Para ulama sebagai Sarjana Muslim, Cendekiawan Muslim, dan bahkan para kaum intelektual non-muslim di Indonesia atau Ilmuwan di Barat telah mengenal siapa Imam Abu Hamid Muhammad Alghazali yang populer dengan sebutan yang mencerminkan betapa luas dan jauhnya pemikiran beliau dalam pengembangan Islam yakni Hujjatul Islam.

Terlepas dari sikap pro dan kontra terhadap alam pikiran beliau, para ulama dan cendekiawan muslim maupun non-muslim mengakui kedalaman dan ketinggian ilmu pengetahuan beliau. 

Mereka mengagumi karya-karya ilmiahnya dalam beberapa cabang ilmu pengetahuan. Diakui pula bahwa beliau seorang pemikir dan filsuf yang argumentatif dalam berdialog dengan pengembangan ilmu pengetahuan pada zamannya.

Meskipun ada sementara ilmuwan yang tidak sependapat, hal ini bagi kalangan akademisi merupakan hal yang wajar, justru dengan demikian akan makin luas dan berkembang wawasan dan cakrawala ilmiah yang memang tidak pernah berhenti pada satu titik optimal tertentu. Apalagi kalau hal itu menyangkut ilmu pengetahuan empirik yang selalu dipengaruhi oleh perkembangan situasi dan lingkungan serta filsafat.

Ada sementara orang menuduh bahwa Imam Ghazali mengecam ilmu filsafat dan beralih kepeduliannya pada ilmu tasawuf. Tuduhan itu mungkin karena karya tulis beliau Tahafutul-Falasifah

Memang dalam kitab tersebut beliau mengecam dan menyampaikan pandangan apologis atas kecerobohan ahli-ahli filsafat tertentu dalam membahas hal-hal yang ada kaitannya dengan ‘aqidah atau teologi, misalnya tentang ilmu Allah (Maha Mengetahui) yang oleh mereka diterangkan secara global/general (bil ‘ijmaliy)  tidak terperinci (bil juz'iy).

Di sini sebenarnya beliau tidak anti ilmu filsafatnya sendiri, tetapi teori dan kesimpulan dari filsafat mereka. Justru beliau sendiri dalam menganalisis berbagai ilmu (tasawuf maupun fiqih sekalipun) selalu menggunakan filsafat. Bahkan beliau menganjurkan mempelajari ilmu logika, silogisme dan analogi yang mempunyai implikasi dengan ilmu filsafat sementara ulama lain mengharamkannya.

Kimiya as-Sa'adah (The Chemistry of Happiness)

Kepedulian Alghazali pada ilmu tasawuf terlihat dari banyaknya tulisan beliau tentang tasawuf yang sering beliau sebut sebagai ilmu-bawathin dan ilmu-kasyfi untuk membandingkan dengan ilmu-zhawahir dan ilmu-muamalah. Mulai dari risalah-risalah yang kecil sampai yang besar seperti Ihya' Ulumiddin.

Risalah tasawuf paling kecil yang beliau tulis adalah Kimiya'us-Sa'adah yang secara bebas diterjemahkan oleh K.H. A. Mustofa Bisri, alumni Kairo-Mesir dengan judul Proses Kebahagiaan. Beliau dalam risalah ini banyak menyoroti hal-ihwal kalbu sebagai pusat dan sumber kebahagiaan lahir maupun batin.

Rasulullah Saw. sendiri dalam suatu hadis-nya meletakkan kunci ke-maslahat-an (kebaikan) dan/atau kemafsadatan (kerusakan), bahwa di dalam jasad manusia terdapat segumpal daging yang apabila baik/sehat maka jasad itu menjadi baik/sehat seluruhnya dan apabila rusak/bejat maka rusak/bejatlah jasad itu seluruhnya, ingatlah bahwa segumpal daging itu adalah "kalbu".

Kalbu secara anatomis adalah daging yang bentuknya menyerupai tumbuh-tumbuhan sanubari yang sama dengan bentuk jantung manusia. Secara fisik, organ manusia yang amat penting fungsinya ternyata adalah kalbu (jantung).

Namun dalam risalah ini, penulis menyoroti kalbu dari sisi lain di luar fisik, bahkan dari sisi kekuatan abstrak yang justru akan memengaruhi aspek-aspek lahiriah pula. Karena kalbu merupakan sumber sikap dan perilaku tasawuf. 

Tasawuf itu sendiri menurut banyak ulama adalah tashfiyatul qalbi (menjernihkan kalbu) dari sifat-sifat rendah, tercela dan jelek yang pada gilirannya tidak mustahil muncul sikap kejiwaan yang disebut superego kemudian terejawantah dalam sikap dan perilaku lahiriah atau bersifat fisik.

Imam Ghazali memandang kalbu manusia sebagai sesuatu yang mempunyai implikasi yang luas sekali dengan berbagai aspek dalam proses mencapai Sa'adah (kebahagiaan). Imam Ibnu Athaillah dalam karya-nya Al-Hikam menyebutkankan satu hadis qudsi tentang kalbu:

"Bumi dan langit-Ku tidak bisa memuat Aku (Allah) dan yang bisa memuat Aku (Allah) adalah kalbu hamba-Ku yang beriman."

Hadis ini dijelaskan kebenarannya oleh Imam Ghazali dalam pembahasan tentang kalbu dalam risalah ini. Suatu ilustrasi menunjukkan bahwa apa yang bisa muncul maupun tergambar dalam kalbu bisa melebihi luas dan jangkauannya dari pada yang bisa dipandang oleh mata, didengar oleh telinga, dan diraba atau dijangkau oleh organ lahiriah manusia seperti panca-indra.

Imam Ghazali juga dalam risalah ini secara makro memulai pembahasan tentang pengenalan diri secara utuh, esensial, dan hakiki agar manusia tahu apa dan siapa dirinya, dari mana ia datang ke dunia fana ini, untuk apa dia diciptakan serta dengan cara apa ia mendapatkan kebahagiaan atau kesengsaraan.

Hakikat manusia terdiri dari jiwa dan raga. Yang pertama beliau sebut adalah termasuk "kalbu" yang pengaruhnya sangat dominan, bahkan sampai pada fisik dan raga. Itulah sebabnya beliau beberkan dan paparkan sedemikian dalamnya tentang kalbu.

Integral Syariat dan Tasawuf

Niat yang oleh Rasulullah saw. dijadikan titik tolak keabsahan atau kesempurnaan semua amal itu letaknya juga di kalbu. Akidah dan keyakinan yang lazim disebut "iman" tumbuh-berkembang dan turun-naiknya dari kalbu pula. Kuat dan lemahnya keimanan seseorang akan banyak dipengaruhi oleh kejernihan kalbu.

Keyakinan atau akidah seseorang akan menumbuhkan dua pokok manifestasi yakni lahiriah dan batiniah. Yang pertama, "lahiriah" sebagai indikator keimanan adalah berupa taqwa, yakni pelaksanaan semua perintah Allah dan penghindaran diri dari semua larangan-Nya. Perintah dan larangan itu dikelompokkan ke dalam komponen syariat di dalam Islam. Sikap dan perilaku syariat inilah sebenarnya esensi dasar ketakwaan kepada Allah.

Karena sifatnya sebagai dasar, tentu saja harus ada peningkatan dan pengembangannya untuk penyempurnaan keimanan yang pada gilirannya muncul manifestasi kedua yakni "batiniah", secara bebas dapat diartikan menjernihkan kalbu dari sifat dan watak buruk yang dilarang Allah sekaligus mengisinya dengan sifat dan watak baik yang diperintahkan Allah.

Dengan kata lain, menjauhkan hati dari radza'il (perilaku hina) sekaligus mengisinya dengan fadhâil (perilaku mulia). Sikap dan perilaku batiniah itu-lah yang sering disebut sebagai tashawwuf yang kemudian dikembangkan dengan tata-cara tarekat untuk pada gilirannya seseorang dapat mencapai makrifat.

Nilai iman atas dasar makrifat adalah yang paling kuat dan tinggi, karena dengan makrifat sulit iman seseorang dapat digoyahkan atau diragukan oleh unsur-unsur dari luar yang bertentangan dengan nilai-nilai nurani.

Antara syariat dan tashawwuf dengan demikian mempunyai interaksi seperti simbiosis mutualisme yang saling memengaruhi dan tidak dapat dipisahkan meskipun fungsinya berbeda. Karena bila dipisahkan, dalam arti hanya dipilih salah satunya maka keimanan seseorang akan menjadi tidak seimbang dan tidak stabil, kadang cenderung melemah dan bahkan bisa juga hilang sama sekali.

Keduanya harus tumbuh secara sebagai manifestasi iman yang makin kuat. Sikap dan perilaku syariat saja tanpa tashawwuf menunjukkan kekosongan batin dan pada gilirannya kalbu itu mudah terpengaruh oleh unsur-unsur ke-fasiq-an. Akan tetapi, perilaku tashawwuf tanpa didukung oleh sikap dan perilaku syariat berarti hilangnya unsur ketakwaan yang sangat mendasar dan tidak mustahil akan menumbuhkan perilaku kebatinan yang sama sekali di luar garis-garis Islam.

Oleh karena itu, dalam membaca dan memahami risalah yang diterjemahkan ini, tidak boleh dipisahkan dari pemahaman komponen syariat serta interaksinya dengan tashawwuf. Memang seolah-olah bisa disimpulkan bahwa titik tolak tercapainya kebahagiaan itu adalah kalbu yang di dalam risalah ini menitikberatkan pada ke-tasawuf-an.

Namun haruslah disadari bahwa tercapainya sesuatu itu memerlukan proses. Dalam proses suatu apapun tentu ada sarana, cara, dan upaya/usaha. Di dalam kalbu tumbuh keyakinan dan keimanan, kemudian tumbuh ketaatan syariat dan pada gilirannya tumbuh sikap dan perilaku tasawuf yang berujung ke-makrifat-an kepada Allah Swt.

Terakhir, harapannya adalah semoga buku ini bermanfaat bagi para pembaca dan peminat sebagai obat pengendali nafsu manusiawi yang selalu dilingkari oleh berbagai pengaruh syaithaniyyah.


Informasi Identitas Buku:

Judul Buku: Proses Kebahagiaan: Mengaji Kimiya as-Saadah Al-Ghazaly

Penulis: KH.A. Mustofa Bisri,     Penerbit: PT Qaf Media Kreatifa

Tahun Terbit: 2020,     ISBN: 978-602-5547-56-0

Jumlah Halaman: 146 Hal.