebih dalam dari lautan.

Berkaitan dengan manusia super, jika kita tanyakan kepada Al-Jilli, bagaimana sih manusia super itu dalam benaknya? Tentu ia akan menjawab bahwa manusia super itu merupakan cermin Tuhan (copy Tuhan) yang diciptakan sebagai gambaran (pantulan) dari nama dan sifat-Nya. Manusia super dalam perspektif Al-Jilli ialah yang disebut dengan insan kamil.

Lalu, bagaimana pula jika pertanyaan seputar manusia super tersebut kita tujukan kepada Jean Paul Sartre, salah seorang tokoh dari aliran eksistensialisme asal Prancis? Barangkali ia akan menjawab bahwasanya manusia super adalah manusia yang bebas (otonom), yaitu manusia yang  mengerti bagaimana ia menjadikan dirinya berada di dunia ini.

Ketika pertanyaan ini kita lemparkan kepada Socrates, maka ia akan menjawab bahwa manusia super adalah manusia yang memiliki akal budi dan berbuat sesuai dengan akal budinya serta mampu mengorganisasikan diri kepada lingkungannya.[2]

Sejatinya, perbincangan seputar manusia super memang tidak akan pernah ada habisnya untuk dibahas. Bahkan, Alquran sebagai kitab suci umat Islam pun memiliki penilaian-penilaian (standar atau kriteria) tentang bagaimana sesungguhnya manusia super itu sendiri.

Di dalam Alquran, konsep manusia super mencakup beberapa aspek:

Pertama, manusia yang memiliki keimanan kepada Allah Swt. Sesuai dengan QS. An-Nisa ayat 136 yang berarti: Hai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.

Alquran mengisyaratkan bahwa manusia super bukan hanya soal kekuatan fisik, melainkan kekuatan yang timbul dari keyakinan yang berbuah kepada perbuatan. Dengan iman, manusia akan berbuat sesuai dengan apa yang ditetapkan oleh Tuhannya, serta menjadi manusia yang hidup dengan tuntunan-Nya untuk beramal saleh .

Nabi Saw juga menyampaikan, setidaknya iman mencakup tiga aspek, yaitu membenarkan dengan hati, mengucapkan dengan lidah, dan mengamalkan dengan anggota badan (setiap perintah Allah Swt). Seandainya dari ketiga aspek tersebut sudah dimiliki manusia, maka ia sudah layak dikatakan sebagai orang yang beriman.

Kedua, manusia yang berilmu pengetahuan. Dorongan untuk selalu berpikir di dalam Alquran, salah satunya seperti dalam surat Al-Baqarah ayat 266, bertujuan supaya manusia memiliki ilmu pengetahuan sebagai bekal di dunia. Ilmu pengetahuan menjadi salah satu pembeda kualitas satu manusia dengan manusia yang lainnya.

Di satu sisi, Allah juga akan mengangkat derajat orang-orang berilmu, sebagaimana firman-Nya: Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat (QS. Al-Mujadilah ayat 11).

Ketiga, manusia yang bertanggung jawab. Salah satu aspek mengenai manusia super, yaitu manusia yang bertanggung jawab atas apa yang ia perbuat. Sebab ketika manusia melakukan sesuatu, maka ia akan menerima setiap ganjaran atas apa yang ia perbuat.

Sesuai dengan firman-Nya: Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya. (QS. Al-Mudatsir ayat 38)

Dari beberapa konsep mengenai manusia super menurut Alquran di atas, maka dapat diambil titik terang (benang merah), bahwasanya kriteria manusia super yang dimaksud adalah ”manusia yang bertakwa”.

Manusia yang bertakwa adalah ia yang selalu menjalankan perintah-Nya dan ia yang meninggalkan semua larangan-Nya. Orang yang bertakwa (super) adalah orang yang paling mulia.

Hal ini sejalan dengan ayat Al-Quran yang berarti: Sesungguhnya manusia yang paling mulia di sisi Allah adalah manusia yang paling bertakwa di antara kalian.

Lantas, timbul satu pertanyaan terakhir dari tulisan ini, apakah kita sudah termasuk ke dalam kriteria manusia yang disebut oleh Alquran? Atau justru sebaliknya, kita masih menjadi manusia yang belum menemukan jati diri sebagai manusia seutuhnya? Jawabannya, cukup renungi di dalam hati nurani kita masing-masing.

Referensi

  1. Abidin, Zainal. Pengantar Filsafat Barat. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2011.
  2. Kamaluddin, Undang Ahmad. Filsafat Manusia; Sebuah Perbandingan antara Islam dan Barat. Bandung: Pustaka Setia. 2012.