Pada 23 Desember lalu, saya beroleh tautan esai Aris Setiawan yang berjudul "Nya-Nyi" di Majalah TEMPO versi daring. Ia mengomentari prakarsa Dahlan Iskan terkait bahasa yang tertuang dalam tulisan bertajuk "Oktober You".
Prakarsa eks Menteri Badan Usaha Milik Negara itu adalah soal pengkhususan varian pronomina orang ketiga yang menyatakan milik, pelaku, dan penerima berdasarkan gender: -nya untuk lelaki dan -nyi untuk perempuan.
Aris mempersoalkan problem kaidah -nya dan -nyi ala Dahlan jika digunakan untuk menerangkan kata ganti Allah. Varian pronomina -Nya telah galib dipakai dalam penerjemahan Alquran, sedang Allah tak punya peran gender, apalagi jenis kelamin.
Kritik itu termasuk tentang gagasan Dahlan ihwal pembedaan pronomina ia untuk lelaki dan dia untuk perempuan, mengingat Dia sudah lazim pula dipakai untuk merujuk kepada Allah.
Kawan yang membagikan tautan esai itu mengaku sedih. Saya, yang pada hari itu benar-benar baru tahu soal ikhtiar-bahasa mantan bos Jawa Pos Group itu, menjadi murung juga. Kemurungan saya beralasan: langkah itu terlahir dari keresahan Dahlan atas algoritme Google Translate yang bias gender ketika menerjemahkan teks berbahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggris.
Seksisme yang tercatat dalam Google Translate telah viral setidaknya pada tahun 2017. Jika pada hari ini saya tengok kembali kolom mesin penerjemahan itu, dia sedang memasak masih dialihbahasakan menjadi she is cooking. Demikian juga ujarnya yang menjelma he said, tanpa tedeng aling-aling.
Tak Ada Urgensi
Sebelumnya, VICE Indonesia sudah mengupas bagaimana tuduhan seksis tak layak disematkan pada Google Translate. Pengalih bahasa virtual itu bekerja dengan memakai pangkalan data yang terhimpun dari kumpulan dokumen terjemahan milik pengguna internet, alih-alih menggunakan andil linguis.
Yang harus digugat adalah masyarakat yang masih getol memelihara seksisme, sampai-sampai merekam diskriminasi berbasis gender itu pada Google Translate melalui naskah-naskah terunggah.
Jadi, bila Aris menyentil sistem EYD, alias Ejaan yang Di-Dahlan Iskan-kan, karena nanti dapat bercelah bila betul-betul dipraktikkan oleh khalayak, saya menyoroti ketakrelevanan gebrakan Dahlan sejak awal. Urgensi dari ide nyentrik itu tiada.
Dahlan menyebut bahwa ia berkeinginan karya-karya tulis Indonesia mampu mengglobal via Google Translate, dengan terjemahan-terjemahan yang akurat. Namun, hal ihwal penerjemahan tak sesederhana itu meski Google Translate menjadi makin mutakhir—saya akui ia kini menerjemahkan dengan lebih baik. Ada akal dan rasa yang harus terlibat, yang hanya bisa diperoleh melalui kerja humaniter.
Mereka yang menuntut pengalihbahasaan yang sahih pun tak bakal secara gegabah mengandalkan Google Translate, saya pikir. Seumpama tak sanggup memaknai secara mandiri, mereka akan berserah kepada penerjemah piawai demi menerima parafrasa-parafrasa valid dari karya tulis yang mereka sungguh ingin lucuti.
Kemudian, sekali lagi, yang mula-mula menggelisahkan Dahlan bukan teknologi itu sendiri, tetapi budaya kita. Kalau menjadi "selaras" dengan Google Translate yang seolah-olah seksis itu berarti menggeser konsep bahasa Indonesia yang inklusif gender, kita akan kebobolan dua kali.
Bahasa Indonesia, yang disebut oleh J.S. Badudu dalam Pelik-Pelik Bahasa Indonesia (1984), tak memiliki bentuk gramatikal untuk membedakan gender benda-benda, bahkan sudah bernapas patriarkis.
Moch. Jalal dalam "Fenomena Bias Gender dalam Pemakaian Bahasa Indonesia" (2009) mengungkapkan fenomena keberpihakan suatu kata, misalnya siswa yang dapat bersifat netral sementara siswi hanya berlaku eksklusif untuk perempuan. Hal itu mencerminkan "konvensi" tak adil di tengah kita: perempuan dapat mengenakan celana, sedang lelaki tak boleh memakai rok.
Saya kerap menjadikan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sebagai acuan dalam kegiatan tulis-menulis. Namun, itu tak membuat saya tak gelisah terhadap beberapa uraian misoginistis yang turut tercantum.
KBBI versi luring menambah gabungan kata seperti perempuan geladak dan perempuan jangak pada entri perempuan. Belum lagi peribahasa bunyi perempuan di air. Semua bermuatan negatif.
Wanita, yang konon dianggap tak lebih "berbahaya" dari perempuan, bukan pengecualian. Ada kata turunan kewanita-wanitaan dengan contoh kalimat dia ditegur karena gayanya yang kewanita-wanitaan, seakan-akan menyerupai wanita adalah hal yang tak menyenangkan. Ada pula gabungan kata wanita karier yang maknanya menyiratkan peran domestik wanita yang naturalistis.
Tesaurus Tematis Bahasa Indonesia yang sering juga menjadi pegangan saya tak ketinggalan sengit memperlakukan perempuan. Pada entri mesin, tak disangka-sangka akan kita temukan sejumlah sinonim dalam konteks keperempuanan seperti bersalin dan turun mesin.
Prasangka-prasangka yang mengecilkan di atas tak kita jumpai pada entri lelaki, laki-laki, atau pria. Apakah benar bahwa bias patriarki campur tangan dalam pemufakatan bahasa, seperti yang diutarakan oleh Mariana Amiruddin dalam esai "Revolusi Bahasa dalam Politik Gender (Tanggapan Atas Kolom Ayu Utami)"?
Sementara bahasa sedang gencar dijadikan sebagai ruang politik untuk mengupayakan kesetaraan, mundurlah kita apabila inklusivitas bahasa Indonesia terkikis.
Pada tahun 2012, Swedia telah bergerak untuk menentang stereotip, dimulai dari ruang-ruang akademis paling dini, dengan mengamuskan serta memasyarakatkan pronomina netral gender. Saat Dahlan mengatakan, "Kita juga harus terus mempermodern bahasa kita", terjadi bentrokan.
Meskipun demikian, saya tak bisa memerkarakan apa-apa jikalau pasangan -nya dan -nyi itu berterima di kalangan penutur kita. Lagi-lagi nilai yang paling banyak dianut oleh masyarakat yang kelak memberikan pengaruh. Saya cuma berharap agar paham diskriminatif tak (lagi) punya kuasa.