Indonesia, negeri lautan minyak; bertanah emas dan berlangit berlian. Kaya, umpama tak cukup mengungkapkan magisnya. Tiap jengkal pijakan, tiap depa langkah, yang selalu terindu adalah tanah Indonesia.
Jutaan orang yang tinggal di luar negeri pasti merindukan Indonesia. Karena Indonesia sangat berharga. Terima kasih untuk segalanya, terima kasih telah menyekolahkanku, terima kasih telah memberiku kesempatan untuk berpisah darimu dulu; itu sangat merindukan.
Aku selalu ke ladang membantu Ibu dan Bapakku menanam padi saat musim tanam, dan memanen ani-ani saat musim panen, 12 tahun yang lalu. Aku juga menyadap karet bersama Bapakku setiap pagi hari, sebelum siangnya aku berangkat ke sekolah untuk menimba ilmu.
"Jangan malas noreh, ini untuk nanti bayar kamu sekolah," begitu kata Ibu. "Jangan sampai kamu tidak sekolah, cukup Ibu dan Bapakmu ini yang tidak sekolah," begitu kata Bapak.
Miskin? Tidaklah! Keluarga kami masih bisa makan dari hasil berladang kok. Sayuran tidak perlu beli, tinggal tancep batang singkong; tumbuh subur. Lauk-pauk dan ikan di sungai ketersediaannya tak hingga. Kurang apa? Hanya saja pada standard orang kota (ini sebutan untuk pemerintah), orang satu kampung kami itu miskin semua. Tiap tiga bulan sekali satu kampung itu menerima BLT dan mendapatkan Raskin (beras untuk warga miskin).
Termasuk keluargaku, tergolong miskin. Sekarangpun kami masing-masing memegang kartu indonesia sehat (KIS) yang diperuntukkan bagi warga miskin. Bapakku senang dapat begituan, buat disimpen di lemari, toh saat sakit masih yang dipanggil itu dukun. Mengapa? Ya aku juga gak bisa jawab!
Aku tumbuh besar di kampung halaman yang sangat menyenangkan. Sewaktu masih SMA 7 tahun yang lalu, aku meninggalkan kampung hanya pada saat menjelang Ujian Nasional, itupun karena harus les di sekolah setiap pagi hingga siang hari. Aku numpang di rumah temanku, karena kampung kami sangat jauh dari sekolah; sekolahku berada di kecamatan.
Sekolah adalah tempat yang menyenangkan, tapi banyak anak yang putus sekolah karena biaya menjadi penghambat. Tidak punya uang pangkal, tidak punya uang buat beli seragam, sepatu dan buku-buku; putus sekolah. Aku bersyukur, Bapak dan Ibuku tahan banting menyekolahkanku. "Yang penting namat-namat SMA pun sukur lah", kata Bapak. SPP di sekolahku kala itu satu bulannya bayar Rp.65.000, dan seringkali aku nunggak sampai 3-4 bulan. Uang sekolah segitu sangat mahal untuk ukuran orang di kampungku.
Aku punya catatan prestasi cukup baik di sekolah. Semua kutulis dalam buku diary. Saat membaca diary ku 8 atau 9 tahun yang lalu, aku sering ke ladang dengan membawa buku catatan pelajaran, ke kebun karet membawa buku catatan pelajaran. Syukurnya Bapak tak pernah protes. Aku belajar keras siang hari di tengah terik mentari, dan malam hari di bawah bayang lampu minyak tanah; sebab listrik tak ada di kampungku, sampai hari ini tahun 2017 kini. Ku akui semua juga karena aku menyukai seseorang di sekolahku, aku menyebutnya di diary sebagai "idola dalam diam".
Saat aku kelas X, aku menyukai seseorang di kelas sebelahku, aku jadi termotivasi belajar. Saat di kelas XI, aku menyukai kakak kelasku, motivasi belajarku tingkat tinggi. Tapi di kelas XII aku tak menyukai siapa-siapa, aku hanya fokus persiapan UN, jadi banyak catatan doa di buku diary ku. Hahahaha....
Sudah belajar keras, bersusah payah memecahkan soal-soal matematika atau menghafal bacaan-bacaan dari buku pelajaran Sosiologi. Aku ingin mendapatkan yang terbaik di Ujian Nasional ku. Tapi aku gagal! Sejujurnya aku tak kecewa, toh, itu hanya peng-ujian. Nilai akhir bukan berarti mutlak hanya segitu kemampuan dan potensi diri yang dimiliki. Pada buku diary ku, aku menulis "Learn and think", kata itu aku yakin berasal dari buku yang pernah aku baca, tapi aku lupa buku apa.
Setelah tamat SMA aku keterima beasiswa kuliah di universitas bergengsi yang ada di Kalimantan. Aku sangat bersyukur, pemerintah membiayaiku sekolah selama 4 tahun menempuh program sarjana. Beasiswa Bidik Misi, waktu itu seleksi ketat bahwa benar kandidat penerima adalah berasal dari keluarga tidak mampu (miskin) dibuktikan keterangan dari desa setempat, dan memiliki prestasi.
Menjadi penerima beasiswa ini aku sangat bangga, karena tidak banyak orang memiliki kesempatan. Indonesia perlahan menggerus kesenjangan, dulunya "bangku kuliah itu hanya milik orang berduit". Terima kasih Indonesia, memberiku kesempatan belajar hingga lulus sarjana. Kalau Raeni yang santer di media saat wisuda naik becak, aku juga saat wisuda naik oplet (angkot) sekeluarga. Bapak, Ibu dan adikku sangat senang, soalnya naik mobil (angkot) di kampung tidak pernah, kan tidak ada.
Setelah lulus, aku langsung diberi kesempatan keduakalinya untuk bersekolah. Ya, aku melanjutkan studi Master dengan beasiswa LPDP. Puji syukur, saat berkuliah di S1 aku memiliki catatan cukup baik dalam akademik. Tapi, cum laude bukan satu-satunya jalur proses aku mendapatkan beasiswa ini. Aku berproses lama, aktif di organisasi kampus, aktif menulis dan belajar terus belajar. Hingga saat ini aku telah menyelesaikan tugasku menempuh sekolah S2, dan aku ingin melangkah menuju jenjang sekolah yang berikutnya.
Aku akan terus berproses hingga dapat layak untuk studi selanjutnya. Cum laude bukan satu hal yang harus dibanggakan, aku hadiahkan untuk Bapak Ibuku tapi mereka sama sekali tak mengerti apa itu Cum Laude. "Untuk apa gunanya?" kata Bapak. Untuk menebus kerasnya ku berjuang di masa lalu, untuk menebus keringat bapak mbayar SPP yang sering nunggak. *ini aku sambil nangis* hikzzz....
Sekali lagi terima kasih Indonesia, telah memberiku kesempatan untuk merasakan sekolah S2, aku berhutang banyak kepadamu, dan akan kutebus di kemudian hari. Ku berharap akan lebih banyak lagi yang akan mendapatkan kesempatan bersekolah di negeri ini. Indonesia, aku siap mengabdi.
Tertanda,
Catatan dari seorang anak tani kampung yang sudah lulus S2.