Minggu yang begitu berat. Hari demi hari kulalui dengan kesendirian. Perempuan perkasaku sedang tumbang. Hanya terbaring lemah di atas ranjang tua yang semakin memprihatinkan.

Perempuan perkasaku tak pernah merasakan sakit seperti itu sebelumnya. Kekuatannya menghadapi kenyataan lahir dan batin tak usah diragukan. Bentakan, cacian hingga ketidakpercayaan selalu mendampingi hidupnya.

Seorang perempuan berjiwa tenang, santun dan tidak pernah marah adalah kata yang tepat untuk menggambarkan sosok perempuan perkasaku. Setiap kali cacian sampai ke telinganya hanya senyum yang dia lontarkan.

“Kalau saya nangis setiap dicaci, saya akan sakit sendiri. Saya tidak akan kuat menjalani hidup ini. Cacian itu sudah menjadi catatan dari Tuhan untukku. Aku percaya semua akan baik-baik saja jika saya bisa sabar.”

Menetes air mata ini mendengar perkataannya. Bagaimana bisa dia hidup di bawah tekanan batin sampai setua ini. Tak pernah terlontar kata kasar dari mulutnya. Dia hanya menerima dan sabar atas segala perlakuan tidak baik kepadanya.

Hai perempuan perkasaku, kau adalah perempuan terbaik, penghuni surga dan perempuan terkasih Tuhanmu.

Setiap kali bentakan dan cacian itu keluar dari mulut orang-orang jahat, bukan dia yang menangis namun aku yang menangis dan memeluk erat tubuhnya.

“Ma, kenapa mama bisa begitu kuat, begitu hebat menghadapi semua ini?”

Raut wajahnya yang semakin menua membuatku semakin berat meninggalkannya. Dulu ketika belum tinggal bersama, aku belum begitu paham kehidupan sebenarnya. Aku hanya tahu jika dia baik-baik saja. Dia bahagia.

Tiga bulan ini aku telah memutuskan untuk kembali. Menemani perempuan perkasaku menghabiskan waktunya. Menghabiskan kebersamaan dengan penuh tekanan. Kapan kau akan bahagia, wahai perempuan perkasaku?

Di suatu sore, aku dan perempuan perkasaku sedang duduk berdua. Aku baru saja selesai menjalan kewajibanku. Mencerdaskan anak bangsa, begitu katanya.

Tidak ada hujan, tidak ada angin. Seorang laki-laki di usianya yang semakin senja tiba-tiba keluar dari kamar. Membuka pintu dengan kerasnya dan berjalan sempoyongan. Suasana yang hening dan tenang menjadi muram dan menakutkan.

Dia, laki-laki itu, mencaci maki dan berkata tidak sewajarnya kepada kami. Perempuan perkasaku dengan kuat hati dengan tenang hari dan dengan kepala dingin menghampirinya.

Sedangkan aku dengan segala kebencian, kemarahan dan rasa tidak terima berjalan menuju sebuah kamar kecil di mana seorang laki-laki itu berbaring. Rasanya aku begitu berdosa padanya. Namun ini semua adalah pilihan.

Perempuan perkasaku hanya diam menerima kenyataan ini, sedangkan aku menangis sesenggukan mendengar suara yang semakin lantang membentak dan mecaci kami. Rasanya begitu berat. Inginku lari tapi aku tak mampu.

Satu jam telah berlalu. Kami masih berada di kamar itu. Masih menemani laki-laki yang sedang merasakan kesakitan yang amat sangat. Aku masih menahan tangis hingga akhirnya aku keluar dan pergi jauh dari tempat itu.

“Pa, apa salah kami? Apa yang kami lakukan masih kurang di hadapanmu? Pa, kalau papa sedang merasakan sakit, mintalah tolong kepada kami dengan baik. Kami tidak akan menolak.”

Sedih ini tak segera usai. Sakit hati ini menjadi tamparan bagiku untuk menjadi perempuan kuat seperti sang perempuan perkasaku. Sosok yang selalu memberi semangat untukku. Semangat menjalankan hidup.

Sudah lebih dari 30 tahun hidupnya berada di bawah tekanan lahir dan batin. Namun perempuan perkasaku tidak pernah mengeluh. Menjalani kehidupan dengan penuh senyuman.

Sesekali dia pernah menangis tapi tidak berlangsung lama. Hanya memanjatkan doa kepada Tuhannyalah jalan keluar terbaik dalam setiap masalah yang dihadapinya. Setiap malam tak pernah dia luput bangun dan menengadah pada Tuhannya.

“Saya hanya berdoa semoga selalu diberikan kesabaran dan kekuatan menghadapi semua ini. Semua yang ada di kehidupan saya ini sudah menjadi jatah dari Tuhan untuk saya jaga.”

“Nak, Papamu bukan orang jahat. Papamu begitu mencintaimu dan menyayangimu. Mengajarkan banyak hal kepadamu sejak kecil.  Kemarahannya bukan berarti membenci.”

“Dia hanya kadang marah karena merasakan sakitnya. Dia hanya ingin mengungkapkan kepada kita kalau dia sedang tidak baik-baik saja. Dia adalah laki-laki yang kuat. Laki-laki yang hebat.”

“ Nak, kamu harus sekuat dan berani seperti papamu. Hidup yang sudah kita jalani hingga saat ini adalah kehidupan yang begitu berat. Papamu adalah penopang utama kehidupan kita semua.”

“Nak, mama mohon kamu bisa menerima keadaan papamu apa adanya. Terimalah dia sebagai papa terbaikmu. Dia bukan orang lain di hidupmu. Cintailah dia seperti kau mencintaiku.”

Begitu mama selalu memberi pesan untukku. Menerima keadaan sebagai anugerah yang terbaik dari Tuhan. Kita tidak bisa memilih lahir dari keluarga seperti apa. Namun kita bisa merubah sebuah keadaan untuk menjadi lebih baik. Terima kasih perempuan perkasaku. Kau adalah perempuan terhebat dan terkuat di kehidupanku.