Mungkin ada sesuatu yang belum selesai bagi bangsa ini, ketika pesantren kembali dicermati. Karena sekian lama pesantren hadir di tengah bangsa ini dengan segenap permasalahannya dengan sedikit sekali peran elite bangsa di dalamnya. Hingga tak jarang santri-santri kuno menjadi kelompok tersendiri dalam konstelasi kelas dalam sosio kultural bangsa ini.

Membaca sejarah bangsa ini, sangatlah pantas jika para santri bersama para kiai menganggap bahwa kemerdekaan yang kita nikmati sekarang ini adalah hasil dari perjuangan mereka.

Namun sekali lagi, santri, kiai, dan pesantren tidak perlu panggung untuk pengakuan tersebut. Mereka hanya melakukan salah satu panggilan syariah untuk cinta dan membela tanah air.

Hingga untuk urusan panggung, mereka menyerahkannya kepada mekanisme sejarah bangsa dalam memperlakukan para pendahulunya. Dengan mekanisme tersebut, kita semua tahu bahwa seberapa besar nilai bangsa ini untuk perlakuannya terhadap kaum pesantren.

Sejak merdeka, pesantren berupaya sendiri untuk terus eksis di tengah masyarakat. Metodologi tarbiyah yang tidak sama dengan kolonial dianggap tidak relevan. Hingga dalih relevansi ini mungkin yang menjadi alasan ketidakpedulian elite bangsa pada kaum pesantren. 

Dan Alhamdulillah, perlakuan itu membuat semangat pesantren untuk tetap eksis dan mandiri menjadi makin ulet dan cerdas. Sampai saat ini, masih banyak Pondok Pesantren yang tetap bertahan bahkan berkembang, walaupun pondok pesantren yang tutup juga tidak sedikit. 

Cukup kompleks memang penyebabnya. Diakui atau tidak, ketidakpedulian elite bangsa ini juga menjadi salah satu beban sejarah yang kita rasakan bersama.

Kini, alumni pondok pesantren telah banyak berkiprah di tengah-tengah bangsa ini. Kesantunan akhlak dan tentunya profesionalitas mereka di dalam berkiprah menjadi daya tarik tersendiri. Hingga bangsa ini juga melihat dan menilai bahwa tataran ideal penerus bangsa adalah model seperti ini. Kesantunan budi dan kecerdasan sprititual yang dijadikan sebagai fondasi utama atas kecerdasan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi kesimpulan konsep idealis penerus bangsa. 

Sementara itu, output dari pendidikan bergaya kolonial beberapa dekade ini terus menjunjukkan kemerosotan nilai. Potret anak muda bangsa menuju dekadensi moral yang terus memprihatinkan banyak kita saksikan bersama. 

Para orang tua dan pemerhati pendidikan mulai mempertanyakan adakah hal yang salah dengan pendidikan bangsa ini hingga outputnya seperti itu. Mulailah mereka mengomparasikan dengan pola pendidikan yang ada di pondok pesantren. Hingga kajian, riset, dan upaya ‘merangkul’ kembali pondok pesantren sebagai salah satu format pendidikan karakter asli bangsa ini banyak dilakukan. 

Memahami pesantren harus mengetahui beberapa prinsip dasar yang dimiliki pesantren sebagai ciri khas dari pesantren tersebut. Akan gamang jika pemahaman pesantren dipisahkan dari nilai-nilai pesantren yang secara kuat mengakar di kalangan pesantren. Dengan memahami pesantren dengan segenap nilai-nilai yang ada di pesantren, maka kita dapat mendefinisikan dan menjabarkan peran pesantren dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.

Secara definitif, pesantren tidak bisa dikeluarkan dari term santri sebagaimana yang telah didefinisikan oleh Al Maghfurlah KH. Hasani Nawawie. Bahwa pesantren merupakan tempat untuk membentuk seseorang agar bisa berpegang teguh pada tali Allah dan Rasul-Nya serta teguh pendirian merupakan sesuatu yang utama. 

Mampu berpegang teguh pada tali Allah dan Rasul-Nya tentu tidak akan dicapai jika di dalam pesantren tidak diajarkan ilmu-ilmu syariah, akidah, serta akhlaqul karimah. Proses internalisasi pemanahaman ilmu agama dari to know, to do, dan to be ini harus dilakukan dengan prosesur-prosedur suci. Karena ilmu Allah tidak akan diberikan kepada pemilik hati yang kotor.

Kebersihan hati merupakan poin penting pendidikan di pesantren agar pemahaman pesantren tidak keluar dari makna isthilahi santri dalam mendeskripsikan kontribusi peran pesantren dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Pembersihan hati merupakan hal yang utama agar cahaya Allah yang berupa ilmu pengetahuan merasuk ke dalam hati santri. 

Karena itu kemudian dikenal term tirakat. Dengan bersihnya hati, para santri meyakini bahwa cara Allah memberikan ilmu itu bukan hanya yang kasat dengan cara belajar, namun dengan mujahadatunnafs, Allah kuasa memberikan ilmu dengan jalur-jalur pintas.

Di samping itu, secara metodologis pembelajaran di pesantren, Surat Al Mujadalah ayat 11 menerangkan bahwa Allah berjanji untuk mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan orang-orang yang berilmu serta mengamalkan ilmunya jika proses ngajinya dilakukan dengan benar. 

Artinya, fasilitas Allah akan kemuliaan bangsa ini bisa dicapai jika proses belajar anak bangsa ini dilakukan dengan baik dan benar. Bisa jadi kemuliaan belum kita peroleh karena mekanisme pembelajaran anakanak kita masih belum mencerminkan cara-cara dan nilai-nilai yang baik. 

Dalam kontekstualisasi tafsir Surat Al Mujadalah ayat 11, Al Maghfurlah KH. Maimoen Zubair membedakan antara sekolah dan mengaji di pesantren. Secara spesifik, beliau mengartikan bahwa ayat tersebut mendeskripsikan eksistensi mengaji dengan prosedur proses yang harus dijalankan di pesantren. Jika mengaji tersebut masih dan terus eksis, maka Allah akan memberikan kemuliaan kepada bangsa ini. 

Dapat kita simpulkan bahwa peran pesantren di dalam mencerdaskan kehidupan bangsa ini sangatlah tampak.

Izzah bangsa berupa kecerdasan, kemakmuran, dan lainnya secara otomatis akan kita raih jika pesantren dengan karakteristik dan prinsipnya terus eksis di tengah bangsa ini. Oleh karena itu, pengembangan eksistensi pesantren harus dikembalikan pada prinsip dasar pendirian pesantren. Hingga semua pihak bisa turut andil di dalam mengembalikan dan mengembangkan eksistensi pesantren ke dalam khitthoh-nya.

Dari penjelasan di atas, beberapa rekomendasi dari artikel ini dapat disimpulkan sebagai berikut: pertama, bagi dzurriyah pesantren, tanggungjawab untuk terus menjadikan pesantren sebagai salah satu pilar dari syiar Islam di dalam institusi tafaqquh fiddin sangatlah besar. Oleh karena itu, keseriusan dzurriyah pesantren di dalam belajar dan tafaqquh fiddin hingga menjadi ‘alim yang ‘amilun biilmihi sangatlah penting.

Kedua, bagi pemerintah, karena mekanisme tazkiyatunnfas juga erat kaitannya dengan al ghizaul halal, sebaiknya juga secara serius memulai melakukan pemisahan penerimaan negara ke dalam penerimaan yang secara syariah benar-benar halal, secara syariah benar-benar haram dan secara syariah masih meragukan. 

Penerimaan negara yang benar-benar halal dapat dijadikan sebagai bentuk kepedulian pemerintah ke lembaga-lembaga pendidikan dan pondok pesantren dalam bentuk bantuan pendidikan dan bantuan lainnya untuk pengembangan pendidikan karakter anak bangsa, gaji pegawai, dan hal-hal lainnya yang bersifat konsumsi dan tazkiyatunnafs bangsa secara masif. Penerimaan negara yang haram dan meragukan dapat dijadikan sebagai pengembangan berbagai proyek sosial infrastruktur.

Ketiga, bagi masyarakat, keseriusan agar anaknya dapat mengenal Tuhannya dan ber-akhlaqul karimah merupakan hal yang sangat prioritas di atas kecerdasan intelektualnya. Keseriusan ini dapat diwujudkan dengan berupaya memperoleh rizki yang halal untuk dikonsumsi keluarganya, dan mengembalikan tradisi pendidikan sebagaimana ulama-ulama terdahulu: belajar Alquran, belajar fikih, dan belajar disiplin Ilmu yang lainnya.